Fri. Dec 5th, 2025
Ayam Panggang Bu Setu

Jakarta, odishanewsinsight.com – Di sebuah desa kecil di pinggiran Klaten, Jawa Tengah, sekitar tahun 1980-an, seorang perempuan paruh baya mulai membuka warung makan kecil di teras rumahnya. Namanya Bu Setu. Nama yang sederhana, mungkin tidak terlalu mencolok jika ditulis di papan nama atau spanduk. Tapi justru dari situ keajaiban dimulai.

Kisah ini bukan dongeng, tapi nyata. Bu Setu dikenal sebagai sosok yang sangat telaten. Ia memasak seperti sedang berdoa. Bumbu tidak sekadar ditakar, tapi dirasa. Ayam tidak sekadar dibakar, tapi diberi waktu untuk meresap. “Rasanya kayak makanan nenek gue waktu kecil,” kata Dodi, pelanggan tetap sejak 1997, ketika saya temui saat mampir ke warung itu suatu pagi.

Yang istimewa dari Ayam Panggang Bu Setu bukan cuma karena bumbunya, tapi cara ia mempertahankan metode memasak yang nyaris punah—panggangan dari arang kelapa, ayam kampung yang direbus perlahan sebelum dibakar, dan sambal kecap pedas-manis yang tidak bisa kamu tiru cuma dengan googling resep.

Hingga kini, anak dan cucu Bu Setu masih melanjutkan usaha tersebut. Lokasinya pun tetap sama, meski warungnya sudah diperluas dua kali lipat dari ukuran awal. “Kami nggak berani ubah resep. Nggak enak sama almarhum simbah,” kata cucunya sambil tertawa kecil.

Rahasia Dapur: Kenapa Ayam Panggang Bu Setu Terasa Beda?

Ayam Panggang Bu Setu

Ada banyak warung ayam panggang di Jawa Tengah. Tapi jujur saja, tidak semuanya meninggalkan rasa yang membekas. Lalu kenapa ayam panggang yang satu ini bisa begitu diingat orang, bahkan dicari wisatawan dari luar kota?

Pertama, tentu karena kualitas bahan. Ayam yang digunakan selalu ayam kampung muda, sekitar umur 3-5 bulan. Itu umur ideal: dagingnya masih empuk tapi cukup kenyal untuk menyerap bumbu. Proses marinasi menggunakan racikan bawang putih, ketumbar, kemiri, garam, gula merah, dan sedikit air asam jawa. Tapi bumbunya tidak hanya direndam. Ia dimasak dulu bersama ayam dalam wajan besar, selama hampir dua jam.

Bayangkan: ayam direbus dalam bumbu, lalu dijemur sebentar untuk mengurangi kelembaban, dan akhirnya dipanggang pelan-pelan di atas arang batok kelapa. Proses ini bisa menghabiskan waktu hingga 4 jam untuk satu batch. “Capek? Ya pasti. Tapi itu yang bikin rasanya beda,” kata Pak Tarto, salah satu juru panggang senior yang sudah bekerja di sana sejak 2003.

Kedua, bumbu olesnya. Ini sering diremehkan, padahal di sinilah letak kuncinya. Saat dipanggang, ayam akan diolesi cairan kental berwarna coklat tua, hasil rebusan sisa bumbu yang dikentalkan. Ketika bumbu itu menyentuh bara, ia karamalisasi dan menciptakan kerak manis-gurih yang bikin gigit pertama langsung mengangkat alis.

Dan jangan lupakan sambalnya. Bukan sambal mentah, melainkan sambal matang yang digoreng perlahan. Komposisinya pas: cabai rawit merah, bawang merah, tomat kecil, dan sedikit terasi. Disajikan dengan nasi panas dan lalapan mentimun serta daun kemangi, lengkap sudah.

Daya Tarik yang Tak Hanya Tentang Rasa: Pengalaman Makan di Warung Bu Setu

Memasuki warung Ayam Panggang Bu Setu terasa seperti melangkah ke masa lalu yang hangat. Meja-meja kayu panjang, bangku rendah, dan dinding berhiaskan foto-foto pelanggan dari masa ke masa. Di sudut tertentu, ada foto almarhumah Bu Setu, berdiri di depan tungku, tersenyum sambil memegang kipas lidi. Simpel, tapi penuh makna.

Ada satu hal menarik yang sering saya dengar dari pengunjung: makan di sini bukan cuma soal kenyang, tapi soal pengalaman. Satu keluarga dari Semarang, yang rutin datang tiap 3 bulan sekali, menyebut warung ini sebagai “ritual nostalgia.” Anak-anak mereka bahkan sudah hafal urutannya: datang, pesan ayam panggang 1 ekor utuh, duduk di pojok dekat jendela, lalu menanti aroma panggangan itu menyapa lebih dulu sebelum piringnya datang.

Setiap porsi disajikan di atas piring rotan berlapis daun pisang. Panasnya nasi menembus daun, menyatu dengan aroma ayam dan sambal yang menggoda. Di tengah suara kipas angin tua dan panggangan yang sesekali mengeluarkan letupan, kamu akan merasa seperti sedang makan di rumah sendiri—kalau rumahmu adalah dapur nenek zaman dulu.

Kadang, kamu bahkan bisa menyaksikan proses pembakaran langsung, tergantung seberapa ramai saat itu. Dan percayalah, melihat juru panggang memutar ayam dengan tenang, sembari terus mengipasi api, adalah hiburan tersendiri yang tidak kamu dapatkan di restoran cepat saji mana pun.

Dibalik Nama Besar: Perjuangan dan Konsistensi Keluarga Bu Setu

Membawa nama “Bu Setu” selama lebih dari tiga dekade bukan tugas ringan. Apalagi ketika media sosial mulai memperkenalkan pelanggan baru yang datang bukan karena pernah dengar dari tetangga, tapi karena lihat review viral. Tiba-tiba ekspektasi naik. Beberapa orang datang dengan kamera, lighting portable, dan ingin “konten-worthy shot.”

“Dulu pelanggan cuma dari mulut ke mulut. Sekarang ada yang minta plating estetik,” ujar cucu Bu Setu sambil tersenyum canggung.

Meski begitu, keluarga Bu Setu tetap memilih setia pada nilai utama: jujur pada rasa. Mereka tidak ubah komposisi, tidak naik-turunkan standar kualitas bahan demi margin. Bahkan saat harga ayam naik, mereka tetap mempertahankan ukuran porsi. Bukan karena tidak menghitung bisnis, tapi karena mereka percaya: rasa yang konsisten adalah iklan paling jujur.

Tentu saja mereka juga beradaptasi. Kini mereka menerima pesanan online via aplikasi lokal. Tapi ayam tetap dibakar satu per satu, bukan sistem massal. Mereka menolak tawaran waralaba meski beberapa kali ditawari investor dari Jakarta. “Kami bukan tidak mau besar. Kami cuma tidak mau kehilangan nyawa rasa yang sudah dijaga puluhan tahun,” jelasnya.

Lebih dari Sekadar Makanan: Ayam Panggang Bu Setu dalam Budaya Kuliner Jawa

Dalam budaya kuliner Jawa, ayam panggang bukan hanya makanan sehari-hari. Ia sering hadir dalam hajatan, selamatan, bahkan syukuran rumah baru. Bumbu manis-gurihnya mencerminkan filosofi hidup masyarakat Jawa: menerima segala hal dengan seimbang. Tidak terlalu pedas, tidak terlalu hambar.

Ayam Panggang Bu Setu menjadi representasi dari nilai-nilai itu. Ia tidak tampil mencolok, tidak bermain gimmick kekinian. Tapi justru karena itu, ia bertahan. Dalam dunia yang serba cepat dan berubah, warung ini menjadi semacam penanda waktu: bahwa ada rasa yang tak perlu ikut tren untuk tetap disukai.

Bahkan beberapa ahli kuliner seperti Chef Widi dari Jogja Culinary Institute pernah menyebut Ayam Panggang Bu Setu sebagai “warisan rasa.” Ia merekomendasikan tempat ini untuk siapa pun yang ingin memahami bagaimana masakan Jawa menyentuh psikologi rasa, bukan cuma selera.

Penutup: Ayam Panggang Bu Setu dan Pelajaran dari Rasa yang Tulus

Dalam dunia kuliner yang dipenuhi restoran tematik, plating mewah, dan influencer makanan, Ayam Panggang Bu Setu mengingatkan kita pada hal-hal yang mendasar. Bahwa kadang, makanan paling enak adalah yang dibuat dengan waktu, niat, dan rasa hormat terhadap resep yang diwariskan turun-temurun.

Ia bukan hanya ayam panggang. Ia adalah cerita tentang konsistensi, ketelatenan, dan bagaimana rasa bisa menjadi jembatan lintas generasi. Dari dapur kecil di Klaten, Ayam Panggang Bu Setu kini menjadi bukti bahwa makanan yang jujur akan selalu menemukan tempatnya—di meja makan, dan di hati orang-orang yang pernah mencicipinya.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel dari: Poffertjes: Manis, Lembut, dan Bikin Ketagihan!

Author