Sat. Dec 6th, 2025
Papeda Maluku

Jakarta, odishanewsinsight.com – Di banyak wilayah Indonesia, beras adalah raja. Namun, ketika kita melangkah ke Maluku, raja itu berganti: sagu. Dari tanah inilah lahir Papeda Maluku, bubur sagu kental yang menjadi makanan pokok, terutama di wilayah pesisir timur Indonesia.

Sekilas, papeda mungkin terlihat sederhana. Teksturnya bening, kenyal, lengket, hampir mirip lem kental. Tetapi justru dari kesederhanaan inilah tersimpan makna mendalam: filosofi kebersamaan. Papeda tidak dimakan sendirian. Ia selalu hadir di tengah meja, diiringi ikan kuah kuning atau sup ikan laut segar, lalu disantap bersama-sama.

Aku masih ingat sebuah cerita fiktif dari seorang mahasiswa asal Ambon yang merantau ke Jakarta. Ia berkata, “Rasa papeda itu bukan soal lidah, tapi soal rumah. Begitu sendok bambu menciduk papeda panas dan kita putar di piring, langsung terasa seperti pulang.” Ada rindu yang dibawa dalam tekstur lengket itu.

Bagi orang Maluku, sagu bukan hanya bahan makanan, tapi jantung kehidupan. Dari batang pohon sagu yang ditebang, mereka bisa membuat tepung, menyimpannya dalam “gaba-gaba” (batang sagu kering), bahkan menjadikannya cadangan pangan berbulan-bulan. Itulah mengapa papeda bukan sekadar kuliner, melainkan warisan budaya yang mengakar.

Filosofi dan Tradisi di Balik Papeda

Papeda Maluku

Makan papeda bukan hanya aktivitas sehari-hari, melainkan sebuah ritual sosial. Di Maluku, ada tradisi di mana keluarga besar berkumpul, sagu diolah dalam wadah besar, lalu disantap bersama. Proses mengaduk sagu hingga menjadi papeda pun sering melibatkan beberapa orang. Ada gerakan berirama, ada canda tawa, ada semacam tarian kecil di dapur.

Papeda juga sering hadir di acara-acara adat, pernikahan, atau syukuran. Menyajikan papeda adalah bentuk penghormatan. Bahkan ada ungkapan lokal yang mengatakan, “Makan papeda, jangan sendiri,” yang menegaskan nilai kebersamaan.

Filosofi papeda juga tercermin dalam teksturnya. Lengket, sulit dipisahkan, persis seperti nilai kekeluargaan orang timur: erat dan saling menempel satu sama lain.

Seorang peneliti kuliner Indonesia pernah menuliskan, “Papeda adalah kuliner yang tidak bisa dinikmati individualistik. Ia memaksa kita untuk berbagi, untuk tertawa, untuk melupakan ego.” Dalam era modern, makna ini menjadi semakin relevan—di tengah kesibukan dan individualisme, papeda mengingatkan kita akan pentingnya duduk bersama.

Cara Membuat Papeda – Antara Sederhana dan Sakral

Secara teknis, cara membuat papeda Maluku cukup sederhana. Tepung sagu dilarutkan dalam air, lalu disiram dengan air panas mendidih sambil diaduk hingga mengental dan berubah jadi bubur kental transparan. Namun, proses ini butuh ketelatenan. Salah sedikit, papeda bisa terlalu cair atau terlalu padat.

Biasanya, orang Maluku menggunakan alat tradisional seperti sendok kayu panjang atau bambu untuk mengaduk. Suara “plok-plok” ketika adukan masuk ke dalam wadah besar menjadi musik tersendiri di dapur.

Papeda jarang dimakan polos. Ia hampir selalu ditemani ikan kuah kuning—olahan ikan laut segar (cakalang, tongkol, atau kakap) dengan bumbu kunyit, bawang, cabai, dan jeruk nipis. Warna kuning keemasan dari kuah berpadu dengan papeda bening menciptakan kontras indah di meja makan.

Selain itu, papeda juga bisa ditemani tumis sayur daun pepaya, ikan bakar, atau sambal colo-colo. Yang menarik, cara menyantap papeda pun unik. Papeda tidak disendok biasa, tapi diputar menggunakan sumpit kayu panjang atau sendok bambu hingga melilit, lalu diletakkan di piring sebelum diberi kuah. Ritual kecil ini membuat momen makan terasa lebih istimewa.

Papeda dalam Konteks Modern – Dari Dapur Lokal ke Restoran Urban

Di era modern, papeda mulai menembus batas dapur tradisional. Banyak restoran khas Maluku di kota-kota besar seperti Jakarta, Makassar, hingga Surabaya yang mulai menyajikan papeda sebagai menu andalan.

Fenomena ini bukan hanya soal kuliner, tapi juga representasi identitas. Bagi orang Maluku yang merantau, menemukan papeda di restoran urban bisa menjadi pelepas rindu. Sementara bagi penikmat kuliner Nusantara, papeda adalah pengalaman baru yang berbeda jauh dari nasi atau mie.

Di beberapa festival kuliner, papeda bahkan dipromosikan sebagai bagian dari diplomasi budaya. Wisatawan mancanegara dibuat takjub dengan cara makannya yang unik. Ada kisah lucu ketika turis Eropa mencoba memutar papeda dengan bambu, tapi gagal berkali-kali karena lengket. Alih-alih frustasi, mereka justru tertawa bersama warga lokal—dan di situlah esensi papeda: membawa orang dalam suasana hangat.

Tidak sedikit pula chef modern yang mencoba memodifikasi papeda. Misalnya, papeda disajikan dengan saus modern, atau dipadukan dengan seafood fusion. Meskipun ada pro-kontra, hal ini menunjukkan bahwa papeda terus beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.

Papeda sebagai Simbol Ketahanan Pangan dan Identitas

Di balik kelezatannya, papeda menyimpan makna penting bagi isu ketahanan pangan. Sagu, sebagai bahan utama, tumbuh melimpah di Maluku dan Papua. Ia tahan terhadap perubahan iklim, tidak memerlukan pupuk kimia berlebihan, dan bisa disimpan lama.

Dalam konteks global, ketika dunia menghadapi krisis pangan, sagu dianggap sebagai alternatif sumber karbohidrat yang potensial. Papeda, sebagai bentuk olahan sederhana, bisa menjadi contoh bagaimana masyarakat lokal mengelola sumber daya dengan bijak.

Lebih dari itu, papeda adalah identitas. Ia menjadi penanda budaya Maluku, sama seperti rendang bagi Minang atau gudeg bagi Yogyakarta. Dengan mempromosikan papeda, sebenarnya kita juga merayakan keanekaragaman Indonesia.

Seorang akademisi pernah menulis bahwa kuliner adalah “bahasa yang universal.” Dan dalam bahasa itu, papeda berbicara tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan keberlanjutan.

Penutup: Papeda, Hangatnya Rasa, Eratnya Budaya

Papeda Maluku adalah bukti bahwa makanan tidak pernah sekadar makanan. Ia bisa menjadi cerita, simbol, bahkan doa. Dari teksturnya yang lengket, kita belajar tentang kekeluargaan, Dari cara makannya yang bersama-sama, kita belajar tentang berbagi. Dari bahan dasarnya yang tahan iklim, kita belajar tentang ketahanan hidup.

Di meja makan Maluku, semangkuk papeda bisa menjadi jembatan: antara generasi tua dan muda, antara tradisi dan modernitas, antara lokal dan global.

Jadi, jika suatu saat Baginda Dio berkesempatan mencicipi papeda, jangan sekadar lihat teksturnya. Rasakan kehangatannya, dengarkan ceritanya, dan biarkan papeda mengajarkan sesuatu yang mungkin tidak tertulis di buku manapun: bahwa makanan adalah bahasa hati.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Smoked Salmon: Sensasi Gurih dan Kenikmatan yang Bikin Nagih

Author