Jakarta, odishanewsinsight.com – Bagi sebagian orang, piring berisi kuah hitam kental dengan potongan ikan gabus mungkin terlihat aneh di pandangan pertama. Namun, bagi masyarakat Betawi, hidangan ini adalah simbol kebanggaan. Namanya Gabus Pucung, masakan tradisional yang lahir dari kesederhanaan, tapi menyimpan cita rasa dan makna yang luar biasa dalam setiap sendokannya.
Gabus Pucung berasal dari daerah Betawi asli seperti Depok, Condet, dan Bekasi. Dulu, makanan ini begitu umum ditemui di rumah-rumah warga Betawi, terutama di acara kenduri atau hajatan keluarga. Tapi kini, kuliner legendaris ini semakin jarang ditemukan. Banyak generasi muda bahkan tidak tahu bentuk atau rasanya.
Saya ingat satu anekdot dari seorang kawan keturunan Betawi yang bercerita tentang masa kecilnya di tahun 90-an. Katanya, ibunya sering memasak Gabus Pucung setiap kali hujan turun. “Kuahnya hitam pekat, tapi rasanya hangat dan gurih banget. Bukan dari kecap, tapi dari buah pucung,” ujarnya sambil tersenyum mengenang.
Buah pucung, atau dikenal juga sebagai kluwak, menjadi bahan utama yang memberi warna hitam legam pada kuahnya. Dari luar, kluwak memang tampak biasa saja—kulit keras seperti batu. Tapi begitu dipecah, dagingnya yang berwarna cokelat tua mengandung rasa gurih khas yang sulit ditiru. Dari sinilah lahir keunikan rasa Gabus Pucung yang tak bisa ditemukan di masakan lain.
Filosofi di Balik Ikan dan Pucung

Mengapa harus ikan gabus? Pertanyaan ini sering muncul dari mereka yang baru mengenal hidangan ini. Jawabannya sederhana tapi sarat makna.
Ikan gabus dianggap sebagai simbol ketahanan dan kekuatan dalam budaya Betawi. Hewan ini hidup di perairan keruh, bahkan mampu bertahan di tanah lembab tanpa air untuk waktu lama. Filosofi ini mencerminkan karakter masyarakat Betawi yang tangguh, sederhana, tapi tidak mudah menyerah.
Sementara itu, pucung atau kluwak melambangkan kearifan lokal dan keseimbangan rasa. Ia memiliki rasa pahit, gurih, dan sedikit asam—seperti kehidupan yang tidak selalu manis tapi tetap bisa dinikmati dengan bumbu yang tepat.
Dari sinilah Gabus Pucung menjadi lebih dari sekadar makanan. Ia adalah warisan rasa dan nilai-nilai hidup, yang diwariskan turun-temurun oleh para orang tua Betawi kepada anak cucu mereka.
Konon, menurut cerita warga Depok Lama, dahulu Gabus Pucung sering disajikan untuk menjamu tamu kehormatan. Alasannya, hidangan ini membutuhkan waktu lama dan kesabaran dalam proses memasaknya. Mulai dari menyiangi ikan gabus agar tak berlendir, menyangrai bumbu, hingga merebus pucung agar keluar cita rasa terbaiknya.
Hasilnya adalah kuah pekat berwarna hitam kecokelatan dengan aroma khas yang menggoda. Saat diseruput hangat, rasa gurihnya meresap dalam dan meninggalkan jejak pahit yang justru menambah kenikmatan.
Proses Memasak yang Penuh Perhatian
Memasak Gabus Pucung bukan sekadar soal resep. Ini adalah proses yang melibatkan perasaan dan kesabaran.
Langkah pertama adalah menyiapkan ikan gabus segar. Biasanya ikan dibersihkan, dibuang lendirnya menggunakan garam dan jeruk nipis, lalu digoreng hingga matang sebagian. Tujuannya agar dagingnya tidak hancur ketika direbus bersama kuah.
Sementara itu, bumbu dasar—berupa bawang merah, bawang putih, kemiri, cabai, dan lengkuas—ditumis hingga harum. Setelah itu, barulah kluwak yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam tumisan bersama air panas. Dari sini, kuah berubah menjadi pekat dan berwarna hitam legam.
Proses perebusan ini bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Semakin lama, semakin kaya rasa yang dihasilkan. Kuah yang awalnya encer berubah menjadi kental dengan aroma khas yang kuat. Setelah itu, ikan gabus dimasukkan perlahan, lalu dimasak lagi hingga bumbu meresap sempurna.
Beberapa orang Betawi tua bahkan punya trik tersendiri: mereka menambahkan daun salam, asam jawa, dan sedikit gula merah untuk menyeimbangkan rasa gurih pucung yang dominan. Hasil akhirnya adalah hidangan dengan lapisan rasa yang kompleks—gurih, manis, sedikit pahit, tapi harmonis di lidah.
Kalau kamu makan Gabus Pucung dengan nasi hangat, sambal terasi, dan lalapan mentimun, pengalaman rasanya benar-benar tak terlupakan.
Dari Dapur Kampung ke Restoran Modern
Sayangnya, selama bertahun-tahun, Gabus Pucung perlahan menghilang dari radar kuliner urban. Banyak restoran Betawi modern memilih menjual menu yang lebih populer seperti soto Betawi, semur jengkol, atau nasi uduk. Alasannya sederhana: bahan kluwak sulit didapat, prosesnya lama, dan tak semua orang langsung menyukai tampilannya yang hitam legam.
Namun, sekitar lima tahun terakhir, tren pelestarian kuliner lokal mulai bangkit kembali. Beberapa restoran tradisional di Jakarta, Depok, dan Bekasi mulai mengembalikan Gabus Pucung ke daftar menu mereka.
Restoran-restoran ini mencoba menyajikan Gabus Pucung dengan tampilan lebih modern tanpa mengubah cita rasa aslinya. Misalnya, disajikan di mangkuk keramik putih dengan potongan daun bawang dan sambal khas Betawi di sisi piring.
Beberapa koki muda bahkan mulai bereksperimen dengan resep ini. Ada yang menggunakan teknik slow cooking untuk mempertahankan kelembutan daging ikan, ada pula yang mengganti sebagian kluwak dengan kaldu tulang untuk memperkaya rasa.
Salah satu restoran di Condet bahkan pernah mengadakan acara “Festival Gabus Pucung” yang mengundang pengunjung untuk mencicipi berbagai versi hidangan ini. Dari versi klasik rumahan hingga kreasi modern seperti Gabus Pucung dengan sentuhan santan dan cabai rawit segar.
Menariknya, animo pengunjung ternyata tinggi. Banyak anak muda yang baru pertama kali mencicipi mengatakan bahwa rasanya unik dan berbeda dari makanan Betawi lainnya. Ini membuktikan bahwa kuliner tradisional tak pernah benar-benar punah—ia hanya menunggu waktu untuk kembali ditemukan.
Nutrisi dan Khasiat di Balik Kuah Hitam
Selain lezat, Gabus Pucung ternyata menyimpan banyak manfaat kesehatan. Ikan gabus dikenal kaya akan albumin, sejenis protein penting yang berfungsi mempercepat penyembuhan luka dan meningkatkan daya tahan tubuh. Tak heran, ikan ini sering direkomendasikan untuk pasien pasca operasi atau ibu melahirkan.
Sementara itu, kluwak mengandung antioksidan alami yang baik untuk menjaga kesehatan jantung dan sistem pencernaan. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa ekstrak kluwak memiliki potensi sebagai bahan anti-inflamasi alami.
Di masa lalu, masyarakat Betawi percaya bahwa makan Gabus Pucung bisa memberikan “tenaga” bagi tubuh, terutama setelah bekerja seharian di ladang atau sungai. Dalam konteks modern, mungkin kita bisa menyebutnya sebagai “comfort food”—makanan yang memberi kehangatan dan ketenangan.
Namun perlu diingat, meskipun bergizi, kluwak yang belum matang bisa beracun karena mengandung senyawa sianida alami. Karena itu, hanya biji kluwak yang telah melalui proses fermentasi atau perebusan panjang yang aman digunakan dalam masakan.
Inilah alasan mengapa Gabus Pucung jarang dimasak sembarangan. Diperlukan pengetahuan dan pengalaman agar hasilnya aman, enak, dan autentik.
Pelestarian dan Tantangan di Era Modern
Pelestarian kuliner tradisional bukan hanya soal rasa, tapi juga soal identitas. Dalam kasus Gabus Pucung, banyak generasi muda Betawi kini mulai sadar pentingnya menjaga warisan ini. Komunitas kuliner lokal sering mengadakan kelas memasak atau lomba masak Gabus Pucung untuk memperkenalkan resep aslinya kepada masyarakat.
Beberapa sekolah bahkan memasukkan pengenalan makanan tradisional dalam pelajaran budaya daerah. Tujuannya sederhana: agar anak-anak tahu bahwa masakan seperti Gabus Pucung adalah bagian dari sejarah mereka.
Namun, tantangan terbesar tetap ada: perubahan selera dan gaya hidup modern. Generasi muda cenderung menyukai makanan cepat saji dan instan. Mereka mungkin lebih akrab dengan ramen atau burger daripada dengan masakan tradisional yang memerlukan waktu lama untuk disajikan.
Untungnya, media sosial kini memainkan peran penting dalam menghidupkan kembali minat terhadap kuliner lokal. Banyak food blogger dan kreator konten kuliner yang mulai mengangkat kisah Gabus Pucung, lengkap dengan sejarah dan proses memasaknya.
Bahkan beberapa restoran besar di Jakarta mulai menggunakan narasi budaya sebagai daya tarik utama, bukan hanya rasa. Mereka menjual pengalaman—bukan sekadar makanan. Dan di situlah nilai Gabus Pucung benar-benar bersinar.
Menjaga Warisan, Menikmati Rasa
Di tengah gemerlap kota Jakarta yang terus berubah, mencicipi sepiring Gabus Pucung terasa seperti membuka jendela ke masa lalu. Setiap suapan membawa kita kembali pada masa ketika makan bukan sekadar kebutuhan, tapi juga bentuk kebersamaan dan penghormatan terhadap alam.
Mungkin benar, Gabus Pucung tidak semudah nasi goreng untuk dibuat. Tapi justru di situlah letak keindahannya—ia menuntut waktu, perhatian, dan cinta.
Kalau kamu belum pernah mencoba, cobalah sesekali cari rumah makan Betawi tua yang masih menyajikannya. Rasakan perpaduan rasa gurih ikan, pekatnya kluwak, dan sentuhan bumbu yang seolah berbicara pelan: “Inilah cita rasa Betawi yang sesungguhnya.”
Karena di setiap piring Gabus Pucung, tersimpan bukan hanya rasa, tapi juga cerita tentang perjuangan, ketulusan, dan identitas.
Dan selama masih ada orang yang ingin mengenangnya, warisan itu tak akan pernah benar-benar hilang.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Dodol Betawi: Kuliner Tradisional Melekat dan Budaya Jakarta
