JAKARTA, odishanewsinsight.com – Ada sesuatu yang magis dari aroma sate kerang yang baru saja diangkat dari bara api. Bau asap bercampur dengan wangi rempah-rempah khas dapur Indonesia menciptakan suasana yang langsung membangkitkan selera makan. Bagi banyak orang, terutama mereka yang tumbuh di daerah pesisir, sate kerang bukan sekadar makanan—ia adalah nostalgia, kenangan masa kecil, dan rasa yang sulit dilupakan.
Saya masih ingat ketika pertama kali mencicipinya di sebuah warung kecil dekat pelabuhan Surabaya. Penjualnya, seorang ibu paruh baya dengan senyum hangat, menyodorkan sepiring sate kerang dengan sambal kacang dan lontong hangat. “Ini resep turun-temurun,” katanya sambil tersenyum bangga. Begitu gigitan pertama menyentuh lidah, rasa gurih dan sedikit manis langsung menari di mulut. Daging kerangnya lembut, tidak alot, dengan bumbu yang meresap hingga ke dalam.
Bagi penikmat kuliner laut, sate kerang adalah bentuk cinta yang sederhana namun dalam. Proses pembuatannya yang penuh kesabaran membuatnya istimewa. Kerang yang digunakan biasanya direbus terlebih dahulu untuk menghilangkan bau amis, lalu dibumbui dengan campuran rempah seperti ketumbar, bawang putih, lengkuas, daun jeruk, dan sedikit gula jawa untuk menciptakan keseimbangan rasa.
Beda daerah, beda pula cara penyajiannya. Di Medan, misalnya, sate kerang sering dijadikan lauk pelengkap lontong medan—paduan antara nasi lontong, tauco, dan telur rebus. Sementara di Surabaya, sate kerang sering dijual bersama lontong kupang, satu piring berisi kerang kecil dengan kuah bening segar, disajikan dengan sate kerang yang kaya bumbu di atasnya. Perpaduan itu menciptakan rasa laut yang tidak hanya memanjakan lidah, tapi juga menenangkan jiwa.
Perpaduan Rasa yang Tak Ada Duanya

Kalau bicara soal cita rasa, sate kerang memang sulit dibandingkan dengan makanan lain. Ia memiliki kompleksitas rasa yang unik—perpaduan antara asin laut, gurih rempah, dan sedikit manis dari bumbu yang dimasak lama di atas api kecil. Teksturnya pun menarik: kenyal tapi tidak keras, lembut tapi tidak mudah hancur.
Rahasia kelezatannya ada pada proses perebusan dan pengolahan. Sebagian pedagang memilih untuk menumis bumbu terlebih dahulu sampai harum, baru kemudian memasukkan kerang rebus dan memasaknya hingga bumbu meresap sempurna. Proses ini bisa memakan waktu cukup lama, tapi hasil akhirnya sepadan.
Menariknya, di beberapa tempat, sate kerang bahkan dikombinasikan dengan bahan modern seperti saus mentai, sambal matah, hingga bumbu Korea. Eksperimen ini menunjukkan bahwa meskipun makanan ini tradisional, ia fleksibel terhadap perubahan zaman.
Namun, bagi para penikmat sejati, versi klasik tetap yang paling menggoda. Bumbu khas Jawa Timur yang cenderung pedas dan manis, ditambah sedikit rasa gurih alami dari laut, menciptakan keseimbangan yang sempurna. Tidak heran jika sate kerang sering dijadikan oleh-oleh khas Surabaya, dikemas dalam toples kecil dan bisa tahan berhari-hari tanpa kehilangan rasa aslinya.
Yang menarik, makanan ini juga punya manfaat gizi yang luar biasa. Kerang mengandung protein tinggi, zat besi, dan omega-3 yang baik untuk jantung. Meski sering dikategorikan sebagai makanan jajanan, sebenarnya sate kerang juga bisa menjadi sumber nutrisi yang baik jika diolah dengan cara yang tepat dan bersih.
Dari Tradisi Laut ke Meja Makan Modern
Sejarah sate kerang sendiri tidak bisa dilepaskan dari budaya pesisir Nusantara. Di daerah seperti Surabaya, Gresik, dan Medan, masyarakat sudah lama menggantungkan hidupnya pada laut. Maka, tidak heran jika kerang menjadi salah satu bahan makanan yang mudah ditemukan dan diolah menjadi berbagai sajian, termasuk sate.
Dulu, sate kerang dijual di pinggir-pinggir jalan, dekat pelabuhan, atau di pasar tradisional. Biasanya dijajakan dalam bentuk tusukan kecil berisi lima hingga enam kerang, disiram dengan bumbu kental berwarna cokelat kemerahan. Tapi kini, makanan ini telah menembus batas sosial dan waktu. Dari warung kaki lima hingga restoran modern, sate kerang hadir dalam berbagai versi—dari yang tradisional hingga versi fusion dengan sentuhan modern.
Misalnya, di beberapa kafe urban, sate kerang disajikan dalam bentuk canapé atau skewer appetizer dengan saus mentega dan perasan lemon. Rasanya mungkin berbeda dari versi aslinya, tapi tetap mempertahankan identitas utama: rasa laut yang kuat dan tekstur kenyal khas kerang.
Adaptasi seperti ini menunjukkan bahwa kuliner tradisional Indonesia bisa bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya. Ia bisa tampil elegan di restoran mewah, tapi tetap akrab di warung pinggir jalan. Dan di situlah kekuatan kuliner lokal seperti sate kerang — ia fleksibel, tapi punya karakter yang kuat.
Bahkan dalam konteks wisata kuliner, sate kerang kini menjadi daya tarik tersendiri. Banyak wisatawan yang datang ke Surabaya atau Medan sengaja berburu kuliner ini sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka. Mereka ingin merasakan sesuatu yang tidak hanya enak, tapi juga punya cerita.
Filosofi di Balik Tusukan Sate
Di balik sebatang sate kerang yang sederhana, ada filosofi mendalam tentang ketekunan, kebersamaan, dan cinta terhadap tradisi. Mungkin terdengar berlebihan, tapi mari kita lihat dari sudut pandang para pembuatnya.
Proses membuat sate kerang tidak mudah. Ia membutuhkan kesabaran luar biasa, terutama saat membersihkan kerang satu per satu dari pasir dan kotoran laut. Lalu, memasaknya perlahan dengan bumbu hingga meresap, dan akhirnya menusukinya satu per satu dengan tangan. Tidak ada mesin otomatis di sini—semuanya hasil kerja tangan manusia, hasil cinta pada makanan.
Sate ini juga punya makna sosial. Di banyak daerah, sate kerang sering disajikan dalam acara keluarga, arisan, atau perayaan kecil. Ia bukan hanya makanan, tapi simbol kebersamaan. Saat orang-orang duduk melingkar, berbagi cerita sambil menikmati sate kerang hangat, ada suasana keakraban yang sulit digantikan oleh makanan modern manapun.
Bahkan di zaman digital seperti sekarang, tradisi ini tetap hidup. Banyak keluarga di pesisir yang masih membuat sate kerang sendiri di rumah, bukan sekadar untuk dimakan, tapi juga sebagai bentuk warisan budaya. Setiap tusukan membawa rasa cinta dari generasi ke generasi.
Dan mungkin, di sanalah kekuatan sejati sate kerang. Ia bukan hanya tentang rasa, tapi tentang bagaimana rasa itu menghubungkan manusia satu sama lain.
Sate Kerang Era Digital
Di tengah tren makanan kekinian dan kuliner global yang membanjiri media sosial, sate tetap punya tempat istimewa. Di platform seperti Instagram dan TikTok, banyak food creator lokal yang mulai mengangkat kembali makanan-makanan tradisional, termasuk sate , ke permukaan.
Salah satu hal menarik adalah bagaimana generasi muda kini mencoba mengkreasikan ulang makanan ini dengan gaya modern. Misalnya, sate kerang crispy, di mana kerang dibalut tepung renyah sebelum dibumbui, atau sate spicy mayo yang tampil lebih kontemporer tapi tetap mempertahankan inti rasa lautnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi tidak mati—ia hanya berubah bentuk. Sate yang dulunya dianggap makanan sederhana, kini bisa menjadi simbol kebanggaan kuliner lokal yang berkelas.
Tak jarang, ide sederhana seperti ini bahkan menginspirasi bisnis kuliner baru. Banyak UMKM yang mulai menjual sate kerang kemasan siap saji, dikirim ke seluruh Indonesia. Dengan kemasan modern dan branding menarik, makanan tradisional ini kembali menemukan napas barunya di pasar digital.
Dan mungkin, inilah momen terbaik bagi kuliner Nusantara: saat tradisi dan teknologi saling bersinergi, menciptakan peluang baru tanpa melupakan akar budaya yang sudah tertanam kuat selama ratusan tahun.
Cita Rasa Sate Kerang yang Tak Pernah Hilang
Pada akhirnya, sate kerang bukan sekadar makanan dari laut. Ia adalah potret keindahan kuliner Indonesia: sederhana tapi penuh makna, kecil tapi menyimpan kekuatan besar dalam menjaga identitas budaya.
Di setiap tusukannya, ada cerita tentang laut, tentang tangan-tangan pekerja keras, dan tentang rasa cinta terhadap makanan yang diwariskan turun-temurun. Ia mungkin tampak sepele dibandingkan makanan modern yang berteknologi tinggi, tapi justru di situlah keindahannya.
Karena ketika kita menikmati sate kerang, sesungguhnya kita sedang menikmati warisan masa lalu yang tetap hidup di masa kini. Sebuah rasa yang melintasi generasi, membawa kenangan, dan membuktikan bahwa laut Indonesia bukan hanya sumber kehidupan—tapi juga sumber cita rasa yang abadi.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Soto Babat: Kuliner Legendaris dengan Cita Rasa Khas Nusantara yang Selalu Bikin Rindu
