Sebagai pembawa berita dan juga penikmat perjalanan, saya sering kali mencari tempat-tempat yang belum banyak disorot tapi punya pesona luar biasa. Dan kali ini, saya jatuh cinta… pada Bromo via Seruni. Serius, ini bukan rute biasa. Ini rute sunrise yang akan membuatmu merasa seperti berdiri di atas negeri para dewa.
Rute ini terletak di kawasan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Kalau biasanya orang naik jeep lewat Cemoro Lawang atau Penanjakan 1, via Seruni menawarkan jalur trekking yang lebih tenang dan… jujur aja, lebih “berasa banget Bromo-nya.”
Waktu saya sampai di pintu masuk Seruni Point sekitar jam 3 pagi, udaranya dingin banget—sekitar 10 derajat. Saya sempat mikir: “Ngapain sih bangun tengah malam cuma buat lihat matahari terbit?” Tapi begitu langit mulai membelah dan semburat oranye menyelimuti siluet Gunung Batok… saya terdiam.
Ada magisnya. Ada semacam ketenangan yang nggak bisa dijelaskan. Rute Seruni ini benar-benar beda. Sunrise-nya lebih lapang, angle-nya lebih luas, dan suasananya jauh lebih intimate karena belum sepadat jalur mainstream.
Dan satu hal yang pasti: kalau kamu tipe yang suka foto-foto untuk konten IG atau TikTok—ini spot golden hour yang sempurna!
Mengapa Rute Seruni Jadi Primadona Baru Wisatawan Bromo

Jalur Menuju Seruni Point: Mendaki Tangga Menuju Langit
Oke, sekarang kita bahas jalurnya ya.
Untuk mencapai Seruni Point, kamu bisa mulai dari Probolinggo. Perjalanan sekitar 2,5–3 jam dari pusat kota Malang atau Surabaya. Kalau naik motor atau mobil pribadi, jalannya cukup menanjak dan sempit, jadi pastikan kendaraanmu fit. Saya sendiri waktu itu pakai motor sewaan—dan nggak bohong, sempat agak ngilu waktu nanjak tikungan terakhir menjelang parkiran Seruni.
Setelah sampai di tempat parkir Seruni Point, petualangan sesungguhnya dimulai.
Dari sana, kamu harus berjalan kaki sekitar 1,5 km dan menaiki lebih dari 250 anak tangga menuju gardu pandang Seruni. Ya, 250 anak tangga! Tapi percayalah, setiap langkahnya worth it.
Saya sempat bertemu seorang bapak petani lokal bernama Pak Darto di tangga ke-180. Dia lagi bawa karung rumput, naik turun gunung seperti biasa. Ketika saya tanya, “Nggak capek, Pak?” Dia cuma senyum, “Capek itu cuma di kaki, Mas. Tapi kalau hati senang, ya hilang capeknya.”
Ucapan itu nempel banget di kepala saya sampai sekarang. Ada hikmah tersendiri dari setiap pendakian—baik di dunia nyata maupun hidup.
Sesampainya di atas, kamu bakal melihat dek pandang berbentuk lingkaran dengan latar belakang Gunung Bromo, Semeru, dan Batok. Kalau cuaca mendukung, kamu bahkan bisa lihat laut pasir dan kaldera Bromo yang menyelimuti kawasan dengan kabut tipis. Surreal banget.
Sunrise via Seruni: Bukan Sekadar Cahaya, Tapi Sebuah Perasaan
Momen paling ditunggu semua orang di rute ini tentu saja adalah matahari terbit. Sunrise di Bromo memang ikonik, tapi via Seruni memberikan sesuatu yang lebih… personal.
Sekitar jam 05.10 pagi, langit mulai berubah. Ada gradasi warna yang nggak bisa kamu lihat di tempat lain—ungu, jingga, merah muda, lalu perlahan kuning keemasan. Gunung Batok berdiri gagah, sementara Semeru kadang mengeluarkan asap tipis yang membuat lanskapnya seperti lukisan bergerak.
Waktu itu saya sempat diam sekitar lima menit penuh. Tanpa kamera. Tanpa ngobrol. Cuma duduk dan menikmati. Mungkin ini yang disebut meditasi visual. Ada ketenangan luar biasa waktu melihat alam bekerja sesuai ritmenya sendiri. Tanpa tekanan, tanpa tenggat waktu.
Yang menarik, di Seruni Point, kamu bisa menikmati sunrise tanpa terlalu banyak gangguan. Jumlah pengunjungnya belum sebanyak Penanjakan 1, jadi terasa lebih eksklusif. Bahkan saya sempat dapat spot duduk sendiri di sisi tebing, cuma ditemani segelas kopi dari warung kecil yang buka pagi-pagi sekali.
“Pagi ini hawanya bagus ya, Mas,” kata ibu warung sambil menyuguhkan kopi panas. Saya hanya mengangguk. Karena saat itu, kata-kata rasanya nggak cukup menggambarkan keindahan yang sedang saya lihat.
Tips dan Trik Naik ke Bromo via Seruni buat Kamu yang Baru Pertama Kali

Biar perjalanan kamu nggak zonk, saya bakal kasih beberapa tips penting berdasarkan pengalaman pribadi.
1. Berangkat lebih awal
Idealnya, sampai di parkiran Seruni jam 3 pagi. Karena butuh waktu buat jalan kaki dan naik tangga. Kalau telat, kamu bisa kehilangan momen golden sunrise yang hanya muncul sekitar 20 menit.
2. Pakaian hangat itu wajib
Udara dini hari di sana bisa menusuk sampai ke tulang. Pakai jaket tebal, sarung tangan, dan kupluk. Tapi juga jangan terlalu berat, karena kamu bakal banyak gerak.
3. Siapkan senter atau headlamp
Jalur menuju Seruni cukup gelap, apalagi sebelum subuh. Beberapa titik nggak ada lampu. Jadi pastikan bawa penerangan, apalagi kalau kamu jalan kaki dari penginapan.
4. Bawa air minum dan camilan ringan
Mendaki tangga itu butuh tenaga. Jangan lupa isi ulang energi. Tapi jangan buang sampah sembarangan ya. Tolong banget jaga alam.
5. Siapkan kamera dan baterai cadangan
Rugi banget kalau sampai kehabisan baterai pas sunrise. Saran saya, pakai tripod kecil biar hasil foto lebih stabil dan estetik.
Bonus: Kalau kamu suka eksplor, setelah dari Seruni kamu bisa lanjut ke Bukit Kingkong atau Love Hill. Lokasinya nggak terlalu jauh dan juga punya view menawan.
Alternatif Penginapan dan Kuliner Khas yang Wajib Kamu Coba
Buat yang niat nginap biar nggak buru-buru, kawasan Ngadisari dan Cemoro Lawang punya banyak pilihan penginapan—dari homestay murah meriah sampai villa estetik yang cocok buat healing.
Saya waktu itu nginap di sebuah homestay bernama “Rumah Bukit Seruni”. Biayanya cuma sekitar Rp200 ribuan per malam. Kamarnya bersih, ada air panas, dan host-nya super ramah. Saya bahkan diajak ngopi bareng malam-malam sambil denger cerita soal sejarah Seruni Point. Katanya dulu titik ini dipakai sebagai tempat ritual tolak bala oleh masyarakat Tengger.
Untuk makan, jangan lewatkan nasi rawon khas Tengger. Rasanya gurih banget, apalagi dimakan waktu pagi setelah trekking. Kalau kamu beruntung, bisa ketemu pedagang keliling yang jualan roti kukus isi kacang ijo—jajanan khas yang langka tapi legit.
Buat kamu yang doyan konten, banyak cafe kecil dengan pemandangan langsung ke arah bukit dan gunung. Beberapa bahkan punya spot selfie dan mural tematik. Cuma ya, jangan kebanyakan gaya sampai lupa nikmatin alam secara langsung ya.
Penutup: Seruni Bukan Sekadar Rute, Tapi Sebuah Pengalaman Jiwa
Perjalanan ke Bromo via Seruni buat saya bukan cuma soal “lihat sunrise” lalu pulang. Ini tentang bagaimana sebuah rute bisa menyentuh sisi lain dalam diri kita. Tentang melambat di tengah dunia yang serba cepat. Tentang berhenti sejenak dan berkata, “Wow, dunia ternyata seluas dan seindah ini ya.”
Bromo sudah lama jadi ikon pariwisata Indonesia. Tapi lewat Seruni Point, saya merasa menemukan versi Bromo yang lebih murni. Lebih manusiawi. Lebih menyentuh.
Dan jika kamu butuh waktu untuk memulihkan diri, atau sekadar menjauh dari riuhnya notifikasi, Seruni menawarkan panggung alami untuk kamu berdialog dengan diri sendiri.
Jadi, siap naik tangga menuju langit?
Baca Juga Artikel dari: Menjelajahi Lewat Tour Halal: Panduan Travel yang Ramah Muslim
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Travel
