Jakarta, odishanewsinsight.com – Ada sesuatu yang memikat dari aroma kuah rempah yang mengepul di pagi hari di Kota Makassar. Di sebuah warung sederhana di pinggiran Jalan Gagak, seorang penjual tua bernama Haji Daeng Tutu menyambut pelanggannya dengan senyum ramah. Di atas tungku besar, rebusan daging sapi yang telah dimasak berjam-jam itu menghasilkan aroma gurih yang membuat siapa pun berhenti sejenak.
“Coto Makassar, Nak. Ini bukan sekadar makanan, ini warisan,” katanya, sambil menambahkan daun bawang di atas mangkuk panas.
Coto Makassar memang bukan sekadar hidangan. Ia adalah representasi dari budaya Bugis-Makassar yang kaya akan tradisi, filosofi, dan kebersamaan. Berasal dari Sulawesi Selatan, hidangan ini telah menempuh perjalanan panjang hingga menjadi ikon kuliner nasional.
Sejarah mencatat, Coto Makassar awalnya hanya disajikan dalam upacara adat dan perjamuan kerajaan Gowa. Kala itu, hanya bangsawan dan tamu kehormatan yang bisa menikmati olahan daging sapi dengan kuah kacang yang kental dan aromatik ini. Namun seiring waktu, resep turun-temurun itu menyebar ke masyarakat luas, hingga kini bisa ditemukan di hampir setiap kota besar di Indonesia.
Yang membuatnya istimewa bukan hanya bahan, tapi juga filosofi di baliknya. Dalam budaya Bugis-Makassar, “makan bersama” adalah simbol persaudaraan. Semangkuk Coto Makassar bukan sekadar makanan, tapi cara masyarakat menunjukkan rasa hormat dan kebersamaan.
Rahasia di Balik Kuah Kental dan Rempah yang Menggoda

Bagi mereka yang baru pertama kali mencicipinya, Coto Makassar mungkin mengingatkan pada soto. Tapi begitu sendok pertama menyentuh lidah, jelas terasa bahwa ini lebih dari sekadar soto biasa.
Kuahnya kental, berwarna cokelat pekat, dengan aroma rempah yang kompleks. Rahasianya terletak pada bumbu khas yang disebut “bumbu kacang sangrai” — campuran rempah seperti ketumbar, jinten, pala, laos, lengkuas, dan bawang yang dihaluskan, lalu dimasak bersama kacang tanah sangrai hingga mengeluarkan aroma gurih yang khas.
Bahan utama Coto Makassar adalah daging sapi dan jeroan seperti hati, limpa, atau babat yang direbus lama dalam air cucian beras (tae’) hingga empuk. Air cucian beras ini bukan tanpa alasan — menurut tradisi, ia membantu mengikat rasa bumbu dan memberikan tekstur lembut pada kuah.
Hasilnya? Sebuah harmoni rasa yang gurih, dalam, dan membekas lama di lidah.
Seorang juru masak legendaris di Makassar, Daeng Lila, pernah berkata, “Coto itu seperti hidup. Kalau mau enak, harus sabar.” Ia tidak berlebihan. Proses memasak Coto Makassar memang bisa memakan waktu hingga lima jam, tergantung jumlah daging dan kekentalan kuah yang diinginkan.
Dan di situlah seni sesungguhnya dari masakan ini — kesabaran dan cinta dalam setiap adukan kuahnya.
Coto Makassar dan Filosofi Kuliner Bugis-Makassar
Dalam budaya Bugis dan Makassar, makanan selalu punya makna lebih dari sekadar rasa. Coto Makassar mencerminkan filosofi siri’ na pacce — nilai harga diri dan solidaritas sosial yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.
Coto sering disajikan dalam acara adat seperti pernikahan, khitanan, atau pesta panen. Ia menjadi simbol kebersamaan, di mana setiap orang — tua muda, kaya miskin — duduk sejajar menikmati hidangan yang sama.
Dalam momen itu, batas sosial seolah menghilang. Semua larut dalam percakapan dan tawa, ditemani semangkuk coto yang hangat.
Bahkan, ada tradisi unik di beberapa daerah: sebelum makan, orang akan mencicipi sedikit kuah coto dan berkata “Alhamdulillah” — bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan. Ini bukan sekadar kebiasaan, tapi refleksi dari nilai spiritual yang melekat dalam budaya makan orang Makassar.
Di sisi lain, filosofi kuliner ini juga tampak dalam cara penyajiannya. Tidak pernah berlebihan, tidak pula terburu-buru. Setiap unsur disiapkan dengan penuh perhatian — mulai dari potongan daging yang seragam hingga sambal tauco yang disajikan terpisah agar setiap orang bisa menyesuaikan rasa pedasnya sendiri.
Keseimbangan rasa dan kesederhanaan inilah yang membuat Coto Makassar terasa “manusiawi”. Ia bukan makanan yang dibuat untuk pamer, tapi untuk berbagi.
Coto Makassar di Era Modern: Dari Warung Tradisional ke Restoran Urban
Seiring berkembangnya zaman, Coto Makassar kini tak hanya bisa ditemukan di tanah asalnya. Di Jakarta, Bandung, hingga luar negeri, banyak restoran yang menghadirkan hidangan ini dengan sentuhan modern tanpa menghilangkan cita rasa otentiknya.
Restoran Coto Nusantara di Makassar, misalnya, dikenal sebagai salah satu penjaga orisinalitas resep klasik. Mereka masih menggunakan tungku tanah liat dan kayu bakar agar rasa kuah tetap memiliki aroma asap yang khas.
Sementara di ibu kota, beberapa chef muda bereksperimen dengan menyajikan Coto Makassar dalam bentuk fine dining, lengkap dengan plating elegan dan tambahan elemen kontemporer seperti truffle oil atau smoked salt.
Namun yang menarik, tak peduli seberapa modern tampilannya, inti dari Coto Makassar tetap sama: kuah kacang kental yang menghangatkan, potongan daging empuk, dan irisan daun bawang yang menambah segar di akhir suapan.
Salah satu inovasi yang cukup mencuri perhatian datang dari seorang pengusaha kuliner muda asal Gowa, yang membuka gerai Coto To-Go. Ia memodifikasi Coto Makassar menjadi makanan siap saji dalam kemasan beku tanpa pengawet, agar bisa dikirim ke seluruh Indonesia.
Langkah ini sukses besar, terutama di kalangan perantau Bugis yang rindu rasa kampung halaman.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Coto Makassar bukan sekadar tradisi kuliner, tapi juga identitas budaya yang mampu beradaptasi dengan zaman. Ia bergerak dari dapur tradisional menuju meja digital — tanpa kehilangan jiwanya.
Nilai Gizi dan Kelezatan yang Tersembunyi
Di balik rasa gurihnya, Coto Makassar ternyata juga kaya gizi. Kandungan protein tinggi dari daging sapi membantu pembentukan otot, sementara lemak sehat dan karbohidrat dari bumbu kacang memberi energi yang cukup untuk beraktivitas.
Namun, tentu saja, porsi dan frekuensi tetap perlu dijaga. Kuahnya yang gurih dan kental bisa mengandung kadar lemak yang cukup tinggi, terutama jika menggunakan jeroan. Maka, banyak penjual kini menawarkan varian “lebih sehat” dengan daging tanpa lemak, atau bahkan versi ayam bagi mereka yang ingin alternatif lebih ringan.
Beberapa ahli gizi juga menyoroti manfaat kacang tanah dalam kuahnya. Kacang mengandung magnesium dan antioksidan yang baik untuk jantung, sekaligus memberikan rasa gurih alami tanpa harus menggunakan banyak garam.
Menariknya, ada pula versi vegetarian Coto Makassar yang kini mulai populer di kalangan muda urban. Mereka mengganti daging dengan jamur dan tempe, serta menyesuaikan kuah dengan santan dan kaldu sayuran. Meski tidak seautentik versi aslinya, versi ini membuktikan bahwa Coto Makassar terus berevolusi sesuai zaman dan kebutuhan.
Coto Makassar, Rasa yang Menyatukan Nusantara
Di berbagai kota di Indonesia, warung Coto Makassar sering menjadi tempat berkumpulnya perantau asal Sulawesi. Di sana, mereka melepas rindu sambil berbagi cerita tentang kampung halaman. Ada rasa bangga tersendiri setiap kali mereka memperkenalkan hidangan ini kepada teman dari daerah lain.
Salah satu kisah datang dari Randi, mahasiswa asal Makassar yang kuliah di Yogyakarta. Ia bercerita bagaimana setiap akhir pekan, ia memasak Coto bersama teman-temannya di kosan. “Awalnya mereka heran, kenapa kuahnya cokelat dan kental banget. Tapi setelah coba, mereka ketagihan. Sekarang malah minta diajarin bikin,” katanya sambil tertawa.
Cerita seperti ini menunjukkan kekuatan kuliner sebagai alat pemersatu budaya. Coto Makassar bukan hanya milik orang Sulawesi, tapi telah menjadi bagian dari identitas kuliner Indonesia.
Dan mungkin, di balik setiap sendok kuah kentalnya, ada cerita tentang perjalanan panjang — dari dapur para bangsawan Gowa hingga meja makan anak muda di kota-kota besar.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Makanan, Coto Makassar Adalah Warisan
Coto Makassar bukan hanya soal rasa. Ia adalah simbol kesabaran, kebersamaan, dan identitas budaya yang terus hidup di tengah arus modernisasi. Dari warung sederhana hingga restoran mewah, dari dapur nenek di kampung hingga dapur digital masa kini — Coto Makassar tetap mempertahankan esensinya: kehangatan dan kebersamaan dalam setiap suapan.
Bagi sebagian orang, ia mungkin hanya semangkuk makanan. Tapi bagi masyarakat Sulawesi Selatan, Coto Makassar adalah cara mereka mengenang leluhur, menjaga tradisi, dan berbagi kehangatan lewat rasa.
Dan mungkin, di dunia yang serba cepat ini, kita semua butuh sedikit “coto” — sesuatu yang mengingatkan kita pada makna sederhana dari rumah, budaya, dan kelezatan yang tulus dari hati.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Gabus Pucung: Warisan Kuliner Betawi yang Hampir Hilang
