Jakarta, odishanewsinsight.com – Pernah suatu waktu saya diajak sahabat makan malam di restoran Jepang fancy di bilangan Senopati, Jakarta. Ia memesan menu yang katanya wajib dicoba sekali seumur hidup: Wagyu A5 Striploin. Begitu daging itu datang, disajikan di atas hot stone dengan aroma butter yang meleleh lembut, saya langsung paham—ini bukan daging sembarangan.
Wagyu, singkatan dari Wa (Jepang) dan Gyu (sapi), adalah daging dari jenis sapi Jepang tertentu yang dikenal dengan tingkat marbling (lemak dalam daging) yang sangat tinggi. Marbling ini yang bikin teksturnya lembut, rasanya creamy, dan literally meleleh di mulut. Ini bukan daging keras yang harus dikunyah keras-keras—ini seperti potongan mentega sapi yang bisa dilumat tanpa tenaga.
Tapi jangan salah, Wagyu bukan hanya tren fancy buat pamer di media sosial. Ia adalah hasil proses panjang, budaya peternakan ketat, dan kontrol mutu super ketat dari Jepang. Bahkan di Jepang sendiri, hanya sebagian kecil peternak yang diberi izin untuk memproduksi Wagyu dengan klasifikasi A3 ke atas. Jadi, kalau kamu pernah menemukan daging Wagyu A5—itu benar-benar sebuah kemewahan gastronomi.
Harga? Jangan ditanya. Untuk 100 gram Wagyu A5 asli Jepang, kamu bisa menghabiskan ratusan ribu, bahkan jutaan. Tapi ternyata, di balik harganya yang mahal, ada cerita panjang tentang bagaimana daging ini diperlakukan seperti raja—diberi pakan khusus, dimandikan, dipijat, bahkan disetelkan musik klasik.
Asal-Usul Daging Wagyu dan Jenis-Jenisnya

Kalau bicara soal sejarah Wagyu, kita harus kembali ke zaman Meiji (sekitar akhir 1800-an). Saat itu, Jepang mulai membuka diri terhadap budaya Barat, termasuk konsumsi daging merah yang sebelumnya bukan makanan pokok masyarakat Jepang. Peternak lokal mulai mengembangkan ras sapi lokal yang kemudian disilangkan dengan sapi impor dari Eropa.
Namun lambat laun, muncul jenis-jenis sapi yang unik dan menghasilkan daging dengan ciri khas Jepang banget: marbling tinggi, tekstur lembut, dan kaya rasa. Maka lahirlah Wagyu.
Secara umum, ada empat ras utama Wagyu di Jepang:
-
Japanese Black (Kuroge Washu) – Ini yang paling umum dan sering jadi sumber Wagyu A5.
-
Japanese Brown (Akage Washu) – Rasa lebih ringan dan rendah lemak.
-
Japanese Shorthorn (Nihon Tankaku Washu) – Lebih berdaging, lebih kaya rasa, tapi marbling lebih rendah.
-
Japanese Polled (Mukaku Washu) – Ras langka, hampir punah.
Nah, untuk soal kualitas, daging Wagyu diklasifikasikan menggunakan grading system dari Japan Meat Grading Association (JMGA). Dua komponen utamanya:
-
Yield grade (A–C): seberapa banyak daging bisa diambil dari sapi tersebut.
-
Quality grade (1–5): mencakup marbling, warna, tekstur, dan kualitas lemak.
Jadi A5 artinya: hasil daging maksimal (A), kualitas tertinggi (5). Itulah “holy grail”-nya Wagyu.
Dan jangan tertukar ya, Kobe beef itu sebenarnya jenis Wagyu juga, tapi hanya dari sapi tertentu (Tajima) yang dibesarkan di wilayah Hyogo, Jepang, dengan regulasi super ketat. Semua Kobe adalah Wagyu, tapi tidak semua Wagyu adalah Kobe.
Cita Rasa dan Sensasi Wagyu – Meleleh, Lembut, dan Bikin Nagih
Buat kamu yang belum pernah coba Wagyu, sulit menggambarkan rasanya dengan akurat. Tapi bayangkan ini: sekali digigit, serat-serat daging langsung putus seperti kapas basah, lalu meleleh seperti mentega di suhu ruangan. Tidak ada sensasi alot. Tidak ada perlu kunyah berkali-kali. Rasanya juga beda dari daging sapi biasa—lebih kaya, lebih umami, dan meninggalkan aftertaste lembut.
Ini semua karena marbling tadi. Lemak-lemak kecil di antara otot ini bukan lemak jenuh biasa. Lemaknya mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh tunggal, yang membuat rasanya lebih ringan dan teksturnya creamy. Bahkan beberapa studi menyebut bahwa Wagyu memiliki lemak baik yang lebih tinggi dibandingkan daging sapi biasa.
Chef Yoga dari restoran Yakiniku populer di Jakarta pernah bilang ke saya, “Kalau daging biasa, rasa tergantung seasoning. Tapi kalau Wagyu, kita cukup kasih garam flake. Sisanya serahkan ke lemak dan suhu.”
Makanya, banyak restoran menyajikan Wagyu dengan teknik yang minim: seared 30 detik per sisi, tanpa saus berlebihan. Karena daging ini memang punya rasa natural yang ingin ditonjolkan. Dagingnya sendiri udah jadi bintang utama.
Cara Memasak dan Menikmati Wagyu Tanpa Menghancurkan Kualitasnya
Sekarang bayangkan kamu berhasil beli sepotong Wagyu A5 dari supermarket premium atau online shop. Lalu kamu masak seperti daging biasa—dikasih kecap, digoreng, ditumis bareng sayuran keras. Waduh, ini sama aja kayak beli lukisan Van Gogh terus dicat ulang.
Wagyu harus diperlakukan dengan hormat. Karena teksturnya sangat lembut dan tinggi lemak, teknik masaknya juga harus hati-hati. Berikut beberapa tips memasak Wagyu:
-
Biarkan suhu ruang dulu. Jangan langsung dari kulkas ke wajan. Diamkan 30 menit agar suhu merata.
-
Pakai wajan besi (cast iron). Karena panasnya stabil dan permukaannya rata.
-
Tanpa minyak. Lemak Wagyu sendiri akan meleleh. Cukup panaskan wajannya.
-
Jangan overcook. Medium rare adalah titik ideal. Lewat dari itu, lemak akan keluar berlebihan, dan tekstur rusak.
-
Seasoning minimal. Garam laut flake dan sedikit lada cukup. Nggak perlu saus barbeque atau bumbu berat.
Mau disajikan ala steak? Silakan. Mau ala yakiniku irisan tipis? Boleh juga. Tapi ingat, porsi kecil lebih baik. Wagyu sangat mengenyangkan dan terlalu banyak bisa bikin eneg. Lagipula, sebagian besar kenikmatannya datang dari sensasi “melt in your mouth”, bukan dari porsi jumbo.
Wagyu Lokal vs Wagyu Jepang – Apakah Rasanya Sama?
Belakangan, Indonesia mulai melahirkan sapi Wagyu hasil breeding lokal. Ada yang dari Lembang, ada dari Malang, bahkan ada peternak di Lampung yang sukses kembangkan bibit Wagyu crossbreed.
Pertanyaannya: apakah rasanya setara dengan Wagyu Jepang asli?
Jawabannya… iya dan tidak.
Wagyu lokal umumnya adalah F1 atau F2 Wagyu crossbreed, artinya hasil kawin silang Wagyu Jepang dengan sapi lokal atau Brahman. Hasilnya adalah daging dengan marbling cukup baik, tekstur lembut, tapi belum setinggi Wagyu Jepang A5. Secara harga jelas lebih terjangkau, bahkan banyak restoran yakiniku Indonesia pakai wagyu lokal untuk menu regulernya.
Tapi Wagyu Jepang punya sesuatu yang sulit direplikasi: standar pemeliharaan ketat, genetik asli, dan kualitas air serta pakan di lingkungan Jepang. Di Jepang, sapi Wagyu bisa tumbuh tanpa stres, dimanjakan seperti atlet, dan diberi perhatian harian oleh peternaknya. Ada bahkan yang diberi nama, dan dipanggil tiap hari!
Namun Wagyu lokal patut dibanggakan. Karena dengan keterbatasan lahan dan iklim tropis, peternak lokal mampu hasilkan daging premium dengan harga lebih masuk akal. Jika kamu belum pernah coba Wagyu Jepang asli, Wagyu lokal bisa jadi batu loncatan yang sangat memuaskan.
Penutup: Wagyu dan Budaya Makan yang Lebih Dalam
Lebih dari sekadar daging mahal, Wagyu mengajarkan kita tentang filosofi makan yang menghormati bahan, proses, dan kesabaran. Ia mengingatkan kita bahwa makanan terbaik bukan soal kuantitas, tapi kualitas. Bukan tentang mewahnya tampilan, tapi tentang rasa yang melekat dan pengalaman yang mendalam.
Mungkin kita tidak bisa sering-sering makan Wagyu A5. Tapi sesekali menikmatinya, dengan perlakuan yang tepat dan rasa syukur, adalah bentuk apresiasi terhadap hasil kerja manusia dan alam.
Di atas hot stone, potongan daging seberat 80 gram itu meleleh. Tapi yang tinggal di ingatan bukan cuma rasanya, melainkan perjalanan panjang dari sapi yang dirawat penuh kasih hingga tiba di hadapan kita.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Ikan Kuah Kuning: Hidangan Khas Timur Indonesia yang Bikin Rindu Kampung
