Jakarta, odishanewsinsight.com – Pernah nggak sih, kamu lagi duduk santai di ruang tamu nenek, terus tiba-tiba aroma harum kelapa dan santan menyeruak dari dapur? Belum lagi bunyi ‘kres’ dari toples kaca yang dibuka, isinya penuh dengan kue renyah berbentuk bunga mekar. Itu dia, kue kembang goyang—camilan tradisional yang nggak pernah kehilangan pesonanya, meskipun zaman sudah berganti.
Kue kembang goyang adalah kue goreng khas Betawi yang punya bentuk menyerupai bunga mekar. Nama “goyang” bukan karena bisa menari, tapi karena proses pembuatannya memang harus “digoyang” di dalam minyak panas supaya adonan terlepas dari cetakan besinya.
Meskipun populer di Jakarta dan sekitarnya, sebenarnya kue ini juga bisa ditemukan di beberapa daerah lain dengan nama dan bentuk yang berbeda. Di Sumatera Barat, dikenal sebagai kue kembang loyang, sementara di Malaysia, disebut rose cookies. Tapi buat masyarakat Betawi, kembang goyang punya tempat tersendiri, khususnya di momen lebaran atau hajatan keluarga.
Cerita dari Bu Nur, warga asli Condet yang jualan kembang goyang sejak tahun 1993, menarik untuk dicatat. Katanya, “Anak sekarang lebih kenal croffle daripada kembang goyang. Tapi tiap lebaran, orang tetap antre beli. Mungkin karena rasanya bener-bener ngingetin sama rumah.” Simpel, tapi dalam. Sebab kembang goyang bukan cuma soal rasa, tapi juga rasa kangen.
Resep Klasik dan Teknik Goyang yang Tak Sembarangan

Membuat kue kembang goyang memang terkesan sederhana, tapi jangan salah. Teknik menggoyangnya harus presisi, dan nggak semua orang langsung bisa dalam percobaan pertama. Seringkali, adonan terlalu kental, akhirnya lengket di cetakan. Atau sebaliknya, terlalu encer, jadi pecah di minyak.
Bahan-bahan utama:
-
Tepung beras
-
Tepung sagu atau maizena
-
Gula pasir
-
Telur
-
Santan kental
-
Vanili atau pandan (untuk aroma)
-
Garam secukupnya
-
Wijen (opsional, tapi bikin makin wangi dan khas)
Adonan dicampur rata, disaring supaya halus, lalu dimasukkan ke wadah datar. Cetakan besi berbentuk bunga harus dipanaskan dulu di minyak panas, baru dicelupkan ke adonan, lalu digoyang di dalam minyak panas sampai kue terlepas dan mengembang cantik.
Ada satu rahasia yang sering diturunkan dari ibu ke anak: tingkat panas minyak dan suhu cetakan besi sangat menentukan keberhasilan. Kalau terlalu dingin, adonan nggak nempel. Kalau terlalu panas, adonan malah langsung gosong.
Seiring waktu, banyak variasi modern bermunculan. Ada yang menambahkan bubuk coklat, keju, bahkan matcha. Tapi esensinya tetap sama—camilan ringan yang renyah dan bikin nagih.
Filosofi Bunga dan Goyangan—Lebih Dari Sekadar Kue
Apa mungkin, sebuah kue bisa punya filosofi? Dalam budaya Betawi, kembang goyang bukan hanya cemilan manis. Ia adalah simbol dari keramahan, kehangatan, dan keterbukaan. Bentuknya yang mekar seperti bunga menggambarkan harapan agar tuan rumah selalu membawa rezeki dan kebahagiaan bagi tamunya.
“Dulu tiap hajatan pasti ada kembang goyang, itu semacam tanda ‘ayo silaturahmi’, gitu lho,” kata Bang Iwan, budayawan Betawi yang sering mengisi acara kuliner di TV lokal.
Uniknya lagi, kata “goyang” sendiri mencerminkan filosofi hidup masyarakat Betawi yang santai tapi fleksibel. Seperti kembang yang harus digoyang untuk lepas dari cetakan, manusia juga harus fleksibel untuk bisa berkembang dan beradaptasi.
Di acara-acara pernikahan, ulang tahun, bahkan pengajian, kembang goyang sering hadir di antara deretan kue tradisional lain. Ia bukan bintang utama, tapi selalu ada. Konsisten. Kayak teman lama yang mungkin jarang dihubungi, tapi selalu ada ketika dibutuhkan.
Perjuangan Melestarikan di Tengah Gempuran Modernitas
Hari ini, kita hidup di zaman di mana viralitas makanan ditentukan oleh bentuk dan tampilannya di TikTok atau Instagram. Kue-kue tradisional seperti kembang goyang sering kalah pamor dibanding cake kekinian. Tapi apakah itu berarti ia akan menghilang? Tidak juga.
Faktanya, banyak generasi muda yang kini kembali melirik kue kembang goyang, terutama yang punya ketertarikan pada budaya lokal dan usaha rumahan. Bahkan beberapa UMKM di Jabodetabek mulai membuat variasi baru seperti kembang goyang rasa red velvet, taro, hingga spicy cheese. Sounds weird? Tapi pas dicoba, eh, enak juga.
Di sisi lain, pemerintah melalui Dinas Koperasi dan UMKM sudah mulai aktif mengikutsertakan produsen kue tradisional dalam pelatihan digital marketing dan e-commerce. Kembang goyang pun masuk ke marketplace besar, lengkap dengan packaging estetik dan label halal.
Contoh suksesnya adalah Ibu Leni dari Bekasi. Awalnya hanya membuat kembang goyang untuk dijual di kampung. Tapi setelah dia ikut pelatihan pengemasan dan buka toko online, pesanan datang dari luar kota—bahkan ada yang kirim sampai Singapura.
Namun tetap, tantangannya besar. Salah satunya adalah regenerasi pembuat. Banyak anak muda yang ogah belajar teknik goyang, karena dianggap ribet. Padahal itu bagian paling magis dari prosesnya.
Makan Kue, Mengenang Akar—Kembang Goyang untuk Masa Depan
Melestarikan kue kembang goyang bukan cuma soal mempertahankan resep, tapi juga soal membawa nilai-nilai lama ke masa depan. Di tengah dunia yang serba cepat, kadang kita butuh sesuatu yang mengingatkan kita untuk berhenti sejenak—dan menikmati gigitan sederhana penuh kenangan.
Mungkin kamu pernah makan kembang goyang sambil nonton sinetron zaman dulu, atau sambil duduk di pangkuan nenek. Mungkin juga kamu baru pertama kali coba, dan kaget karena rasanya lebih “real” dibanding camilan pabrikan.
Apapun itu, kue kembang goyang adalah jembatan antara rasa dan cerita. Di setiap helai renyahnya, ada aroma santan, dedaunan di pekarangan, dan percakapan ringan yang dulu sering terjadi di teras rumah.
Mau dibentuk ulang, dimodifikasi rasa, atau dikemas dalam kotak modern—itu semua baik. Asal jangan hilangkan satu hal: jiwanya.
Karena sejatinya, kue tradisional seperti ini bukan cuma tentang makanan. Tapi tentang ingatan yang terus bergoyang, di lidah dan di hati.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel dari: Menikmati Lezatnya Pie Susu: Camilan Manis yang Tak Pernah Gagal Memikat Hati
