Jakarta, odishanewsinsight.com – Di antara deretan jajanan pasar yang masih setia bertahan di tengah gempuran makanan modern, ada satu yang sederhana tapi tak pernah kehilangan pesonanya: Kue Pancong.
Gurih, manis, dan beraroma kelapa yang khas—begitu seseorang mencicipinya, nostalgia masa kecil langsung menyeruak.
Kue Pancong adalah camilan tradisional khas Betawi, yang biasanya dijual di warung-warung kaki lima atau gerobak keliling. Bentuknya mirip seperti kue pukis, tapi teksturnya lebih padat dan rasanya lebih gurih.
Bahan dasarnya sederhana: kelapa parut, tepung beras, santan, dan sedikit garam. Namun dari kesederhanaan itulah, cita rasa autentik lahir.
Konon, Kue Pancong sudah ada sejak era kolonial. Ia muncul bersamaan dengan jajanan pasar lain seperti kue cubit dan kue rangi.
Bedanya, Kue Pancong dikenal sebagai “kue rakyat”—murah, mudah dibuat, dan bisa dinikmati siapa saja tanpa memandang status sosial.
Aroma kelapanya yang khas selalu mengundang perhatian. Di pinggir jalan Jakarta, terutama di pagi atau sore hari, sering terdengar suara cetakan besi yang bertemu adonan panas, menandakan sang penjual tengah menyiapkan kue-kue yang baru matang.
Ketika ditaburi gula pasir dan disajikan hangat, Kue Pancong menjadi sajian sederhana yang menenangkan.
Seorang penjual tua di Pasar Minggu, sebut saja Mak Atun, pernah berkata sambil tersenyum,
“Orang Jakarta boleh berubah, tapi yang datang cari pancong tiap sore itu tetap banyak. Katanya, buat ngilangin capek sehabis kerja.”
Ungkapan itu menggambarkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa: Kue Pancong adalah potongan kecil dari identitas Betawi yang hidup di lidah warganya.
Dari Tepian Sunda Kelapa ke Seluruh Nusantara

Tidak banyak yang tahu bahwa Kue Pancong memiliki hubungan erat dengan sejarah perdagangan di pesisir utara Jakarta.
Pada abad ke-19, ketika pelabuhan Sunda Kelapa menjadi salah satu pusat aktivitas ekonomi terbesar di Batavia, masyarakat Betawi sering membuat kudapan dari bahan-bahan yang mudah didapat di sekitar pantai—terutama kelapa dan beras.
Kue Pancong lahir dari budaya ekonomi rumah tangga. Para ibu rumah tangga Betawi kala itu mencari cara memanfaatkan kelapa yang melimpah menjadi makanan yang tahan lama dan mengenyangkan.
Dari sanalah, adonan sederhana ini ditemukan dan diwariskan turun-temurun.
Uniknya, setiap daerah memiliki sebutan berbeda untuk kue ini.
-
Di Makassar, ia dikenal sebagai Bikang Ambon Kering versi gurih.
-
Di Bandung, banyak yang menyebutnya kue rangin.
-
Di Jawa Tengah, orang menyebutnya gandos.
Namun, resep dasar dan rasanya hampir sama—perpaduan gurih kelapa dan lembutnya tepung beras.
Kue Pancong juga mencerminkan budaya gotong royong masyarakat dulu.
Biasanya, kue ini dibuat dalam acara kumpul keluarga, arisan kampung, atau perayaan hari besar seperti Lebaran.
Sang pembuat akan duduk di dapur, memanggang kue di atas tungku, sementara aroma harum kelapa menyebar memenuhi rumah.
Di era modern seperti sekarang, Kue Pancong tak lagi hanya menjadi makanan pinggir jalan. Banyak kafe dan restoran kekinian yang menghidangkannya dengan tampilan lebih modern: ditambah topping cokelat leleh, keju, hingga matcha.
Meski tampilannya berubah, satu hal tetap sama—esensi lokal yang tidak pernah hilang.
Rahasia di Balik Gurih-Manisnya Kue Pancong
Kalau kamu pernah menggigit Kue Pancong yang baru matang, kamu pasti tahu sensasi uniknya.
Bagian luar renyah, tapi bagian dalamnya lembut dan agak basah. Ketika gula pasir meleleh di atas permukaannya, rasa manisnya berpadu sempurna dengan gurih kelapa.
Rahasia kelezatan Kue Pancong ada pada komposisi bahan dan cara pemanggangan.
Berbeda dengan kue pukis yang menggunakan campuran telur dan ragi, Kue Pancong sepenuhnya bergantung pada santan dan kelapa parut untuk memberikan tekstur dan rasa.
Artinya, kualitas kelapa sangat menentukan hasil akhirnya.
Penjual yang berpengalaman biasanya memilih kelapa setengah tua—tidak terlalu muda, tapi juga tidak keras.
Kelapa jenis ini menghasilkan aroma harum dan tekstur parut yang lembut.
Selain itu, penggunaan santan kental menjadi kunci utama.
Santan encer membuat kue cepat kering, sedangkan santan kental menghasilkan tekstur lembut dan gurih yang “nempel di lidah.”
Proses memasaknya juga perlu kesabaran.
Cetakan besi dipanaskan lebih dulu, lalu dioles minyak tipis-tipis.
Setelah itu, adonan dituangkan perlahan dan ditutup selama beberapa menit.
Saat bagian bawah mulai kecokelatan dan harum kelapa tercium, penjual akan membuka tutupnya dan menaburkan gula di atas permukaan kue yang masih panas.
Hasilnya?
Kue yang renyah di luar, lembut di dalam, dengan lapisan gula mencair di atasnya—paduan yang sederhana tapi memikat.
Kue Pancong sejatinya menggambarkan filosofi kuliner Betawi: apa adanya, tapi selalu berkesan.
Ia tidak butuh topping mahal untuk menjadi istimewa, cukup kesederhanaan dan niat baik dari pembuatnya.
Anekdot: Antara Aroma Kelapa dan Kenangan Masa Kecil
Suatu sore di tahun 2003, di kawasan Kalibata, seorang anak kecil bernama Rendra duduk di bangku kayu depan rumahnya.
Ia menunggu suara khas dari gerobak yang biasa lewat di gang sempit: “Pancong… pancong panas!”
Begitu penjualnya datang, Rendra langsung berlari sambil menggenggam uang lima ratus rupiah.
Ia menonton dengan sabar saat sang penjual membuka cetakan panas, menaburkan gula, lalu meniup pelan sebelum menyajikan kue ke kertas bungkus.
Kue itu terlalu panas untuk langsung dimakan, tapi Rendra tak peduli.
Setelah gigitan pertama, rasa gurih manisnya langsung membuatnya tersenyum.
Dua puluh tahun berlalu, dan Rendra kini bekerja sebagai karyawan kantoran di Jakarta.
Namun setiap kali mencium aroma kelapa panggang di pinggir jalan, kenangan itu muncul kembali.
“Lucu ya, cuma kue sederhana bisa bikin ingat masa kecil yang rasanya damai banget,” ujarnya suatu kali.
Kisah Rendra mungkin hanya fiktif, tapi perasaan itu nyata bagi banyak orang.
Kue Pancong bukan hanya makanan, tapi jembatan waktu yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Bagi generasi yang tumbuh di era 90-an atau awal 2000-an, Kue Pancong adalah simbol kehangatan sore hari—momen ketika dunia terasa lebih pelan, lebih hangat, dan lebih manusiawi.
Inovasi Modern: Kue Pancong Rasa Kekinian
Zaman boleh berubah, tapi selera terhadap Kue Pancong tetap hidup.
Hanya saja, kini ia tampil dalam wajah yang lebih berani.
Beberapa tahun terakhir, muncul fenomena Kue Pancong Modern di berbagai kota besar Indonesia.
Tampilannya dibuat lebih menarik, dengan topping seperti Nutella, keju mozzarella, green tea, hingga oreo crumble.
Teksturnya pun sedikit diubah agar lebih lembut dan lembab, menyesuaikan selera generasi muda yang gemar makanan manis.
Di Jakarta, kedai seperti Pancong Bro dan Pancong Lab sempat viral karena menawarkan konsep kue pancong premium.
Mereka menggunakan bahan berkualitas tinggi, bahkan menciptakan varian “Pancong Lumer”—di mana bagian dalamnya berisi lelehan cokelat atau keju.
Namun, tak sedikit juga penjual tradisional yang tetap bertahan dengan resep klasik.
Salah satunya Bang Udin di Tanah Abang, yang sudah berjualan sejak 1998.
Ketika ditanya kenapa tidak ikut menjual varian modern, ia hanya tertawa,
“Pancong itu sudah enak dari dulu. Kalau diubah-ubah, takutnya malah hilang ruhnya.”
Kalimat itu menyiratkan dilema yang sering muncul di dunia kuliner: antara inovasi dan keaslian.
Kue Pancong tampaknya berhasil menjaga keseimbangan di antara keduanya—menyatu dengan zaman tanpa melupakan akar budaya.
Dan justru di situlah kekuatannya.
Ia bisa tampil sebagai jajanan nostalgia bagi generasi tua, sekaligus comfort food bergaya retro bagi anak muda.
Filosofi di Balik Sepotong Kue Pancong
Kue Pancong bukan hanya soal rasa, tapi juga cerminan nilai-nilai kehidupan masyarakat Betawi.
Ia sederhana, tapi dibuat dengan ketulusan.
manis, tapi tidak berlebihan.
Ia tahan lama, tapi hanya jika dijaga dengan sabar saat memanggangnya.
Dalam budaya Betawi, makanan sering kali menjadi simbol keharmonisan sosial.
Membuat kue seperti pancong bukan sekadar memasak, tapi juga berbagi—tentang waktu, tenaga, dan kasih sayang.
Sebuah artikel di salah satu portal kuliner nasional pernah menyebut bahwa Kue Pancong adalah “kue yang mengajarkan kesetiaan.”
Mengapa? Karena siapa pun yang mencintai rasanya, cenderung akan kembali mencari versi aslinya, bukan yang berinovasi.
Dan memang benar, ketika kamu duduk di warung sederhana, menyeruput kopi hitam, lalu menyantap kue pancong hangat, rasanya ada sesuatu yang menenangkan.
Mungkin bukan hanya karena gula dan kelapanya, tapi karena ada kenangan yang ikut larut di setiap gigitan.
Kesimpulan: Warisan Rasa yang Tak Lekang oleh Waktu
Dalam lautan kuliner modern yang penuh warna dan inovasi, Kue Pancong tetap berdiri sebagai simbol rasa lokal yang jujur dan otentik.
Ia tidak berusaha menjadi megah atau mahal, tapi keberadaannya selalu mengisi ruang kecil dalam kehidupan masyarakat—dari gang sempit di Jakarta hingga kafe bergaya urban di kota besar.
Kue Pancong membuktikan satu hal penting: bahwa kesederhanaan bisa bertahan lebih lama dari tren.
Selama masih ada orang yang menghargai cita rasa tradisional, selama aroma kelapa masih membuat orang berhenti sejenak di pinggir jalan, maka Kue Pancong tidak akan pernah benar-benar hilang.
Ia bukan sekadar jajanan pasar, tapi warisan budaya yang hidup—warisan yang bisa membuat siapa pun, dari generasi mana pun, berkata,
“Ah, ini dia rasa yang dulu sering saya makan waktu kecil.”
Mungkin di situlah keajaiban sejati Kue Pancong:
Bukan hanya pada rasanya, tapi pada kemampuannya menghubungkan lidah, waktu, dan kenangan.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Kue Rangi: Jejak Manis Kuliner Betawi yang Hampir Punah
