Bandung, odishanewsinsight.com – Suatu pagi di Bandung, tepatnya di Jalan Baranangsiang, antrean mulai terbentuk sejak pukul 7. Di balik kios sederhana, seorang pria paruh baya dengan celemek biru sibuk menata gorengan hangat yang baru saja diangkat dari minyak. Nama yang terpampang di spanduknya sederhana: Odading Mang Oleh.
Namun siapa sangka, warung kecil itu kemudian meledak jadi sorotan nasional. Bukan karena strategi branding mahal atau endorsement artis, melainkan karena satu video kocak yang kemudian viral di berbagai platform sosial media.
“Ibu-ibu, kalau beli Odading Mang Oleh, rasanya seperti menjadi Iron Man!” Begitu kira-kira bunyi cuplikan dari Ujang Bustomi—sosok dengan gaya bicara lantang dan ceplas-ceplos yang mengunggah video parodi promosi Odading ini di 2020 lalu. Seketika, video itu jadi bahan tawa sekaligus penasaran. Semua orang ingin mencicipi seperti apa sih rasa “Iron Man” versi Bandung.
Bagi yang belum tahu, odading adalah roti goreng tradisional yang terbuat dari adonan tepung terigu, gula, dan sedikit ragi. Rasanya manis, teksturnya empuk di dalam dan renyah di luar. Di beberapa tempat disebut juga sebagai “roti bantal”.
Odading memang bukan makanan baru. Tapi ketika Mang Oleh dan viralnya video itu muncul, jajanan ini kembali naik kelas. Tidak hanya soal rasa, tapi juga jadi representasi kekuatan promosi yang datang dari rakyat, untuk rakyat.
Apa Sih Sebenarnya Odading Itu? Rasa, Tekstur, dan Cita Rasa Lokal

Kalau kita tanya ke nenek-nenek di Bandung, kemungkinan besar mereka akan bilang odading itu sudah ada sejak zaman mereka kecil. Jajanan lawas ini dulunya sering dijual di sekolah-sekolah atau warung pinggir jalan, biasanya jadi teman minum teh manis sore hari atau camilan selepas pulang ngaji.
Secara teknis, odading dibuat dari adonan yang cukup sederhana:
-
Tepung terigu
-
Gula pasir
-
Ragi
-
Air hangat
-
Sejumput garam
-
Kadang ditambah susu atau telur untuk variasi
Adonan ini kemudian difermentasi hingga mengembang, lalu dibentuk kotak pipih dan digoreng hingga keemasan. Hasilnya? Bagian luar crispy, dalamnya lembut dan sedikit berongga. Yang bikin unik, rasa manisnya gak lebay, dan ada sedikit aroma ragi yang khas banget.
Versi Mang Oleh sendiri terkenal karena menggunakan minyak baru setiap hari, menjaga kualitas rasa tetap segar dan tidak anyir. Tak sedikit yang bilang, odading di sini punya aftertaste gurih yang bikin nagih, berbeda dengan odading biasa yang sering terlalu manis atau terlalu padat.
Dan jangan lupakan topping. Setelah viral, banyak penjual odading mulai melakukan inovasi. Ada odading isi keju, coklat, green tea, bahkan odading topping oreo dan marshmallow. Tapi Mang Oleh tetap bertahan dengan resep original. Katanya, “biar yang viral tetap yang tradisional.”
Fenomena Viral yang Tak Diduga—Kekuatan Sosial Media dalam Mendorong UMKM
Kalau dipikir-pikir, Odading Mang Oleh adalah contoh paling nyata dari kekuatan viral yang organik dan tidak dibuat-buat. Tanpa perlu strategi digital rumit, video lucu dari warga biasa bisa mengubah nasib satu usaha kecil dalam waktu semalam.
Setelah video “rasanya kayak jadi Iron Man” viral, pengunjung mendadak membludak. Bahkan pada hari-hari awal setelah viral, pembeli harus antre hingga dua jam hanya untuk membeli satu bungkus odading. Media nasional hingga internasional pun meliput fenomena ini.
Menteri Koperasi dan UMKM bahkan menyebut Odading Mang Oleh sebagai contoh sukses transformasi UMKM melalui digitalisasi. Fenomena ini juga memantik diskusi tentang:
-
Bagaimana konten jujur dan jenaka bisa berdampak lebih besar dari iklan mahal.
-
Pentingnya respons cepat dari pelaku usaha, seperti Mang Oleh yang langsung meningkatkan kapasitas produksi tanpa mengorbankan kualitas.
-
Kesadaran bahwa UMKM bisa tumbuh bukan hanya dari produk, tapi juga cerita di baliknya.
Kisah Mang Oleh dan Ujang Bustomi ini juga jadi simbol “duet maut” antara produsen dan kreator konten. Yang satu jago bikin odading, yang satu jago bikin gelak tawa. Kombinasi itu berhasil menyentuh emosi dan rasa penasaran masyarakat.
Warisan Kuliner dan Adaptasi Modern—Odading di Tengah Arus Zaman
Kita hidup di era di mana makanan tidak hanya soal rasa, tapi juga soal identitas. Odading adalah bagian dari narasi kuliner Nusantara yang kadang nyaris terlupakan, tapi bisa bangkit kembali dengan semangat baru.
Setelah viral, banyak pengusaha kuliner mulai mengadaptasi odading ke dalam bentuk yang lebih kekinian. Di Jakarta, muncul “Odading Mochi”—versi kenyal dengan isian meleleh. Di Surabaya, hadir “Odading Pizza”—versi lebar dengan topping saus dan keju. Bahkan, di Bali, salah satu café memasukkan odading dalam menu brunch, disajikan dengan es krim vanilla dan karamel.
Tapi di sisi lain, banyak pula yang tetap memilih jalur autentik seperti Mang Oleh, karena percaya bahwa kekuatan terbesar odading bukan di topping-nya, tapi di memori kolektif kita tentang jajanan masa kecil yang hangat dan bersahabat.
Para ahli kuliner di beberapa media nasional menyebut fenomena ini sebagai bentuk “revitalisasi makanan tradisional melalui sentuhan media sosial”. Artinya, makanan lama tetap bisa relevan selama dibungkus dengan cerita dan momen yang menyentuh audiens.
Yang menarik, kini muncul pula gerakan “odading lokal”—di mana banyak penjual di luar Bandung menggunakan nama “odading Mang …” dengan nama mereka sendiri. Di Jogja, ada Odading Mang Joko. Di Tangerang, Odading Mang Doyok. Ini membuktikan bahwa merek “Mang Oleh” tak hanya menciptakan tren, tapi juga ekosistem baru bagi UMKM.
Lebih dari Sekadar Roti Goreng—Odading Mang Oleh Sebagai Simbol Semangat Rakyat
Odading Mang Oleh mungkin tampak sederhana—hanya roti goreng manis dari Bandung. Tapi dalam satu gigitan, tersimpan banyak pelajaran tentang usaha keras, konsistensi, dan kekuatan jujur dari produk lokal.
Kita belajar bahwa:
-
Makanan tradisional tidak akan mati, selama ada yang mau mempertahankannya.
-
UMKM bisa naik kelas tanpa harus berubah jadi franchise besar, asalkan punya nilai dan rasa yang jujur.
-
Konten bisa datang dari mana saja, dan siapa saja bisa viral asal punya keunikan.
Bahkan setelah hype-nya mereda, Odading Mang Oleh tetap berdiri. Tidak berubah gaya, tidak menjual lisensi, tetap buka di tempat yang sama. Dan itulah yang bikin banyak orang tetap balik lagi: karena mereka tahu ini bukan sekadar tren dadakan, tapi warung roti goreng dengan rasa yang benar-benar dari hati.
“Orang boleh lupa video viralnya,” kata Mang Oleh dalam salah satu wawancara, “tapi kalau mereka tetap inget rasa odading saya, berarti saya sudah menang.”
Penutup: Dari Bandung untuk Indonesia—Odading Mang Oleh dan Harapan di Balik Camilan
Di tengah hingar-bingar kuliner kekinian yang berlomba pakai topping mahal dan packaging Instagramable, Odading Mang Oleh hadir sebagai pengingat bahwa yang otentik akan selalu punya tempat. Camilan sederhana ini telah menunjukkan bahwa budaya, rasa, dan kejujuran adalah kombinasi yang tidak pernah gagal.
Kini, setiap kali kita melihat odading di pasar atau kafe, kita tidak cuma melihat jajanan goreng. Kita melihat simbol. Simbol tentang bagaimana usaha kecil bisa menembus arus besar zaman.
Dan mungkin, seperti kata Ujang di video viralnya, memang benar—makan odading itu rasanya seperti jadi Iron Man. Bukan karena kekuatan supernya, tapi karena kita tahu ada energi lokal, semangat rakyat, dan cerita panjang yang membuat satu bungkus odading bisa terasa begitu istimewa.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel dari: Pudding Caramel Lawson: Sentuhan Lembut Tak Pernah Gagal
