JAKARTA, odishanewsinsight.com – Ada sesuatu yang begitu menenangkan dari aroma soto ceker yang mengepul di pagi hari. Kuahnya hangat, rempahnya kuat, dan rasa gurihnya terasa akrab di lidah — seolah membawa kita kembali ke masa kecil. Bagi banyak orang, soto ceker bukan sekadar makanan, tapi semacam pelukan dalam bentuk kuliner.
Saya masih ingat, dulu setiap kali hujan turun di kampung, ibu selalu memasak soto ceker. Dapur penuh aroma bawang putih, jahe, dan serai yang ditumis. Saat itu, saya belum mengerti kenapa orang-orang rela repot merebus ceker ayam berjam-jam hanya untuk semangkuk soto. Tapi setelah dewasa, baru saya pahami: rasa sabar dan cinta yang meresap dalam setiap sendokannya.
Soto ceker bisa ditemukan hampir di seluruh penjuru Indonesia. Setiap daerah punya gaya masing-masing. Ada yang kuahnya bening dan ringan, ada juga yang lebih kental dengan santan lembut. Tapi satu hal yang tak pernah berubah: cekernya empuk, gurih, dan punya rasa khas yang tak bisa ditiru bahan lain.
Menariknya, soto ceker sering kali dipandang sederhana. Namun justru di situlah letak pesonanya. Di balik potongan ceker yang tampak sepele, tersembunyi filosofi hidup orang Indonesia — tentang kesabaran, ketekunan, dan menghargai setiap bagian kecil dari apa yang kita miliki.
Asal Usul Soto Ceker dan Keunikan di Balik Kuliner Legendaris Ini

Meski tak ada catatan pasti siapa yang pertama kali menciptakan soto ceker, sebagian besar orang percaya bahwa hidangan ini lahir dari kreativitas masyarakat Jawa dan Betawi yang terkenal pandai memanfaatkan bahan sederhana. Bagian ceker ayam yang dulu sering dianggap sisa atau tidak bernilai, justru diolah menjadi hidangan istimewa dengan rasa yang luar biasa.
Soto sendiri adalah warisan kuliner hasil akulturasi budaya. Konon, kata “soto” berasal dari “caudo” atau “soud,” yang dipengaruhi oleh masakan Tiongkok. Namun ketika masuk ke Nusantara, masyarakat lokal menyesuaikannya dengan rempah-rempah khas Indonesia seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan daun salam. Hasilnya? Kuah berwarna kuning keemasan dengan cita rasa hangat yang sulit dilupakan.
Soto ceker menjadi populer karena tekstur ceker yang unik — lembut tapi kenyal, gurih namun tidak terlalu berlemak. Banyak orang percaya, bagian ceker memiliki kandungan kolagen tinggi yang baik untuk kulit dan sendi. Jadi, tak heran kalau banyak yang bilang makan soto ceker bukan cuma soal selera, tapi juga soal kesehatan.
Di beberapa daerah seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Bogor, soto ceker menjadi ikon tersendiri. Misalnya di Surabaya, kuahnya cenderung lebih kuat dengan bumbu bawang putih yang dominan. Sementara di Yogyakarta, kuah sotonya lebih bening dengan rasa rempah yang lembut dan tidak terlalu pedas. Ada pula versi Jakarta yang sering disajikan dengan tambahan koya — bubuk gurih dari bawang goreng dan kerupuk udang yang dihancurkan.
Setiap versi punya karakter, dan itu yang membuat soto ceker begitu menarik. Tidak ada versi yang benar-benar salah. Semuanya sah, karena setiap daerah menambahkan sedikit “jiwa” dalam resepnya.
Rahasia di Balik Kuah dan Ceker yang Empuk
Salah satu hal yang menentukan kelezatan soto ceker adalah kuahnya. Kuah soto bukan sekadar air rebusan ayam, tapi kombinasi dari rempah dan teknik memasak yang presisi. Biasanya, ceker direbus terlebih dahulu hingga empuk. Proses ini bisa memakan waktu lama, sekitar satu hingga dua jam, tergantung seberapa keras tekstur cekernya.
Setelah itu, barulah bumbu-bumbu seperti bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, ketumbar, dan serai ditumis hingga harum. Hasil tumisan ini kemudian dimasukkan ke dalam kaldu ceker, menciptakan perpaduan aroma yang menggoda.
Beberapa pedagang soto ceker menambahkan sedikit susu atau santan untuk menambah kekentalan kuah. Namun banyak juga yang tetap setia pada versi bening agar terasa lebih ringan dan segar.
Yang paling menarik adalah tekstur cekernya. Kalau diolah dengan benar, ceker akan terasa lembut hingga bagian tulangnya mudah terlepas. Ada sensasi tersendiri saat mengisap kulit dan otot di sekitar tulang kecil itu — rasa gurih alami yang susah dijelaskan tapi bikin ketagihan.
Bagi sebagian orang, makan soto bukan hanya soal rasa, tapi juga pengalaman. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil membersihkan ceker tanpa menyisakan sedikit pun bagian lezatnya. Kadang terdengar suara seruput kecil, disusul tawa dan obrolan santai. Itulah yang membuat soto ceker terasa begitu hidup: ia menyatukan orang lewat rasa dan suasana.
Soto Ceker dan Gaya Hidup Modern: Tradisi yang Tetap Bertahan
Meski kini dunia kuliner semakin modern dengan berbagai inovasi, soto ceker tetap memiliki tempat di hati masyarakat. Di tengah maraknya makanan cepat saji dan kuliner fusion yang kekinian, kehadiran soto ceker seperti oase nostalgia yang membawa kita kembali ke akar kuliner Indonesia.
Bahkan di kota besar seperti Jakarta atau Bandung, soto kini punya banyak penggemar dari kalangan muda. Mereka menyukai keotentikannya. Banyak kafe dan kedai modern yang sengaja menampilkan soto ceker dalam tampilan lebih estetik — mangkuk keramik elegan, topping menarik, tapi tetap mempertahankan cita rasa klasiknya.
Ada juga tren soto ceker pedas yang viral di media sosial. Beberapa penjual menambahkan sambal rawit super pedas langsung ke dalam kuah, menciptakan sensasi panas dan gurih yang menggoda. Meski sederhana, kreativitas itu menunjukkan bahwa soto cker bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Menariknya, banyak anak muda yang sekarang juga mencoba membuat soto sendiri di rumah. Resepnya mudah ditemukan, bahan-bahannya sederhana, dan proses memasaknya memberi rasa puas tersendiri. Dalam setiap langkah, ada semacam keintiman antara si koki dan hidangan yang ia buat — seperti menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk diri sendiri dan orang tercinta.
Di sisi lain, soto ceker juga menjadi simbol kebersamaan. Di warung sederhana pinggir jalan, kita bisa melihat orang dari berbagai kalangan duduk berdampingan menikmati semangkuk soto. Tidak ada batas status sosial di situ. Yang ada hanya rasa hangat dan kenikmatan yang sama.
Kisah-Kisah di Balik Seporsi
Ada satu cerita menarik dari seorang pedagang soto ceker di daerah Solo yang saya temui beberapa waktu lalu. Ia bercerita bahwa dulu, saat memulai usaha, hanya menjual soto ayam biasa. Namun karena banyak pelanggan yang meminta tambahan ceker, ia mulai menyajikan versi khusus: soto dengan kuah kental dan potongan daun seledri segar.
Awalnya, ia ragu apakah pelanggan akan suka. Tapi justru varian itu yang membuat warungnya terkenal. “Sekarang malah kalau kehabisan ceker, pelanggan marah-marah,” katanya sambil tertawa kecil. Cerita seperti ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik kuliner tradisional yang sederhana, tapi punya emosi dan kehangatan di dalamnya.
Soto ceker juga punya tempat tersendiri di hati perantau. Banyak orang yang merantau ke kota besar membawa kenangan tentang soto buatan ibu di rumah. Saat mereka menemukan warung dengan rasa yang mirip, ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Seolah semangkuk soto itu jadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Di balik setiap semangkuk soto ceker, ada kisah tentang kesabaran, cinta, dan kenangan. Mungkin karena itulah, makanan ini tak pernah benar-benar hilang meski zaman terus berubah.
Hangatnya Indonesia dalam Satu Mangkok
Soto ceker adalah bukti bahwa kelezatan tidak selalu datang dari bahan mahal. Dari ceker ayam yang sederhana, lahirlah sebuah hidangan yang bisa menyatukan rasa, kenangan, dan budaya. Ia tidak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menenangkan hati.
Setiap kali sendok menyentuh bibir, kita seolah merasakan kehangatan rumah, aroma dapur yang penuh cinta, dan suara hujan yang menenangkan di luar jendela. Soto ceker bukan sekadar kuliner — ia adalah potongan kecil dari identitas kita sebagai orang Indonesia yang tahu bagaimana menemukan makna dari hal-hal sederhana.
Dalam dunia yang serba cepat ini, semangkuk soto mengingatkan kita untuk melambat sejenak, menikmati setiap suapan, dan mensyukuri hangatnya kehidupan yang kadang sesederhana kuah gurih dan ceker lembut yang bikin rindu.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Sayur Rebung: Cita Rasa Tradisional yang Tak Lekang oleh Waktu
