Jakarta, odishanewsinsight.com – Waktu itu, siang menjelang sore di kawasan Setu Babakan, Jakarta Selatan. Di sebuah warung mungil yang dinaungi pepohonan rindang, seorang pemuda duduk menikmati semangkuk es merah muda kehijauan. Ada sensasi rasa manis legit dari santan, wangi daun pandan, dan segarnya es serut yang membuat dahaga hilang dalam sekali seruput. Itulah Selendang Mayang Betawi yang makin langka, tapi tetap melekat di hati.
Minuman ini bukan cuma pelepas dahaga. Ia adalah saksi zaman. Selendang Mayang sudah eksis sejak era kolonial, disajikan saat hajatan besar seperti lebaran, pernikahan, atau syukuran. Menurut para sejarawan kuliner Betawi, namanya berasal dari bentuk lapisan kue berwarna merah muda, putih, dan hijau yang tampak seperti kain “selendang” yang “mayang”—kata lama untuk ‘menjuntai’ atau ‘mengalun’. Jadi bukan asal-asalan, ya.
Dulu, pedagangnya keliling kampung sambil menggotong dulang besar berisi es batu dan bahan-bahan selendang mayang. Mereka berteriak “Es Selendang Mayaaaang!” sambil mengaduk sirup dengan tangan cekatan. Sekarang, kamu lebih sering menemukan versi modernnya di festival kuliner atau gerai UMKM kreatif.
Tapi ada pertanyaan yang menghantui: kenapa makanan semacam ini nyaris punah?
Resep Sederhana, Filosofi Mendalam

Kalau kamu pikir Selendang Mayang ribet dibuat, sebenarnya tidak. Bahan dasarnya sederhana: tepung hunkwe, santan, gula, daun pandan, dan pewarna makanan alami. Prosesnya dimulai dengan merebus santan bersama tepung dan air pandan, lalu dituang berlapis-lapis ke dalam loyang. Setelah set, kue dipotong dadu, disajikan dengan es serut dan saus santan manis. Simple tapi maknyus!
Tapi yang membuat Selendang Mayang istimewa bukan sekadar bahan. Ada filosofi di balik warna-warna itu. Warna merah muda melambangkan semangat hidup, hijau sebagai simbol kesuburan dan alam, sedangkan putih menandakan kesucian. Masyarakat Betawi dahulu percaya bahwa setiap warna membawa doa.
Menariknya, minuman ini tidak hanya enak tapi juga ramah perut. Tidak ada pengawet, semua serba natural. Bahkan bisa dibilang cocok buat gaya hidup modern yang ingin ‘kembali ke akar’. Tren plant-based food? Selendang Mayang bisa nyempil di situ juga, lho.
Seorang ibu pengrajin dari Condet bilang, “Saya bikin ini tiap Jumat buat dititipin ke warung sebelah. Alhamdulillah, masih banyak yang cari. Anak-anak zaman now juga suka, asal dikemas kece.”
Selendang Mayang vs Tren Kuliner Kekinian
Di tengah banjir boba, es kopi susu, dan dessert Korea, Selendang Mayang memang terlihat seperti anak jadul yang terpinggirkan. Tapi, siapa bilang makanan tradisional gak bisa ikut tren?
Di berbagai event kuliner Jakarta seperti Festival Jajanan Bango atau Jakarta Fair, Selendang Mayang hadir dengan gaya kekinian. Ada yang ditambahkan bubble, topping jelly, bahkan ada juga yang pakai whipped cream. Terdengar nyeleneh, tapi ini adalah strategi bertahan.
Salah satu UMKM, “Betawi Berdaya”, bahkan membuat “Selendang Mayang on The Go” dalam botol kaca lucu berlabel retro. Hasilnya? Ludes dalam hitungan jam di Tokopedia.
Kata Farel, mahasiswa desain komunikasi visual yang magang di sana, “Kami sengaja angkat brand image-nya sebagai nostalgia anak 90-an. Anak-anak muda relate banget karena visual dan storytelling-nya kuat. Padahal ya isinya tetap kue kenyal dan santan.”
Jadi ya, kadang bukan produknya yang salah, tapi cara menyajikannya yang harus dirombak.
Ancaman Kepunahan dan Upaya Pelestarian
Sayangnya, meski lezat dan sarat budaya, Selendang Mayang masih terancam punah. Banyak generasi muda yang tak tahu cara membuatnya, apalagi sejarahnya. Di sekolah-sekolah pun, pelajaran tentang kuliner tradisional masih minim.
Padahal, menurut Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Selendang Mayang sudah diajukan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) sejak 2020. Tujuannya? Supaya minuman ini dapat perlindungan hukum dan pengakuan nasional.
Ada juga komunitas seperti Langgam Nusantara yang mengadakan workshop bulanan untuk mengajarkan resep Selendang Mayang secara langsung. Salah satu pesertanya, Tiara (20 tahun), mengaku awalnya cuma ikut-ikutan. Tapi setelah tahu proses dan ceritanya, dia jadi jatuh cinta.
“Aku bawa hasil buatanku ke kosan, dan teman-teman malah pesen! Sekarang aku jualan tiap akhir pekan,” ujarnya bangga.
Ini membuktikan bahwa keberlanjutan kuliner tradisional tak hanya bergantung pada nostalgia, tapi pada regenerasi yang cerdas dan kreatif.
Menikmati Rasa, Merawat Warisan
Kini, saat dunia bergerak makin cepat dan digitalisasi merajai setiap aspek hidup, keberadaan Selendang Mayang jadi penyeimbang. Ia adalah pengingat bahwa budaya bisa dikonsumsi sehari-hari, bukan hanya dipajang di museum.
Menikmati segelas Selendang Mayang bukan sekadar makan minum. Itu bentuk penghormatan terhadap nenek moyang Betawi, terhadap tangan-tangan ibu yang sabar melapisi kue demi kue, terhadap suara masa kecil yang menggema di gang-gang sempit Jakarta.
Generasi kita, sebagai jembatan antara yang lama dan yang akan datang, punya peran penting. Kita bisa pilih: membiarkan warisan ini memudar, atau membawanya kembali bersinar dengan cara baru.
Bayangkan jika tiap café modern menyediakan satu menu “heritage” dengan branding keren. Atau kampus-kampus mengajak mahasiswanya bikin inovasi dari kuliner lokal. Mungkin terdengar idealis. Tapi kalau bukan kita, siapa lagi?
Penutup
Selendang Mayang Betawi bukan sekadar kuliner. Ia adalah narasi sejarah, ekspresi rasa, dan simbol keberagaman budaya Jakarta. Dalam setiap potongannya, tersimpan kehangatan, kebanggaan, dan semangat pelestarian. Dan selama masih ada yang percaya pada kekuatan tradisi, selama itu pula Selendang Mayang akan terus hidup.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel dari: Emu Burger: Lezat, Sehat, dan Bikin Penasaran!
