Jakarta, odishanewsinsight.com – Pagi itu, saya menyusuri gang kecil di kawasan Condet, Jakarta Timur. Tujuan saya satu: warung makan sederhana milik Bu Nani yang katanya menyajikan Gabus Pucung Kluwek terenak di wilayah itu. Sebagai jurnalis makanan, saya terbiasa mencoba hal baru. Tapi kali ini agak berbeda. Warna kuahnya yang legam membuat saya agak ragu. Hitam pekat, hampir seperti tinta. Tapi ketika sendok pertama mendarat di lidah, keraguan saya langsung buyar.
Rasanya… rumit. Ada gurih dari kluwek, aroma rempah yang kuat, dan semburat rasa sedikit asam dan pahit yang menyatu sempurna. Daging ikannya—ikan gabus—lembut tapi tetap kokoh, tidak mudah hancur seperti ikan lele atau patin. Bu Nani hanya tersenyum melihat ekspresi saya yang bengong. “Ini makanan warisan, Nak. Dulu sering dimasak kalau ada acara besar,” katanya.
Gabus Pucung adalah sajian khas Betawi yang kini makin sulit ditemukan. Nama “pucung” sendiri merujuk pada biji kluwek, bahan utama yang memberi warna hitam pekat pada kuahnya. Di masa lalu, menu ini sering muncul dalam hajatan, kenduri, hingga hari-hari besar keagamaan.
Namun seiring waktu, popularitasnya meredup. Banyak generasi muda bahkan belum pernah mendengarnya, apalagi mencicipinya. Padahal, di balik warna gelap itu, ada kekayaan budaya dan sejarah yang sayang sekali kalau sampai terlupakan.
Kluwek, Si Buah Hitam Misterius – Kunci Cita Rasa Gabus Pucung

Kluwek—atau pucung, dalam sebutan lokal—adalah bahan yang bisa bikin banyak orang salah paham. Dilihat sekilas, ia tampak seperti batu kecil yang tak bisa dimakan. Tapi setelah diproses dengan tepat, bagian dalamnya berubah menjadi pasta berwarna cokelat kehitaman dengan aroma khas dan rasa unik. Gabungan rasa pahit, gurih, dan sedikit fermentatif.
Pohon kluwek (Pangium edule) sebenarnya menghasilkan biji yang mengandung zat beracun alami bernama hidrogen sianida. Tapi setelah melalui proses fermentasi dan perendaman berhari-hari, racun ini bisa hilang dan menghasilkan biji yang aman dikonsumsi. Di sinilah keahlian turun-temurun berperan. Tidak semua orang bisa memilih kluwek yang bagus, apalagi memprosesnya dengan tepat.
Dalam dunia kuliner Indonesia, kluwek bukan cuma milik Gabus Pucung. Di Jawa Timur, ia jadi bahan utama Rawon. Di Toraja, muncul dalam Pa’piong. Tapi di Betawi, kluwek punya peran spiritual. Ia mewakili kekayaan rasa sekaligus simbol kehangatan dalam kebersamaan.
Dalam pembuatan Gabus Pucung, kluwek ditumbuk dan dicampur dengan bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, kunyit, dan sedikit jahe. Perpaduan ini kemudian dimasak bersama kaldu ikan dan disempurnakan dengan daun salam serta serai. Proses ini memakan waktu, tapi hasilnya sepadan.
Anehnya, rasa kluwek sulit dijelaskan dengan satu kata. Ia bukan cuma “gurih” atau “pahit”. Ia kompleks. Seperti rasa nostalgia yang muncul saat kita membuka album foto lama—ada rasa nyaman, sedih, sekaligus hangat dalam waktu bersamaan.
Ikan Gabus – Si Petarung Sungai yang Tak Pernah Mati Gaya
Ikan gabus mungkin bukan nama yang glamor seperti salmon atau tuna. Tapi di dapur tradisional Indonesia, ia adalah primadona. Gabus punya daging putih yang padat, rendah duri, dan rasa alami yang netral namun tetap gurih.
Dalam konteks Gabus Pucung, ikan ini bukan sekadar bahan. Ia adalah karakter utama yang menentukan struktur rasa. Coba ganti dengan ikan lain seperti nila atau bandeng—hasilnya akan sangat berbeda. Gabus punya kemampuan menyerap bumbu, tapi tidak kehilangan tekstur.
Secara biologis, ikan gabus juga unik. Ia bisa bertahan di air dangkal, bahkan hidup tanpa air dalam waktu tertentu berkat kemampuan bernapas melalui labirin organ. Masyarakat Sunda menyebutnya kutuk, dan percaya bahwa konsumsi gabus bisa mempercepat penyembuhan luka karena kandungan albuminnya yang tinggi.
Kembali ke warung Bu Nani, saya melihat langsung cara pengolahannya. Ikan gabus yang sudah dibersihkan dan direndam air jeruk nipis kemudian digoreng sebentar hingga permukaannya kering. Setelah itu, ia dimasukkan ke kuah kluwek dan direbus pelan selama hampir satu jam agar bumbunya benar-benar meresap.
“Kalau buru-buru, nggak jadi, Mas,” ujar Bu Nani sambil mengaduk perlahan. “Gabus itu harus diajak sabar.”
Dan memang, rasa sabar itu terasa sampai ke tulang.
Antara Tradisi dan Tren – Kenapa Gabus Pucung Terpinggirkan?
Di tengah gelombang kuliner kekinian, dari salted egg hingga cheese foam, Gabus Pucung terasa seperti lagu lama yang nyaris tak diputar lagi. Banyak anak muda bahkan belum pernah melihat menu ini di restoran.
Apa yang membuatnya jarang ditemukan? Ada beberapa alasan. Pertama, bahan bakunya cukup spesifik. Kluwek berkualitas tak mudah dicari, apalagi yang sudah melalui proses fermentasi sempurna. Kedua, ikan gabus tidak tersedia di semua pasar. Ketiga, proses memasaknya panjang dan membutuhkan kesabaran.
Selain itu, masyarakat urban kini lebih cenderung memilih menu praktis dan visual. Warna hitam pekat kuah Gabus Pucung tidak semenarik nasi goreng pelangi atau minuman warna-warni. Sayangnya, inilah realitas di era visual dan kecepatan.
Namun bukan berarti tidak ada harapan. Beberapa restoran Betawi modern mulai mengangkat kembali Gabus Pucung sebagai bagian dari menu eksklusif. Mereka meracik ulang tampilan, memberi garnish tambahan, atau memodifikasi porsi agar lebih Instagramable.
Saya sempat mampir ke sebuah restoran di Kemang yang menyajikan Gabus Pucung versi fine dining. Hidangan disajikan dalam mangkuk keramik artistik, disandingkan dengan sambal terasi dan nasi pandan. Rasanya? Tetap autentik, meski tampilannya lebih kontemporer.
Mungkin inilah jalan tengah yang perlu diambil. Tradisi tetap hidup, tapi disesuaikan dengan selera zaman. Yang penting, rasa dan makna di balik Gabus Pucung tidak hilang ditelan waktu.
Menjaga Rasa, Merawat Warisan – Masa Depan Gabus Pucung
Kita semua tahu, makanan bukan hanya tentang rasa. Ia adalah identitas. Gabus Pucung adalah cermin dari budaya Betawi—kaya bumbu, hangat, dan penuh simbol. Sayangnya, makanan seperti ini makin jarang ditemui, apalagi di rumah-rumah generasi muda.
Tapi bukan berarti kita menyerah. Justru sekarang saatnya menghidupkan kembali tradisi ini. Beberapa komunitas kuliner lokal seperti Jelajah Rasa Betawi dan Langkah Rasa Nusantara telah mulai mengadakan kelas masak Gabus Pucung. Mereka mengajarkan cara memilih kluwek, membersihkan gabus, dan tentu saja meracik bumbu khasnya.
Saya juga berbicara dengan Dinda, seorang konten kreator kuliner yang sempat viral karena memasak Gabus Pucung di kanal YouTube-nya. “Awalnya iseng, karena nenek gue sering masak ini. Eh, ternyata view-nya tembus seratus ribu dalam seminggu,” ujarnya sambil tertawa. “Ternyata banyak yang kangen makanan ini.”
Inisiatif-inisiatif kecil seperti ini penting. Ia menjadi jembatan antara generasi lama dan baru. Ia menjaga agar rasa Gabus Pucung tetap hidup—bukan cuma di warung tua atau acara hajatan, tapi juga di meja makan anak kos atau keluarga urban.
Akhirnya, kita harus sadar bahwa kuliner tradisional bukan hanya warisan—ia adalah investasi budaya. Setiap suapan Gabus Pucung adalah pengingat bahwa sejarah tidak hanya ada di buku, tapi juga di piring.
Penutup: Hitam Tak Selalu Suram, Ia Bisa Jadi Kaya Rasa
Gabus Pucung Kluwek memang bukan makanan yang mudah didekati. Warnanya bisa menipu, prosesnya rumit, dan rasanya… terlalu jujur. Tapi justru di situlah daya tariknya. Di balik warna gelap, tersembunyi kekayaan rasa, sejarah panjang, dan kisah-kisah tentang ibu, nenek, dan dapur-dapur tua yang mulai dilupakan.
Kalau kamu belum pernah mencobanya, mungkin inilah waktunya. Coba masak sendiri. Cari warung tersembunyi. Tanya orang tua. Karena siapa tahu, dari satu mangkuk Gabus Pucung, kamu tidak hanya menemukan rasa baru—tapi juga potongan kecil dari jati diri kita sebagai bangsa yang kaya rasa dan cerita.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel dari: Es Kepal Durian: Sensasi Dingin, Legit, dan Menggoda Lidah
