Jakarta, odishanewsinsight.com – Ada satu momen yang saya ingat betul saat pertama kali mencicipi samgyeopsal—di sebuah restoran Korea kecil di Jakarta, asap tipis mengepul dari pemanggang di tengah meja, suara desis daging yang mulai kecokelatan, dan irama potongan bawang putih serta kimchi yang dipanggang menyusul. Rasanya? Kombinasi lemak gurih, tekstur kenyal, dan bumbu sederhana yang justru membuat setiap gigitannya terasa autentik. Dan dari situ, saya mulai menyadari: samgyeopsal bukan hanya soal makan. Ini tentang merayakan kebersamaan.
Dalam bahasa Korea, sam berarti “tiga”, gyeop berarti “lapisan”, dan sal berarti “daging”. Jadi samgyeopsal secara harfiah berarti daging perut babi berlapis tiga, merujuk pada struktur lemak dan dagingnya yang bertumpuk. Tanpa bumbu marinasi, potongan daging ini disajikan segar, lalu dipanggang di atas grill yang menyala panas—biasanya langsung di meja makan.
Secara budaya, samgyeopsal mulai populer di Korea Selatan pada era 1970-an. Dulu, daging babi dianggap makanan kelas bawah. Tapi saat ekonomi mulai naik, masyarakat mulai mencari cara sederhana untuk makan bersama keluarga tanpa harus makan di restoran mewah. Samgyeopsal menjadi jawaban: murah, merakyat, dan bisa dimasak sendiri di rumah.
Dewasa ini, dari Seoul hingga Surabaya, samgyeopsal telah menjelma menjadi simbol gaya hidup urban. Di restoran-restoran Korea di Indonesia, kamu akan melihat suasana yang hampir sama: pengunjung duduk melingkar, memanggang bersama, tertawa, dan berbagi makanan dari panggangan yang sama.
Rahasia di Balik Lezatnya Samgyeopsal

Jika kamu bertanya, “Kenapa sih samgyeopsal bisa seenak itu?” Jawabannya tidak hanya pada dagingnya, tapi pada cara penyajiannya yang serba seimbang.
1. Daging yang Dipilih dengan Teliti
Samgyeopsal yang baik biasanya berasal dari bagian perut babi dengan komposisi lemak dan daging yang seimbang. Di Korea, bahkan ada perbedaan antara samgyeopsal biasa dan ogyeopsal (yang memiliki lima lapisan dengan tambahan kulit). Daging yang bagus tidak memerlukan bumbu apa pun—cukup garam laut dan lada hitam.
2. Grill dan Teknik Memanggang
Pemanggang samgyeopsal punya desain khusus. Biasanya terbuat dari besi cor atau stainless steel dengan bagian tengah cekung, memungkinkan lemak turun perlahan tanpa membakar daging. Inilah alasan mengapa samgyeopsal tetap juicy tapi tidak berminyak berlebihan.
3. Pelengkap yang Mengangkat Cita Rasa
Salah satu kekuatan utama samgyeopsal terletak pada banchan—aneka lauk kecil seperti kimchi, irisan bawang putih, daun wijen (ssam), acar lobak, hingga pasta gochujang dan ssamjang. Ketika kamu membungkus potongan daging dalam daun selada dengan banchan dan sedikit nasi, kamu menciptakan ledakan rasa di mulut: asin, pedas, segar, dan umami.
4. Pengalaman Multisensorik
Ya, makanan ini bukan cuma soal rasa. Asap yang mengepul, suara desisan lemak, hingga tangan yang sibuk membolak-balikkan daging menciptakan ritme yang membuat makan jadi menyenangkan.
Saya pernah ngobrol dengan seorang chef Korea yang membuka restoran di kawasan Kemang. Katanya, “Kalau kamu makan samgyeopsal sendirian, rasanya beda. Dagingnya tetap enak, tapi suasananya hilang.” Dan saya mengangguk setuju.
Samgyeopsal di Indonesia – Dari Meja Restoran ke Kompor Rumahan
Tak bisa dipungkiri, demam K-pop dan K-drama mendorong popularitas samgyeopsal di Indonesia. Adegan makan bareng di drama seperti Weightlifting Fairy Kim Bok-Joo atau Itaewon Class memperkenalkan budaya makan samgyeopsal ke jutaan penonton. Dan tentu saja, orang Indonesia ingin mencicipi seperti apa rasanya.
1. Restoran Samgyeopsal Bertaburan di Kota Besar
Di Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Medan, restoran all-you-can-eat bergaya Korea tumbuh subur. Beberapa brand populer seperti Chung Gi Wa, Magal, atau Pochajjang menjadi destinasi kuliner yang ramai terutama di akhir pekan. Makan samgyeopsal kini jadi aktivitas sosial, bukan hanya mengisi perut.
2. Versi Halal yang Kreatif
Karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, hadir pula inovasi samgyeopsal halal. Daging perut babi digantikan dengan beef belly, lamb belly, atau ayam paha atas yang dibentuk dan dipotong serupa. Rasanya memang beda, tapi tetap menawarkan sensasi serupa.
Contohnya, sebuah kedai di Yogyakarta menawarkan “samgyeopsal sapi dengan saus bulgogi”—ramai diserbu mahasiswa yang ingin mencoba rasa Korea tanpa melanggar keyakinan.
3. Samgyeopsal Rumahan: Masak Sendiri Lebih Seru
Dengan maraknya video TikTok dan YouTube tentang “mukbang” dan “Korean BBQ at home”, banyak anak muda Indonesia mulai bereksperimen memasak samgyeopsal di rumah. Tinggal beli beef belly di supermarket, siapkan daun selada, nasi hangat, kimchi siap saji, dan saus Korea—jadilah pengalaman samgyeopsal versi hemat tapi tetap nikmat.
Samgyeopsal dan Filosofi Makan Ala Korea
Jika di budaya Barat makan sering diasosiasikan dengan formalitas, di Korea—terutama dalam konteks samgyeopsal—makan adalah tentang kebersamaan.
1. Makan Tanpa Hirarki
Dalam satu meja samgyeopsal, semua orang punya peran: ada yang memanggang, ada yang memotong, ada yang membagikan daging. Tidak ada pelayan tunggal. Semua setara. Ini menciptakan nuansa collective happiness yang hangat.
2. Berbagi Itu Wajib
Di Korea, menawarkan potongan daging kepada teman atau orang di sebelahmu adalah bentuk perhatian. Kalau kamu duduk diam tanpa membagikan daging, itu bisa dianggap tidak sopan. Samgyeopsal mengajarkan kita untuk tidak egois di meja makan.
3. Minum Soju dan Tertawa
Biasanya samgyeopsal tidak lengkap tanpa minuman. Soju (minuman beralkohol khas Korea) adalah pelengkap klasik. Tapi di Indonesia, banyak yang menggantinya dengan teh Korea, soda, atau air putih. Intinya bukan pada minumannya, tapi pada tawa dan cerita yang dibagikan selama makan berlangsung.
Pernah suatu malam saya diajak makan samgyeopsal bersama sekelompok mahasiswa Korea di Jakarta. Mereka tidak saling kenal sebelumnya. Tapi hanya dalam waktu 30 menit, semua sudah tertawa seperti teman lama. Dan saya pikir, mungkin kekuatan samgyeopsal bukan cuma di rasanya, tapi di kemampuan menyatukan orang-orang.
Samgyeopsal dan Tren Masa Depan Kuliner Korea Global
Dunia kuliner selalu bergerak. Dan samgyeopsal, sebagai salah satu ikon Korean BBQ, terus beradaptasi dengan selera global.
1. Fusion Food yang Kreatif
Kini muncul berbagai varian seperti cheese samgyeopsal, di mana daging dicelupkan ke dalam keju mozzarella leleh. Atau spicy samgyeopsal dengan baluran gochujang ekstra pedas. Inovasi ini menjawab selera anak muda yang ingin eksplorasi rasa.
2. Sustainability dalam Konsumsi Daging
Kritik terhadap konsumsi daging babi juga meningkat. Isu etika dan lingkungan membuat banyak restoran mulai menyuguhkan alternatif vegan atau plant-based samgyeopsal yang dibuat dari jamur dan kedelai. Rasanya? Mengejutkan. Meski belum bisa menyamai tekstur daging, tapi sudah cukup menggoda untuk pecinta kuliner ramah lingkungan.
3. Digitalisasi Pengalaman Kuliner
Di beberapa tempat, pengalaman makan samgyeopsal sudah disertai teknologi—dari pemanggang otomatis, pemesanan via tablet, hingga sistem ventilasi pintar. Bahkan, restoran di Seoul kini menawarkan pengalaman AR BBQ, di mana pengunjung bisa melihat simulasi sejarah samgyeopsal di layar sembari makan.
Dan siapa tahu, dalam waktu dekat, restoran di Indonesia juga akan mengikuti tren ini.
Penutup: Samgyeopsal, Makanan yang Menghidupkan Meja Makan
Mungkin kamu bisa makan sendirian di restoran mewah, menyesap kopi sambil scrolling Instagram. Tapi kalau ingin tertawa lepas, berbagi cerita, dan merasakan hangatnya kebersamaan—cobalah makan samgyeopsal. Di situlah kamu akan tahu, makanan ini bukan sekadar daging panggang. Ia adalah jembatan antara budaya, rasa, dan hati.
Kapan terakhir kali kamu masak bersama orang lain, lalu saling berebut potongan daging di atas pemanggang panas? Mungkin sudah saatnya mengulang pengalaman itu—dengan samgyeopsal di meja makan.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Ikan Kuah Kuning: Hidangan Khas Timur Indonesia yang Bikin Rindu Kampung
