Fri. Dec 5th, 2025
Kue Cubit Jakarta

Jakarta, odishanewsinsight.com – Ada sesuatu yang magis dari aroma manis tepung, gula, dan mentega yang dipanggang di atas cetakan kecil berbentuk bulat. Bagi banyak orang Jakarta, aroma itu adalah nostalgia masa kecil—ketika sepulang sekolah, mereka berlari menuju gerobak kecil di pinggir jalan untuk membeli kue cubit.

Kue cubit bukan sekadar jajanan biasa. Ia adalah bagian dari memori kolektif warga Jakarta. Namanya yang unik konon berasal dari cara penyajiannya: penjual mencubit kue dari cetakan panas menggunakan penjepit logam kecil sebelum meletakkannya di atas kertas minyak.

Meski tak ada catatan pasti tentang kapan pertama kali kue ini muncul, banyak yang meyakini bahwa kue cubit merupakan adaptasi dari jajanan Belanda bernama poffertjes—pancake mini yang populer pada masa kolonial. Dari sinilah ciri khas kue cubit lahir: tekstur lembut, manis gurih, dan bentuk kecil yang bisa sekali gigit.

Namun, seperti banyak kuliner jalanan lainnya, kue cubit Jakarta tidak berhenti pada bentuk klasiknya. Dalam beberapa tahun terakhir, ia berevolusi menjadi simbol kreativitas kuliner urban yang memadukan tradisi dengan tren kekinian. Dari topping cokelat dan keju hingga matcha dan red velvet, kue cubit kini menjelma menjadi kanvas rasa bagi generasi baru pecinta makanan manis.

Di setiap sudut kota, terutama di area seperti Tebet, Blok M, dan Senayan, aroma khas kue cubit masih mengudara. Tapi kini, versi modernnya bisa ditemukan tak hanya di gerobak pinggir jalan, melainkan juga di kafe bergaya industrial dan mal besar.

Resep Klasik: Simplicity yang Bikin Nagih

Kue Cubit Jakarta

Kalau ditanya rahasia kenikmatan kue cubit, jawabannya sederhana: resep dasarnya tidak berubah sejak puluhan tahun lalu. Hanya lima bahan utama yang membentuk cita rasa khasnya: tepung terigu, telur, gula, baking powder, dan mentega.

Namun, seperti kata para penjual veteran di Jakarta, rahasia sesungguhnya terletak pada takaran dan teknik pemanggangan.

“Kue cubit itu manja,” ujar Pak Jaya, penjual yang sudah berjualan di kawasan Pasar Minggu sejak 1985. “Kalau api terlalu besar, dia gosong di luar tapi mentah di dalam. Kalau terlalu kecil, dia nggak naik. Jadi harus pas.”

Kue cubit dimasak menggunakan cetakan besi kecil dengan tutup agar adonan mengembang sempurna. Setelah matang setengah, biasanya penjual menaburkan topping seperti cokelat meses atau keju parut di atasnya. Ada juga versi “setengah matang” yang populer di kalangan anak muda—teksturnya lembek di tengah, dengan aroma manis yang menggoda.

Berikut resep klasik yang masih dipakai banyak penjual di Jakarta:

  • 2 butir telur

  • 100 gram gula pasir

  • 125 gram tepung terigu

  • 1 sdt baking powder

  • 50 gram mentega cair

  • 100 ml susu cair

Cara membuatnya pun sederhana: campur bahan, kocok hingga rata, tuang ke cetakan panas, tutup selama 2 menit, lalu tambahkan topping sesuai selera. Hasilnya adalah kue kecil yang harum, lembut, dan bikin sulit berhenti di satu potong saja.

Meski sederhana, proses ini memiliki nilai sentimental tersendiri. Banyak keluarga di Jakarta yang menjadikan kue cubit sebagai camilan wajib di sore hari, sambil minum teh hangat.

Evolusi Kue Cubit Modern: Dari Jalanan ke Kafe Instagramable

Beberapa tahun terakhir, kue cubit kembali naik daun—tapi dengan wajah baru. Fenomena ini bisa ditelusuri ke sekitar tahun 2015, ketika tren food photography dan café hopping sedang memuncak di kalangan anak muda Jakarta.

Kue cubit yang dulu dianggap jajanan murah kini mendapat sentuhan baru dari para pelaku industri kuliner kreatif. Mereka memperkenalkan berbagai varian rasa yang sebelumnya tak terpikirkan, seperti:

  • Green tea (matcha) dengan topping krim lembut

  • Red velvet dengan taburan keju krim

  • Oreo crumble yang gurih renyah

  • Nutella molten yang meleleh di tengah

  • Rainbow sprinkles untuk tampilan yang menarik di foto

Di kafe-kafe seperti “Kue Cubit Lab”, “Makan Yuk”, hingga gerai pop-up di kawasan SCBD, pengunjung bisa menyaksikan langsung bagaimana adonan dituangkan ke cetakan modern, dihiasi topping premium, dan disajikan dengan plating estetik—bahkan disertai es krim atau sirup maple.

Transformasi ini mencerminkan semangat khas warga Jakarta: adaptif dan kreatif. Dari jajanan sekolah menjadi menu kafe, kue cubit berhasil mempertahankan identitasnya sembari menyesuaikan diri dengan tren baru.

Namun, satu hal yang menarik: meski tampilannya berubah, esensi nostalgia tetap dipertahankan. Banyak kafe sengaja menampilkan dekorasi bernuansa retro—meja kayu, poster jadul, bahkan menggunakan wadah kertas minyak—agar pelanggan merasa seperti kembali ke masa kecil.

Filosofi di Balik Camilan Mini: Sederhana tapi Penuh Makna

Mungkin terdengar berlebihan jika kita membahas filosofi di balik kue cubit, tapi faktanya, kuliner ini mengajarkan banyak hal tentang budaya urban Indonesia.

Pertama, kue cubit merepresentasikan sifat gotong royong dalam kuliner lokal. Hampir setiap penjual di Jakarta belajar dari satu sama lain—menyebarkan resep, berbagi cetakan, hingga saling menjaga lokasi jualan. Tidak heran jika bentuk dan cita rasanya relatif seragam di berbagai wilayah.

Kedua, ia melambangkan adaptasi masyarakat kota terhadap modernitas. Dari gerobak sederhana di depan sekolah, kue cubit kini bisa ditemukan di food truck dan kafe dengan sistem pembayaran digital. Ini mencerminkan bagaimana tradisi bisa bertahan di tengah perubahan zaman.

Ketiga, kue cubit adalah contoh inovasi tanpa kehilangan akar. Banyak penjual muda kini membuat varian gluten-free, low sugar, hingga vegan, tapi tetap mempertahankan aroma khas mentega dan tekstur empuk yang menjadi ciri utamanya.

Salah satu kisah inspiratif datang dari Dini, mantan karyawan kantoran yang kini sukses membuka bisnis “Cubitea” di Jakarta Timur.

“Saya dulu suka beli kue cubit di depan SD. Setelah resign, saya pikir kenapa nggak coba bikin versi modern-nya? Sekarang malah banyak pelanggan dari luar kota,” katanya.

Dini menambahkan bahwa kue cubit punya daya tarik universal: “Ukurannya kecil, bisa dimakan siapa saja, kapan saja. Dan yang penting, tiap gigitan selalu bikin senyum.”

Jejak Kue Cubit di Media Sosial: Dari Hashtag ke Tren Kuliner

Tak bisa dipungkiri, kebangkitan kue cubit di Jakarta juga didorong oleh kekuatan media sosial.
Di platform seperti Instagram dan TikTok, foto-foto kue cubit setengah matang dengan cokelat meleleh kerap viral, mengundang komentar dan rasa lapar. Hashtag seperti #KueCubitJakarta dan #KueCubitModern sempat trending pada 2016–2018, menjadi bagian dari fenomena food content lokal.

Para kreator konten kuliner juga berperan besar dalam menyebarkan pesonanya. Mereka tak hanya memotret makanan, tapi juga bercerita—tentang penjual legendaris di sekolah, tentang aroma nostalgia, atau tentang inovasi resep di dapur rumah.

Selain itu, beberapa festival kuliner di Jakarta, seperti “Jakarta Street Food Festival” dan “Kuliner Tempo Doeloe”, rutin menampilkan kue cubit sebagai ikon jajanan khas Betawi modern. Dari situ, kue cubit mendapat panggung baru—diakui bukan hanya sebagai camilan anak sekolah, tapi juga sebagai warisan rasa Jakarta.

Namun, popularitas digital juga membawa tantangan. Banyak produk tiruan bermunculan dengan kualitas rendah, mengandalkan tampilan visual tanpa memperhatikan rasa. Akibatnya, beberapa penikmat setia kue cubit klasik mulai merindukan versi aslinya yang sederhana tapi otentik.

Meski begitu, tren ini membuktikan satu hal: kue cubit punya daya tarik lintas generasi. Dari orang tua yang mengenangnya, hingga anak muda yang menemukannya kembali dalam bentuk kekinian, camilan ini berhasil menyatukan dua era dalam satu gigitan manis.

Pandangan ke Depan: Apakah Kue Cubit Akan Bertahan?

Di tengah gempuran dessert modern seperti boba, croffle, dan basque cheesecake, banyak yang bertanya: apakah kue cubit masih punya tempat di hati masyarakat Jakarta?

Jawabannya: ya, selama ada orang yang menghargai rasa dan kenangan.

Kue cubit telah melewati banyak gelombang tren kuliner—dari es kepal milo hingga minuman kopi dalgona—namun tetap bertahan. Alasannya sederhana: ia bukan sekadar makanan, tapi cerita masa kecil.

Beberapa komunitas kuliner bahkan mulai mengadakan workshop membuat kue cubit, mengajarkan anak-anak tentang jajanan tradisional Indonesia. Di sisi lain, chef profesional mulai bereksperimen dengan kue cubit versi gourmet—menggunakan bahan premium seperti vanila Madagascar, dark chocolate Belgia, atau tepung organik.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa masa depan kue cubit tidak hanya terletak di pinggir jalan, tapi juga di meja-meja restoran dan kafe kelas atas.

Jakarta sendiri, sebagai kota yang selalu bergerak cepat, membutuhkan simbol seperti ini—sesuatu yang mengingatkan warganya akan akar budaya kuliner yang sederhana namun berarti.

Kesimpulan: Kue Cubit, Cermin Rasa dan Identitas Jakarta

Jika ada satu jajanan yang bisa menggambarkan semangat Jakarta, mungkin jawabannya adalah kue cubit.
Kecil tapi kuat. Sederhana tapi penuh cerita.

Dari gerobak di depan sekolah hingga kafe ber-AC, dari versi klasik hingga rasa matcha modern, kue cubit terus berkembang mengikuti zamannya tanpa kehilangan jati diri. Ia adalah bukti bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan untuk menjadi relevan—cukup diadaptasi, dengan hati dan kreativitas.

Setiap gigitan kue cubit mengandung lebih dari sekadar rasa manis; ada kenangan, budaya, dan kebanggaan lokal di dalamnya.
Dan mungkin, di suatu sore di Jakarta, ketika aroma mentega dan vanila kembali menyapa udara, kita akan sadar bahwa hal-hal kecil seperti kue cubitlah yang membuat kota ini terasa hidup dan hangat.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Sate Taichan: Evolusi Rasa dari Pinggir Jalan Ikon Kuliner Modern

Author