Mon. Dec 8th, 2025
Getuk Lindri Tradisional

Jakarta, odishanewsinsight.com – Ada satu momen yang selalu saya ingat tentang Getuk Lindri Tradisional. Beberapa tahun lalu, saat liputan kuliner di daerah Magelang, saya bertemu seorang ibu penjual getuk yang usianya mungkin sudah lebih dari enam puluh tahun. Ia duduk di teras rumah joglo kecilnya, mengenakan kain batik kusam, sambil menumbuk singkong rebus dengan lesung kayu. Getuk yang ia buat tidak hanya sekadar makanan—itu adalah cerita hidupnya.

Dengan suara serak dan tawa kecil yang hangat, ia berkata, “Getuk itu sederhana, Nak… tapi bikin banyak orang pulang.” Kalimat itu agak salah ucap karena ia terburu-buru menyelesaikan adonan singkongnya, tetapi justru membuatnya terasa manusiawi, jujur, dan begitu khas.

Getuk Lindri Tradisional memang punya daya tarik yang sulit dijelaskan. Setiap potongannya terasa nostalgik. Teksturnya lembut, manisnya pas, dan tampilannya sering diberi warna-warna cerah yang membuatnya mudah dikenali. Di pasar tradisional Jawa Tengah dan DIY, getuk ini biasanya dijual bersama parutan kelapa yang gurih, membuat rasanya semakin kaya.

Media kuliner di Indonesia sering menyoroti bagaimana makanan tradisional tetap bertahan di tengah gempuran makanan modern yang lebih glamor. Getuk Lindri Tradisional adalah salah satu contohnya—hidangan sederhana yang mampu menembus batas zaman. Bahkan di kota-kota besar, banyak orang masih memburunya karena rasa nostalgik yang sulit tergantikan.

Kehadiran getuk juga mencerminkan kuatnya budaya pangan Indonesia yang berbasis bahan lokal. Di masa ketika impor makanan semakin meningkat, muncul rasa bangga setiap kali kita membicarakan olahan berbahan dasar singkong, sebuah tanaman yang dulu pernah dianggap “makanan rakyat”.

Dan benar saja, saat saya mewawancarai seorang pengunjung pasar di Solo, ia mengaku membeli getuk bukan karena lapar, tapi karena rindu masa kecil. “Zaman dulu ibu saya suka bikin sendiri. Sekarang, aroma getuk saja sudah bikin saya pingin pulang kampung,” ucapnya sambil tersenyum.

Getuk Lindri Tradisional adalah salah satu bukti bahwa kuliner bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal ingatan.

Sejarah Getuk Lindri: Dari Ketahanan Pangan hingga Warisan Budaya

Getuk Lindri Tradisional

Bicara tentang Getuk Lindri Tradisional tidak bisa lepas dari sejarah panjang singkong di Indonesia. Tanaman ini dulu diperkenalkan sebagai solusi ketahanan pangan pada masa kolonial dan pasca-kemerdekaan. Karena mudah tumbuh dan tidak membutuhkan perawatan rumit, singkong menjadi salah satu bahan makanan pokok pengganti beras.

Di tengah kondisi serba sulit itulah, kreativitas masyarakat Jawa melahirkan berbagai olahan singkong yang lezat—mulai dari tiwul, gaplek, sawut, hingga getuk. Getuk Lindri adalah salah satu yang paling populer, terutama karena tampilannya yang rapi dan warnanya yang memikat.

Sebutan “lindri” merujuk pada bentuk panjang yang dicetak memanjang lewat alat khusus, biasanya berupa mesin giling manual. Dari mesin itulah getuk keluar berbentuk garis-garis panjang seperti mi besar yang kemudian dipotong kotak-kotak. Bentuk inilah yang menjadikannya berbeda dari getuk biasa yang cukup dilumatkan dan dibentuk bulat atau pipih.

Media nasional pernah membahas bagaimana getuk berkembang dari makanan kelas rakyat menjadi ikon kuliner daerah. Banyak festival kuliner di Jawa Tengah yang menjadikan getuk sebagai salah satu hidangan wajib, bahkan pernah ada lomba membuat getuk dengan bentuk paling unik dan kreatif.

Sejarah Getuk Lindri Tradisional sebenarnya tidak hanya soal singkong dan proses mengolahnya, tetapi juga soal budaya gotong-royong. Di desa-desa, pembuatan getuk sering menjadi kegiatan komunal. Ada yang menyiapkan bahan, ada yang menumbuk, ada yang membentuk, dan ada yang mengemas. Semua dilakukan sambil bercanda, sambil berbagi cerita, sambil menertawakan hal-hal kecil yang ringan.

Ketika kuliner modern dengan mesin berpacu ke efisiensi, getuk tradisional tetap memegang nilai kehangatan itu: proses yang pelan, penuh perhatian, dan sering kali dilakukan bersama-sama.

Proses Pembuatan Getuk Lindri Tradisional: Dari Singkong Rebus hingga Parutan Kelapa

Banyak orang mengira membuat Getuk Lindri Tradisional itu mudah. Padahal, ada seni tersendiri dalam menciptakan tekstur lembut dan rasa manis yang pas. Prosesnya terdiri dari beberapa tahap penting yang menentukan kualitas akhir.

1. Memilih Singkong Berkualitas

Singkong yang baik biasanya berwarna putih bersih, keras, dan tidak berserat banyak. Petani tradisional sering menyebut bahwa singkong yang baru dipanen dan tidak terlalu tua menghasilkan getuk yang paling lembut.

2. Perebusan

Singkong direbus hingga benar-benar empuk. Ini penting karena tekstur yang belum matang sempurna membuat hasil getuk menjadi kasar.

3. Penggilingan

Singkong yang sudah lembut kemudian digiling bersama gula pasir atau gula jawa sesuai selera. Di sinilah mesin giling atau alat manual berperan besar. Penggilingan harus merata agar tidak ada bagian yang menggumpal.

4. Pewarnaan

Getuk Lindri Tradisional dikenal dengan warna-warna cerah seperti merah muda, hijau pandan, atau kuning. Pewarnaan dilakukan sedikit demi sedikit agar warna tetap lembut dan tidak berlebihan.

5. Pencetakan

Adonan yang sudah jadi dimasukkan ke mesin pencetak. Bentuk garis-garis panjang adalah ciri khasnya. Proses ini membutuhkan tenaga stabil karena jika terlalu cepat, teksturnya akan pecah; jika terlalu lambat, adonan bisa menggumpal.

6. Penyajian

Biasanya getuk disajikan bersama parutan kelapa yang sudah diberi sedikit garam. Kombinasi manis-gurih ini adalah kunci rasa Getuk Lindri Tradisional yang begitu memikat.

Dalam beberapa kesempatan liputan kuliner, saya sempat mencoba ikut menggiling adonan getuk. Dan jujur saja, ternyata membuat getuk yang “sempurna” tidak mudah. Ada teknik menekan yang harus pas, ada waktu yang harus diperhatikan, bahkan suhu ruangan memengaruhi teksturnya.

Tidak heran banyak getuk buatan tangan rumahan terasa lebih istimewa dibanding produksi massal. Ada sentuhan manusia di dalamnya yang membuat rasa getuk menjadi lebih hidup.

Pesona Getuk Lindri di Zaman Sekarang: Dari Pasar Tradisional hingga Cafe Kekinian

Di tengah maraknya minuman boba dan dessert Korea, siapa sangka Getuk Lindri Tradisional tetap bertahan dengan elegannya. Bahkan, ada fenomena baru: getuk mulai naik kelas.

Beberapa tahun terakhir, banyak kafe kekinian di Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta mencoba mengangkat Getuk Lindri sebagai dessert modern. Mereka menyajikannya dengan plating cantik, menambahkan topping unik seperti gula aren cair, krim kelapa, atau bahkan coklat leleh.

Media lifestyle Indonesia pernah menuliskan bahwa gerakan ini merupakan upaya memperkenalkan kuliner tradisional kepada generasi muda. Ternyata cukup berhasil. Banyak anak muda yang sebelumnya tidak terlalu mengenal getuk kini mulai mencarinya karena tren media sosial.

Namun, getuk tetap menemukan rumah terhangatnya di pasar tradisional. Di sana, penjual mengemasnya dalam daun pisang, menjualnya dengan harga terjangkau, dan menyajikannya tanpa gimmick—hanya getuk apa adanya.

Yang menarik, beberapa UMKM bahkan mengembangkan inovasi baru, seperti:

  • Getuk Lindri rasa pandan wangi

  • Getuk Lindri coklat

  • Getuk Lindri keju

  • Getuk Lindri pelangi tiga warna

  • Getuk Lindri mini untuk snack box

Transformasi ini menunjukkan bahwa makanan tradisional bisa tetap relevan tanpa kehilangan identitasnya.

Alasan Getuk Lindri Tradisional Tetap Dicintai: Rasa, Budaya, dan Kenangan

Mengapa Getuk Lindri Tradisional masih punya tempat spesial di hati banyak orang?

1. Rasanya Tidak Tergantikan

Lembut, manis, sedikit kenyal, dengan kelapa yang segar—kombinasi ini sulit ditemukan pada dessert modern lainnya.

2. Harga Ramah di Kantong

Meskipun tampilannya indah, getuk tetap salah satu makanan paling terjangkau.

3. Terbuat dari Bahan Lokal

Singkong adalah tanaman lokal yang mudah dibudidayakan. Makanan ini mendukung pertanian lokal.

4. Mengandung Nostalgia Kuat

Ada memori masa kecil dalam tiap potongnya—entah tentang pasar, tentang nenek, atau tentang hari-hari sederhana.

5. Simbol Kreativitas Kuliner Nusantara

Getuk adalah bukti bahwa bahan sederhana seperti singkong bisa diolah menjadi hidangan lezat dan bernilai budaya tinggi.

Dalam salah satu wawancara kecil saya dengan pedagang, ia berkata, “Selama orang Indonesia masih punya kenangan, getuk tidak akan hilang.” Dan mungkin ia benar.

Kesimpulan: Getuk Lindri Tradisional adalah Harta Kuliner yang Tidak Boleh Hilang

Di tengah gempuran makanan modern, Getuk Lindri Tradisional tetap berdiri sebagai simbol keindahan kuliner Nusantara. Dibuat dari bahan sederhana namun penuh makna, getuk bukan hanya soal rasa—tetapi kisah, budaya, dan kenangan.

Dari proses panjang yang telaten, dari dapur desa hingga rak toko modern, getuk telah membuktikan bahwa makanan tradisional bisa bertahan, berkembang, dan dicintai lintas generasi.

Selama ada tangan-tangan yang mau melanjutkan tradisi ini, Getuk Lindri akan selalu menjadi bagian istimewa dari perjalanan kuliner Indonesia.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Lupis Ketan Daun Pisang: Warisan Kuliner Nusantara yang Terbungkus dalam Aroma Tradisi

Author