JAKARTA, odishanewsinsight.com – Kalau kita bicara soal kuliner Indonesia, ada satu makanan yang sering luput dari sorotan padahal punya sejarah panjang dan rasa yang begitu autentik: ikan cue. Makanan ini dulu identik dengan lauk sederhana di meja makan keluarga pedesaan. Tapi siapa sangka, kini ikan cue justru kembali naik daun—bahkan menembus restoran dan platform kuliner modern dengan kemasan kekinian.
Di banyak daerah, ikan cue dikenal sebagai lauk yang “tahan banting.” Sebagian orang menyebutnya ikan pindang, sebagian lain menyebutnya ikan cue, tergantung daerah asalnya. Intinya, ikan cue adalah ikan yang diawetkan dengan cara dipindang—direbus bersama garam, asam, dan bumbu rempah tertentu agar tahan lama tanpa mengurangi cita rasanya.
Menariknya, ikan cue bukan hanya soal rasa asin gurih. Ia membawa nostalgia, kehangatan, dan kenangan masa kecil bagi banyak orang Indonesia. Aroma khas yang keluar saat dibuka dari bungkus daun pisang seolah membawa kembali memori sarapan di dapur rumah nenek, dengan nasi hangat dan sambal terasi di sampingnya.
Di zaman modern ini, ketika makanan cepat saji begitu mendominasi, keberadaan ikan cue terasa seperti napas segar yang mengingatkan kita pada akar tradisi kuliner Nusantara. Mungkin karena itulah, ia kembali dicari dan diapresiasi.
Sejarah Panjang di Balik Ikan Cue: Dari Dapur Nelayan ke Warung Pinggir Jalan

Ikan cue punya kisah panjang yang lekat dengan kehidupan para nelayan Indonesia. Dahulu, nelayan di pesisir Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi mencari cara untuk menyimpan hasil tangkapan mereka agar tak cepat busuk. Pendingin belum ada, jadi satu-satunya cara adalah dengan pengawetan alami. Dari situlah lahir tradisi memindang ikan—merebusnya dengan bumbu dan garam agar tahan disimpan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Nama “cue” sendiri diyakini berasal dari istilah lokal di daerah pesisir Jawa Barat dan Banten. Di sana, ikan yang sudah dipindang dan dikeringkan sebagian disebut “ikan cue.” Di daerah lain seperti Jawa Tengah atau Yogyakarta, istilah yang lebih sering dipakai adalah “ikan pindang.” Meskipun penyebutannya berbeda, prinsip pembuatannya sama.
Ikan yang digunakan pun beragam. Mulai dari ikan tongkol, kembung, selar, hingga ikan lemuru. Semua tergantung hasil tangkapan hari itu. Setelah direbus dengan garam, daun salam, dan asam jawa, ikan biasanya dikeringkan sedikit agar aromanya lebih kuat. Tak jarang, beberapa daerah menambahkan daun jeruk atau serai untuk menambah cita rasa.
Di masa lalu, ikan cue sering dijadikan bekal perjalanan jauh. Ada kisah lama tentang para pedagang keliling di Pulau Jawa yang selalu membawa nasi, sambal, dan ikan cue sebagai makanan darurat. Tahan lama, ringan, dan tetap lezat meski tak dipanaskan.
Kini, teknik pengawetan tradisional itu dianggap warisan kuliner penting. Banyak UMKM di daerah pesisir mulai mengembangkan produksi ikan cue secara modern, menggunakan kemasan vakum dan label yang menarik. Ikan yang dulu dianggap lauk “murah” kini bisa dijual dengan nilai lebih tinggi, tanpa kehilangan jiwanya.
Rahasia di Balik Kelezatan Ikan Cue: Perpaduan Garam, Asam, dan Waktu
Ada satu hal menarik dari ikan : ia membuktikan bahwa kelezatan tidak selalu datang dari bahan mahal, melainkan dari teknik dan kesabaran. Kunci utama ikan cue terletak pada proses pemindangan.
Biasanya, ikan segar dibersihkan lebih dulu, lalu direbus bersama air, garam, dan sedikit asam jawa. Beberapa daerah menambahkan bumbu tambahan seperti daun salam, lengkuas, dan bawang putih. Setelah itu, ikan didiamkan hingga bumbunya benar-benar meresap. Proses ini bisa memakan waktu berjam-jam, tergantung jenis ikan yang digunakan.
Saat dimasak, aroma khas mulai tercium—gurih, sedikit asam, dan menggoda. Setelah matang, ikan bisa langsung dikonsumsi atau dijemur sebentar agar lebih awet. Menariknya, semakin lama ikan cue disimpan (asal dalam wadah tertutup dan kering), justru rasa gurihnya makin kuat.
Beberapa penjual ikan di pasar tradisional bahkan punya “resep turun-temurun” yang tidak pernah mereka ubah. Ada yang menggunakan campuran air kelapa muda saat merebus untuk menambah rasa manis alami, ada juga yang menambahkan daun jeruk nipis agar aromanya lebih segar.
Dan kalau kamu perhatikan, ikan yang dimasak ulang—misalnya digoreng atau dimasak sambal balado—biasanya memiliki tekstur daging yang lebih padat dan gurih. Ini karena proses pemindangan sudah membuat serat ikan lebih rapat dan matang sempurna.
Tak heran, banyak orang bilang ikan itu “semakin dipanasin, semakin enak.”
Era Modern: Dari Warung Tegal ke Restoran Urban
Perjalanan ikan cue menuju meja makan modern sebenarnya menarik untuk disimak. Dulu, lauk ini sering dianggap “makanan orang kampung.” Tapi sekarang, tren kuliner Indonesia justru mengarah ke arah sebaliknya: kembali ke akar, kembali ke tradisi.
Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, mulai banyak restoran dan kafe yang mengusung konsep “Indonesian comfort food.” Menu seperti nasi liwet, sambal terasi, dan tentu saja ikan cue, menjadi bintang utama. Mereka tidak hanya menjual makanan, tapi juga nostalgia.
Salah satu tren menarik adalah kemunculan ikan kemasan siap saji. Banyak produsen lokal mengemasnya dalam kaleng atau kemasan vakum modern, lengkap dengan sambal khas. Produk seperti ini laris di toko oleh-oleh maupun e-commerce karena praktis, tahan lama, dan tetap membawa rasa autentik.
Selain itu, generasi muda mulai melihat ikan bukan sekadar lauk sederhana, tapi simbol kebanggaan kuliner lokal. Di media sosial, ada banyak konten yang menampilkan “makan ikan cue bareng nasi panas” dengan narasi nostalgia yang hangat. Ada yang bercerita tentang masa kecilnya di kampung, ada pula yang membandingkan rasa ikan antar daerah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ikan berhasil melewati batas sosial dan generasi. Ia bukan lagi makanan “kelas bawah,” tapi sudah jadi bagian dari identitas kuliner Indonesia yang patut dibanggakan.
Kreativitas Baru: Mengolah Menjadi Hidangan Kekinian
Kalau dulu ikan cue hanya disajikan dengan nasi putih dan sambal, sekarang banyak kreasi baru yang membuatnya tampil lebih modern. Contohnya, ikan cue sambal matah, yang menggabungkan gurihnya ikan dengan pedas segar khas Bali. Atau ikan cabe ijo ala Minang yang aromanya menggugah selera.
Bahkan, beberapa chef muda mulai bereksperimen dengan cara yang lebih berani—misalnya membuat pasta ikan pedas atau pizza topping ikan cue. Kedengarannya unik, tapi nyatanya banyak yang menyukai rasa fusion semacam ini karena menghadirkan kombinasi cita rasa lokal dan global.
Ada juga ide sederhana tapi kreatif seperti onigiri isi ikan , yang populer di kalangan anak muda. Nasi kepal khas Jepang itu diisi dengan suwiran ikan pedas, menciptakan perpaduan rasa yang tak terduga tapi nikmat.
Selain lezat, ikan cue juga punya nilai gizi yang tinggi. Kandungan proteinnya cukup besar, dan proses pemindangan membuat kadar lemaknya menurun. Artinya, ia cocok untuk siapa pun yang ingin makan enak tapi tetap sehat.
Tren makanan sehat dan berkelanjutan juga membuat ikan kembali disorot. Karena berasal dari bahan lokal dan proses alami tanpa pengawet kimia, ia dianggap ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip “real food.”
Simbol Rasa dan Cerita yang Tak Lekang Waktu
Ikan cue bukan sekadar lauk. Ia adalah potongan kecil dari sejarah kuliner Indonesia—sederhana, jujur, dan penuh makna. Dari dapur nelayan hingga restoran modern, dari meja makan keluarga hingga kemasan oleh-oleh kekinian, ikan membuktikan bahwa cita rasa sejati selalu menemukan jalannya untuk bertahan.
Mungkin itu sebabnya, meski sudah muncul ribuan jenis makanan baru, selalu ada ruang di hati (dan di meja makan) untuk ikan cue. Ia mengajarkan kita bahwa kesederhanaan tak pernah kehilangan daya tariknya, apalagi jika dibumbui dengan keikhlasan dan cinta terhadap tradisi.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Sate Kerang: Kuliner Unik Penuh Cita Rasa dari Laut yang Tak Pernah Lekang oleh Waktu
