Tue. Dec 2nd, 2025
Ketoprak

Jakarta, odishanewsinsight.com – Jika Anda pernah menyusuri jalanan Jakarta pada pagi atau malam hari, ada satu aroma yang sering muncul dari balik keramaian: wangi bawang goreng panas yang bercampur dengan bumbu kacang yang ditumbuk langsung oleh abang gerobak. Di balik tirai kota yang hiruk-pikuk, ada satu kuliner yang terus bertahan dari generasi ke generasi: ketoprak.

Sebagai pembawa berita yang pernah meliput budaya kuliner jalanan di berbagai kota, saya masih ingat momen ketika seorang penjual ketoprak tua di bilangan Menteng berkata, “Ketoprak itu bukan cuma makanan, Nak. Ini cerita hidup orang-orang sibuk, anak kos, pekerja kantoran, sampai tukang ojek.” Dan benar—ketoprak seakan menjadi titik temu yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat.

Ketoprak bukan makanan mahal, bukan pula menu mewah. Tetapi justru kesederhanaannya membuat hidangan ini bertahan puluhan tahun. Mulai dari gerobak pinggir jalan, warung sederhana, hingga restoran—ketoprak selalu punya tempat.

Namun, sebelum kita membahas lebih jauh rasa dan penyajiannya, ada satu pertanyaan sederhana yang sering muncul:
Sebenarnya, dari mana asal ketoprak?

Asal-Usul Ketoprak: Antara Mitologi Kuliner dan Sejarah Urban Jakarta

Ketoprak

Asal-usul ketoprak selalu menjadi bahan perdebatan ringan di kalangan pecinta kuliner. Banyak versi cerita beredar, dan masing-masing punya daya tarik tersendiri.

1. Teori Jakarta: Lahir dari Kuliner Betawi

Versi paling populer menyebut ketoprak berasal dari Jakarta, khususnya dari budaya Betawi. Pada masa kolonial, banyak masyarakat Jakarta yang mengolah bahan pangan sederhana seperti tahu, ketupat, dan bihun sebagai makanan sehari-hari. Saat bumbu kacang diperkenalkan sebagai penambah rasa, jadilah hidangan yang kita kenal sekarang.

Dalam banyak liputan kuliner nasional, ketoprak sering dikategorikan sebagai makanan asli Jakarta, meskipun memiliki pengaruh kuliner Tionghoa dan Jawa.

2. Teori Akronim “KETUPOK DIKEROK”

Ada pula cerita lucu dan populer bahwa ketoprak merupakan akronim dari:

“Ketupat, Toge, dige-PRAK”,
yang berarti bahan-bahan itu ditumbuk atau diprak bersama bumbu kacang. Meski terdengar fiktif dan lebih cocok jadi humor warung kopi, teori ini banyak dipercaya warga lokal.

3. Teori Jawa: Pengaruh Kuliner Tahu dan Bumbu Kacang

Ada yang mengatakan bahwa bumbu kacang berasal dari budaya Jawa, sementara tahu dan bihun banyak dipengaruhi kultur Tionghoa. Perpaduan ini akhirnya mengarah pada terciptanya ketoprak di kota-kota pesisir, sebelum kemudian populer di Jakarta.

Apa pun asal-usulnya, ketoprak kini identik dengan kuliner urban Nusantara yang merakyat, enak, dan mudah ditemui.

Komposisi Ketoprak: Simfoni Rasa dalam Kesederhanaan

Ketoprak adalah bukti bahwa makanan sederhana bisa menghadirkan rasa luar biasa. Setiap komponennya punya peran:

1. Ketupat atau Lontong

Sumber karbohidrat utama. Teksturnya lembut, padat, dan mudah menyerap bumbu kacang.

2. Tahu Goreng

Biasanya tahu putih yang digoreng hingga kecokelatan. Memberikan rasa gurih dan tekstur kontras dengan lontong.

3. Bihun

Memberikan sensasi ringan dan lembut, membuat hidangan tidak monoton.

4. Tauge

Tambahan sayur yang segar, memberikan keseimbangan dalam cita rasa.

5. Bawang Goreng

Aroma inilah yang membuat orang mengenali ketoprak dari jarak puluhan meter.

6. Kerupuk

Kerupuk bawang atau kerupuk merah khas abang pinggir jalan menjadi pelengkap wajib.

7. Bumbu Kacang

Ini adalah elemen paling penting. Dibuat dari:

  • kacang tanah goreng,

  • bawang putih,

  • cabai rawit,

  • gula merah,

  • garam,

  • dan sedikit kecap manis.

Semua diulek manual sehingga rasa kacangnya lebih pekat dan aromanya lebih keluar.

Dalam reportase kuliner, banyak penjual ketoprak mengatakan bahwa kunci ketoprak yang enak adalah bumbu kacang yang diulek saat dipesan, bukan yang sudah jadi. Karena proses mengulek langsung membuat aromanya jauh lebih kuat.

Anekdot Warung Gerobak: Kisah-Kisah Ketoprak di Pinggir Jalan

Salah satu alasan saya selalu menikmati meliput kuliner tradisional adalah karena setiap makanan punya cerita. Termasuk ketoprak.

Suatu ketika, di sebuah jalan kecil di Rawamangun, saya bertemu dengan seorang pembeli setia ketoprak. Ia seorang dosen muda yang hampir setiap pagi mampir ke warung yang sama. Ketika saya tanya kenapa selalu kembali ke tempat itu, ia menjawab sambil tertawa, “Abang ini hafal level pedas saya. Kayaknya cuma dia yang tahu saya suka pedas tapi gak bisa kepedesan.”

Cerita sederhana, tetapi menunjukkan bahwa ketoprak bukan sekadar makanan. Ia adalah hubungan antara penjual dan pelanggan. Ada kepercayaan di dalamnya.

Di malam hari, gerobak ketoprak sering menjadi pelarian anak kos yang mencari makanan murah tapi mengenyangkan. Saya pernah melihat sekelompok mahasiswa duduk di lantai trotoar sambil makan , bercanda seolah dunia terasa lebih ringan setelah suapan bumbu kacang pertama.

Ini adalah tempat banyak kisah kecil dimulai: obrolan santai, keluhan setelah kerja, atau sekadar “butuh makan cepat sebelum nugas”.

Ketoprak dalam Budaya Urban: Antara Tradisi dan Modernitas

Ketoprak memiliki posisi unik dalam budaya kuliner Indonesia, terutama di kota besar:

1. Murah dan Mengenyangkan

Di masa ekonomi sulit, sering menjadi pilihan “makanan penyelamat” bagi pekerja, mahasiswa, hingga pedagang kecil.

2. Fleksibel: Sarapan hingga Tengah Malam

Ketoprak tidak terikat waktu. Pagi ada, siang ada, malam banyak sekali.

3. Identitas Kuliner Betawi

Dalam banyak festival makanan Jakarta, ketoprak selalu menjadi salah satu menu utama.

4. Adaptasi dengan Zaman

Kini mulai hadir:

  • kekinian,

  • rumahan yang sehat,

  • versi cafe,

  • hingga dengan topping modern seperti telur orak-arik atau saus pedas ala Korea.

Meskipun mengalami modernisasi, ketoprak tetap mempertahankan jati dirinya.

Rahasia Kenapa Ketoprak Bertahan dari Generasi ke Generasi

Ada beberapa alasan kenapa menjadi kuliner yang tak lekang oleh waktu:

1. Simpel

Bahan mudah didapat, mudah dibuat, dan rasanya bisa diatur sesuai selera.

2. Cocok untuk Segala Usia

Anak muda suka karena murah, orang dewasa suka karena mengenyangkan, orang tua suka karena tidak terlalu berat.

3. Cocok untuk Lidah Nusantara

Rasa kacang, manis, gurih, dan pedas adalah kombinasi “rasa Indonesia”.

4. Fleksibel

Bisa ditambah telur, tempe, lontong lebih banyak, atau cabai tambahan.

5. Nilai Emosional

Makanan yang sering dikaitkan dengan kenangan:
— makan di gerobak dekat rumah,
— beli malam-malam waktu tanggal tua,
— atau makan bareng teman kampus.

selalu hidup dalam ingatan orang-orang.

Ketoprak vs Kuliner Bumbu Kacang Lainnya

Indonesia kaya dengan makanan berbumbu kacang: gado-gado, pecel, karedok, lotek, siomay. Namun punya ciri khasnya sendiri:

  • Menggunakan bihun

  • Memakai tahu goreng

  • Bumbu kacang lebih creamy

  • Ada ketupat atau lontong

  • Penyajian serba fresh

Ketoprak berada di titik seimbang antara sayuran, karbohidrat, dan protein nabati.

Menilik Masa Depan Ketoprak: Bertahan di Tengah Gelombang Kuliner Modern

Walaupun kuliner modern terus bermunculan, ketoprak tetap bertahan. Bahkan mulai memasuki pasar digital.

Dalam laporan bisnis kuliner, banyak UMKM yang kini:

  • membuka toko di layanan online,

  • menggunakan kemasan higienis,

  • menambahkan variasi topping,

  • membuka cabang di berbagai kota.

Ketoprak juga mulai merambah kelas restoran dengan penyajian lebih modern, tetapi rasa tetap tradisional.

Nah, apakah modernisasi mengubah identitas?
Tidak juga.

Justru modernisasi membuat ketoprak semakin dikenal generasi muda. Banyak konten kreator kuliner yang mereview legendaris, membuat makanan ini kembali naik popularitasnya.

Penutup: Ketoprak adalah Warisan Rasa yang Menyentuh Semua Kalangan

Ketoprak bukan sekadar makanan murah. Ia adalah warisan, budaya, dan kisah hidup orang Indonesia. Dari pinggir jalan yang ramai, dari gerobak kecil yang sederhana, membawa rasa yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.

Bumbu kacangnya mungkin sederhana, tetapi cerita di baliknya panjang. Tekstur tahu dan lontongnya mungkin biasa, tetapi maknanya tidak pernah biasa.

adalah pelajaran bahwa sesuatu yang sederhana bisa bertahan lama karena ia dekat dengan manusia — dekat dengan kebutuhan, selera, dan kenangan.

Di setiap suapan , ada nostalgia. Ada kesederhanaan. Ada Indonesia.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Gudeg Mercon: Eksplorasi Kuliner Pedas Manis yang Mewakili Hasrat Baru Pecinta Makanan Nusantara

Author