JAKARTA, odishanewsinsight.com – Ada sesuatu yang anehnya hangat ketika seseorang menyebut Kue Cubit. Seolah ada pintu kecil ke masa lalu yang langsung terbuka, memperlihatkan anak-anak berkerumun di depan gerobak mungil, menunggu adonan hijau setengah matang diangkat dari cetakan besi panas. Tapi cerita tentang Kue Cubit ternyata jauh lebih panjang, lebih berlapis, dan lebih hidup dari sekadar nostalgia masa kecil.
Dalam beberapa tahun terakhir, camilan ini naik lagi ke permukaan, bukan hanya karena bentuknya yang kecil dan lucu, tapi karena generasi muda mulai mengadopsi dan merayakan tradisi lokal dengan cara yang jauh lebih kreatif. Kue Cubit tak lagi hanya hijau dengan taburan cokelat meses. Ia berkembang, menyesuaikan zaman, kadang tampil modern, kadang tetap setia pada bentuk aslinya.
Melalui tulisan ini, saya ingin membawa Anda menyelam ke dunia Kue Cubit—bukan sekadar membahas resep, tapi menggali kisah, perubahan, pengalaman para penjual, bahkan dinamika sosial yang ikut membentuk perjalanan kuliner sederhana ini. Mari kita mulai dari sesuatu yang paling mendasar: bagaimana Kue Cubit pertama kali muncul dan mengapa ia begitu dihormati sampai hari ini.
Asal-Usul Kue Cubit dan Jejak Waktu yang Membentuknya

Tidak banyak yang benar-benar tahu kapan Kue Cubit pertama kali hadir di Indonesia. Bahkan sebagian besar penjualnya tidak memiliki jawaban pasti; mereka hanya ingat bahwa sejak kecil, gerobak-gerobak pinggir jalan sudah menjajakannya. Ada yang menyebut bahwa Kue Cubit merupakan adaptasi dari jajanan Belanda bernama poffertjes. Kemiripannya benar: bentuk kecil, cetakan besi bulat, dan gaya penyajian yang sederhana.
Namun, Kue Cubit bukan sekadar imitasi. Masyarakat Indonesia mengubahnya. Mereka mengganti bahan, menyesuaikan rasa, memberikan aroma pandan yang khas—sesuatu yang tidak ditemukan pada versi Eropa. Jadi meskipun akarnya mungkin terinspirasi dari kuliner kolonial, Kue Cubit tumbuh menjadi ikon lokal yang berdiri sendiri.
Salah satu penjual yang saya temui beberapa waktu lalu—seorang bapak asal Depok yang sudah berjualan selama lebih dari dua dekade—pernah berkata bahwa Kue Cubit adalah “kue yang tak pernah bikin orang takut mencoba.” Alasannya sederhana: ukurannya kecil, harganya murah, dan rasanya akrab di lidah semua orang. Ia bahkan sempat bercerita bahwa dulu anak-anak sekolah sering memakan Kue Cubit setengah matang, percaya bahwa tekstur lembek itu lebih enak. Dan meskipun gurunya sering melarang, kebiasaan itu tetap hidup sampai hari ini.
Cerita-cerita kecil seperti itu memperlihatkan bagaimana Kue Cubit bukan hanya makanan, tapi pengalaman sosial yang dibentuk oleh generasi demi generasi. Ia hadir dalam perubahan zaman, tetapi tak pernah benar-benar berubah pada esensinya: sederhana dan menyenangkan.
Dan mungkin itulah kekuatan sesungguhnya dari Kue Cubit.
Bahan, Rasa, dan Karakter yang Membuat Kue Cubit Sulit Digantikan
Jika kita membedah Kue Cubit dari sisi kuliner, tidak ada bahan yang rumit. Tepung terigu, gula, telur, baking powder, susu, mentega cair, dan pandan. Adonan ini sangat standar, bahkan ada yang menyebutnya “adonan dasar yang bisa dipakai untuk apa pun.” Tapi Kue Cubit menunjukkan bahwa sederhana bukan berarti mudah digantikan.
Rasa khasnya muncul dari kombinasi manis yang lembut, aroma pandan yang menenangkan, dan tekstur lembut di bagian tengah. Ada sensasi tertentu ketika kita menggigitnya dalam keadaan setengah matang. Perpaduan lembek, panas, dan manis itu membuat banyak orang menyebutnya comfort food versi Indonesia.
Namun seiring tren kuliner berkembang, Kue Cubit ikut bertransformasi. Tiba-tiba kehadiran topping seperti Oreo, matcha, tiramisu, hingga red velvet menjadi bagian dari wajah baru camilan ini. Beberapa kedai bahkan membuat versi premium dengan harga lebih mahal dan penyajian lebih modern.
Saya pernah melihat antrean anak muda di daerah Jakarta Selatan yang begitu panjang hanya untuk mencicipi Kue versi matcha dengan taburan bubuk teh Jepang asli. Rasanya jujur saja tidak jauh berbeda dari versi sederhana, tapi inovasi itu berhasil membuka pintu baru bagi mereka yang lebih suka eksplorasi rasa.
Meski begitu, ada paradoks lucu: semakin banyak topping inovatif yang bermunculan, semakin kuat rasa rindu terhadap Kue klasik. Banyak orang yang mengaku balik ke versi tradisional setelah mencoba terlalu banyak varian modern. Seolah, di tengah inovasi yang mewah, Kue hijau meses tetap jadi rumah yang nyaman untuk kembali.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa tren boleh datang dan pergi, tetapi karakter dasar dari Kue —manis, lembut, ramah lidah—adalah sesuatu yang tidak bisa digeser oleh kreativitas sebanyak apa pun.
Para Penjual Kue Cubit: Penjaga Tradisi yang Tak Pernah Berhenti Beradaptasi
Salah satu hal paling menarik saat membahas Kue adalah sosok para penjualnya. Mereka bukan hanya pedagang kaki lima yang menjual makanan kecil, tapi juga penjaga tradisi kuliner Indonesia. Banyak dari mereka berjualan di lokasi yang sama selama puluhan tahun, menyaksikan bagaimana generasi demi generasi tumbuh dan kembali datang membawa anak atau cucu mereka.
Ada sebuah cerita menarik dari seorang pedagang lama di Bandung. Ia mengatakan bahwa dulu ia hanya membawa satu jenis Kue Cubit: klasik dengan topping meses. Namun ketika media sosial mulai dipenuhi foto-foto kuliner unik, ia “dipaksa” pembeli muda untuk mencoba membuat versi green tea. Bukan karena ia ingin, tapi karena pembelinya penasaran.
Ia bercerita sambil tertawa bahwa sebelum bisa membuat matcha versi yang layak, ia menghabiskan banyak bubuk green tea yang mahal untuk percobaan. Ia bahkan sempat menyerah karena warnanya tidak pernah sesuai, kadang kehijauan pucat, kadang malah kelihatan seperti kue yang belum matang. Tapi ia terus mencoba, sampai akhirnya ia menemukan campuran yang pas antara bubuk matcha dan adonan klasik.
Kisah seperti itu membuat saya sadar bahwa inovasi dalam kuliner tradisional tidak selalu datang dari chef atau foodpreneur modern. Banyak inovasi justru lahir dari tekanan pasar kecil, dari permintaan anak-anak muda yang ingin sesuatu yang “Instagrammable,” dan dari pedagang kaki lima yang mau berusaha menyesuaikan diri demi mempertahankan mata pencaharian mereka.
Adaptasi inilah yang menjaga Kue Cubit tetap hidup. Bukan hanya dari sisi rasa, tapi juga dari semangat para penjualnya. Dan ketika sebuah makanan memiliki manusia-manusia gigih seperti ini di baliknya, maka ia tidak akan pernah benar-benar hilang.
Era Media Sosial: Antara Tren, Nostalgia, dan Identitas Kuliner
Jika ada satu hal yang membuat Kue Cubit kembali populer dalam dekade terakhir, itu adalah media sosial. Foto Kue setengah matang dengan topping warna-warni sering muncul di feed pengguna, terutama di kalangan Gen Z dan Milenial yang suka mencoba sesuatu yang unik.
Kue Cubit bukan hanya soal rasa. Ia menjadi simbol nostalgia yang dibungkus dalam estetika modern. Ada unsur imut, sederhana, dan jenaka dalam setiap fotonya. Banyak orang yang membagikan pengalaman makan Kue sebagai bentuk perayaan masa kecil, meski disajikan dalam versi kontemporer.
Namun menariknya, tren ini justru membuat banyak orang kembali mencari Kue versi tradisional. Di tengah foto-foto warna-warni, ada rindu untuk merasakan yang hijau klasik dengan taburan meses sederhana. Dan karena itu, para penjual tradisional tetap mendapat tempat di hati masyarakat.
Media sosial juga membuat banyak kedai Kue Cubit naik daun secara cepat. Sebuah bisnis rumahan bisa viral hanya dengan satu video pendek. Dalam beberapa kasus, penjual kecil yang sebelumnya tidak dikenal tiba-tiba mendapatkan antrean panjang dalam semalam.
Fenomena ini membuktikan bahwa Kue bukan hanya makanan kecil. Ia adalah identitas—simpel, lokal, hangat, dan selalu bisa masuk ke berbagai selera.
Dan itu membawa kita pada satu pertanyaan penting: bagaimana masa depan Kue Cubit?
Masa Depant: Tetap Sederhana, Tetap Dicintai
Jika kita melihat perjalanan kuliner Indonesia, banyak makanan tradisional yang mengalami pasang surut popularitas. Namun Kue Cubit memiliki sesuatu yang spesial. Ia tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil beradaptasi dengan sangat baik.
Ada kemungkinan bahwa di masa depan Kue akan semakin dikemas secara profesional. Bisa jadi akan ada lebih banyak kedai khusus Kue Cubit, versi premium dengan bahan organik, atau bahkan brand waralaba yang menyuguhkannya dengan konsep modern. Namun satu hal yang tampaknya tidak akan berubah adalah hakikatnya sebagai camilan murah yang bisa dinikmati siapa pun.
Kue Cubit selalu menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia bukan hanya membawa rasa manis, tetapi juga membawa cerita—tentang penjual yang gigih, pembeli yang rindu masa kecil, dan anak-anak muda yang terus menghidupkan tradisi dengan kreativitas baru.
Jika ada makanan yang mampu menembus generasi tanpa kehilangan jati diri, Kue Cubit adalah salah satunya. Sederhana, tapi justru karena itu ia tetap bertahan.
Dan mungkin, setelah membaca cerita panjang ini, Anda jadi ingin mencari Kue Cubit terdekat. Mungkin versinya klasik, mungkin versinya modern. Tapi apa pun pilihannya, satu hal pasti: camilan kecil ini selalu punya cara untuk membuat setiap gigitan terasa seperti pulang.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Roti Keju: Rahasia Kelezatan Sederhana yang Selalu Berhasil Mencuri Hati Penikmat Kuliner
