Fri. Dec 5th, 2025
Kue Cucur

Jakarta, odishanewsinsight.com – Pernahkah kamu duduk di teras sore hari sambil menyeruput teh manis, lalu muncul sepotong kue berwarna cokelat dengan pinggiran keriting dan tengah yang empuk? Ya, itulah kue cucur—kudapan tradisional yang masih eksis di tengah maraknya boba, croffle, dan donat Korea.

Kue cucur adalah jenis jajanan pasar yang berasal dari Indonesia, khususnya terkenal di daerah Betawi, Bugis, dan Bali. Nama “cucur” sendiri berasal dari kata “mencucurkan,” yang menggambarkan proses menuangkan adonan ke dalam minyak panas hingga melebar membentuk pinggiran khas.

Walau terlihat sederhana, cucur punya cerita panjang. Di Betawi, kue ini biasa disajikan di hajatan atau kenduri. Di Bali, kue cucur berwarna merah muda sering menjadi bagian upacara adat. Sementara di Makassar, cucur disajikan di momen-momen spesial keluarga, sering kali sebagai lambang kerukunan dan rezeki.

Bentuknya juga bukan tanpa makna. Pinggirannya yang merekah dipercaya sebagai simbol rezeki yang melimpah. Sementara bagian tengah yang tebal dianggap sebagai inti dari kehidupan—kokoh, hangat, dan padat rasa. Bahkan ada kepercayaan bahwa kalau cucur matang sempurna di tengah, itu pertanda baik untuk hajat atau acara.

Uniknya lagi, meski bahan dasarnya hampir sama (tepung beras, gula merah, air), tiap daerah punya cara berbeda dalam mengolah dan menyajikannya. Inilah bukti bahwa kue cucur bukan sekadar jajanan—ia adalah identitas rasa dan nilai budaya.

Rahasia Dapur Tradisional – Proses Membuat Kue Cucur yang Tak Bisa Asal

Kue Cucur

Membuat kue cucur tidak semudah yang dibayangkan. Banyak orang yang pertama kali mencoba justru gagal: hasilnya bantat, tidak merekah, atau terlalu keras. Padahal resepnya simpel, bukan?

Begini kenyataannya: cucur bukan soal bahan, tapi teknik dan feeling.

Dalam banyak resep klasik, bahan utamanya adalah:

  • Tepung beras

  • Gula merah (sering dicampur sedikit gula pasir)

  • Air daun pandan atau air biasa

  • Sedikit garam

Proses dimulai dengan merebus gula hingga larut, lalu mencampurnya dengan tepung beras. Nah, di sinilah letak kerumitannya. Adonan harus diaduk cukup lama—biasanya 20 hingga 30 menit—agar menghasilkan serat dan gelembung udara alami. Ini yang akan membantu cucur mekar saat digoreng.

Setelah adonan disiapkan, proses berikutnya adalah menggoreng di minyak panas dalam jumlah sedikit. Adonan dicurahkan ke tengah wajan kecil, dan di titik inilah “sihir” dimulai. Jika adonan pas dan minyak cukup panas, kue akan mekar dengan pinggiran yang renyah dan bagian tengah yang naik perlahan.

Ada satu kebiasaan lucu di beberapa daerah: nenek-nenek yang sedang membuat cucur biasanya mengamati dengan penuh konsentrasi. Kalau cucurnya tidak mekar, mereka akan bilang, “Kurang sabar, dek!”—seolah cucur itu bisa merasakan emosi si pembuatnya.

Itulah kenapa kue cucur dianggap sebagai kue yang “manja”. Ia tidak bisa dibuat terburu-buru. Harus tenang, sabar, dan telaten. Seperti sedang mendidik cucu, bukan sekadar memasak.

Variasi Rasa dan Warna – Cucur Modern yang Tetap Menjaga Akarnya

Meski akar budaya cucur sangat kuat, bukan berarti ia tak bisa beradaptasi. Di tangan kreatif para pengusaha kuliner muda, kue cucur kini hadir dalam versi yang lebih kekinian.

Beberapa inovasi yang muncul dalam beberapa tahun terakhir:

  • Cucur pandan – berwarna hijau lembut dengan aroma daun pandan yang kuat.

  • Cucur durian – menggunakan campuran daging durian di adonan, menghasilkan rasa legit dan aroma khas.

  • Cucur cokelat dan keju – topping kekinian yang disukai anak muda.

  • Cucur pelangi – dengan warna-warni menarik, cocok untuk snack anak-anak.

  • Cucur kopi atau moka – pilihan yang cocok untuk teman ngopi sore.

Meski tampilannya berubah, sebagian besar tetap mempertahankan proses tradisional. Bahkan ada UMKM yang sengaja menggunakan kuali tanah dan kompor arang, demi menjaga cita rasa dan tekstur yang autentik.

Menariknya, kue cucur juga mulai tampil di pameran kuliner modern. Di Jakarta Fair, misalnya, ada tenant yang menjual cucur dalam kemasan box premium, lengkap dengan label dan cerita asal-usulnya. Harga satuannya naik, tapi pembelinya tetap banyak—karena selain enak, cucur punya nilai nostalgia.

Fenomena ini menandakan satu hal: cucur mampu menjembatani antara tradisi dan tren. Ia bisa tampil di piring rotan, maupun di box kue mewah. Ia bisa dinikmati di hajatan desa, atau jadi bagian dari hampers lebaran ala urban.

Kue Cucur dalam Perspektif Sosial dan Ekonomi

Selain enak dan sarat filosofi, kue cucur juga punya peran penting dalam sektor ekonomi rakyat. Di banyak daerah, cucur menjadi sumber penghasilan utama—terutama bagi ibu rumah tangga, lansia, dan pelaku UMKM.

Di sebuah kampung di Bogor, ada ibu bernama Bu Nani yang sudah 15 tahun berjualan kue cucur. Setiap pagi pukul 04.00, ia sudah mulai mengaduk adonan. Jam 06.30, dagangannya dijajakan ke sekolah dan pasar. Dalam sehari, ia bisa menjual 150 biji cucur, dengan untung bersih Rp150.000–Rp200.000. Bagi Bu Nani, cucur bukan sekadar bisnis, tapi warisan dari ibunya yang dulu juga menjajakan hal serupa.

Pola usaha seperti ini banyak ditemukan di Indonesia. Bahkan di masa pandemi, kue cucur justru makin naik daun—karena proses pembuatannya tidak bergantung pada alat berat, bisa dikerjakan dari rumah, dan modalnya relatif murah.

Platform digital juga membantu penyebaran cucur. Di Instagram dan TikTok, banyak konten yang memperlihatkan proses membuat cucur dengan latar musik khas daerah. Di marketplace, “kue cucur frozen” bahkan jadi produk yang dicari karena bisa dikirim antarkota.

Dalam konteks ini, cucur bukan lagi sekadar makanan. Ia menjadi bagian dari ekonomi berbasis tradisi—di mana warisan rasa bisa menghidupi, mengedukasi, bahkan membentuk identitas komunitas.

Menjaga Rasa, Merawat Warisan – Masa Depan Kue Cucur di Tengah Arus Globalisasi

Pertanyaan besar: mampukah kue cucur bertahan di tengah gempuran kuliner internasional yang terus berubah-ubah? Jawabannya: iya—asal ada niat dan strategi yang tepat.

Banyak chef muda dan pelaku kuliner yang kini mulai melirik kue-kue tradisional sebagai bahan eksplorasi rasa. Mereka tidak sekadar menjual rasa, tapi juga narasi: kisah masa kecil, teknik turun-temurun, dan nilai filosofi yang tak dimiliki makanan cepat saji.

Bahkan, beberapa sekolah kuliner sudah memasukkan materi “jajanan pasar” ke dalam kurikulum mereka. Artinya, cucur mulai dianggap sebagai bagian penting dari keahlian memasak modern. Tidak lagi dianggap ketinggalan zaman.

Dari sisi branding, cucur juga punya potensi besar. Dengan desain kemasan yang menarik, cerita budaya yang kuat, dan kemudahan distribusi, cucur bisa jadi primadona kuliner oleh-oleh. Bayangkan jika satu hari nanti, kamu bisa membeli “Cucur Betawi Premium” di bandara, atau menemukan “Cucur Bali Frozen Pack” di supermarket nasional.

Tentu, tantangan tetap ada—soal standar produksi, pengemasan, dan adaptasi rasa. Tapi dengan dukungan komunitas, pelaku UMKM, dan pemerintah daerah, kue cucur bisa berkembang menjadi ikon kuliner lokal yang membanggakan.

Penutup: Cucur Bukan Sekadar Camilan—Ia Adalah Warisan yang Harus Dijaga

Saat kamu menggigit cucur, kamu tidak hanya merasakan manisnya gula merah dan legitnya tepung beras. Kamu sedang merasakan bagian kecil dari sejarah kuliner Indonesia, dari tradisi lisan ibu ke anak, dari dapur desa ke pasar kota.

Cucur mengajarkan kita bahwa kelezatan tidak harus mewah. Bahwa kebudayaan bisa hidup dalam bentuk sederhana. Dan bahwa warisan rasa bisa bertahan, selama ada yang bersedia memasak, menjual, dan mencintainya.

Jadi, lain kali kamu melihat kue cucur di pasar atau bazar kuliner, cobalah berhenti sejenak. Lihat bentuknya, hirup aromanya, dan cicipi ceritanya. Karena bisa jadi, di situlah kamu menemukan rasa yang sudah lama hilang—rasa rumah, rasa warisan, rasa Indonesia.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Slitti: Rahasia Cokelat Istimewa & Tips Menikmati Sensasinya!

Author