Fri. Dec 5th, 2025
Kue Rangi

Jakarta, odishanewsinsight.com – Jika kamu pernah berjalan-jalan di gang sempit Jakarta saat sore hari, mungkin kamu akan mendengar bunyi khas: “cet… cet… cet…”. Itu bukan suara sembarangan—itu adalah suara cetakan kayu yang sedang membakar Kue Rangi, salah satu jajanan tradisional paling legendaris dari Betawi.

Bagi sebagian besar orang yang lahir sebelum tahun 2000-an, Kue Rangi bukan sekadar makanan. Ia adalah nostalgia masa kecil, aroma kelapa yang terbakar, dan siraman gula merah yang menempel di ujung lidah. Tapi kini, di tengah gempuran boba, croffle, dan dessert viral TikTok, Kue Rangi mulai tergeser pelan-pelan ke pinggir waktu.

Dulu, di sekitar Pasar Minggu atau Tanah Abang, pedagang Kue Rangi dengan gerobak kayu dan tungku bara bisa ditemui hampir di setiap sudut jalan. Mereka menyiapkan adonan sederhana: tepung sagu aren, kelapa parut kasar, dan sedikit garam. Adonan itu lalu ditekan ke dalam cetakan besi yang mirip wajan kecil dengan sekat-sekat tipis. Setelah matang, aroma gosong kelapanya menyebar ke udara—menggoda siapa pun yang lewat.

Kisah hidup Kue Rangi adalah kisah tentang kesederhanaan. Ia lahir dari keterbatasan bahan, tapi justru menghasilkan cita rasa yang tak bisa ditiru jajanan modern mana pun.

“Kalau nggak gosong sedikit, bukan Kue Rangi namanya,” kata seorang pedagang tua di daerah Jatinegara, sambil tersenyum. Ia sudah 40 tahun berjualan, dan masih percaya bahwa kelezatan sejati ada di kesederhanaan.

Bahan Sederhana, Cita Rasa Kompleks: Filosofi di Balik Kue Rangi

Kue Rangi

Apa yang membuat Kue Rangi begitu unik bukanlah tampilannya, melainkan kombinasi rasa dan tekstur yang tidak bisa ditemukan di kue lain. Gurihnya kelapa berpadu dengan renyahnya pinggiran sagu yang sedikit gosong, lalu disiram dengan saus gula merah kental yang manisnya pas—tidak berlebihan.

Bahan-bahan pembuatnya sangat sederhana:

  • Tepung sagu aren (atau terkadang diganti dengan sagu biasa)

  • Kelapa parut agak kasar

  • Garam secukupnya

  • Gula merah, gula pasir, air, dan sedikit tepung maizena untuk membuat sausnya

Tapi dari bahan sesederhana itu, lahirlah cita rasa yang kaya. Menurut beberapa budayawan kuliner Betawi, Kue Rangi mencerminkan karakter masyarakat Betawi itu sendiri — sederhana, jujur, dan apa adanya. Tak ada polesan mewah, tak butuh topping berlebihan.

Dalam banyak keluarga Betawi, Kue Rangi juga punya nilai sentimental. Dulu, anak-anak yang pulang sekolah sering disambut aroma Kue Rangi dari dapur nenek mereka. Kadang dimakan saat panas-panas, kadang dibiarkan dingin dan keras sedikit — tetap enak.

Di sisi lain, proses pembuatannya memerlukan ketelatenan tinggi. Kalau api terlalu besar, kue akan gosong tapi belum matang. Kalau terlalu kecil, adonan tidak kering dan lembek. Itulah sebabnya para pedagang Kue Rangi tradisional sering disebut “seniman bara”—karena mereka tahu persis kapan harus membalik cetakan agar hasilnya sempurna.

Menariknya, nama “Rangi” sendiri konon berasal dari kata “Rangin”, jajanan serupa dari Jawa Tengah. Namun versi Betawi berbeda: ia menggunakan gula merah cair sebagai topping, bukan hanya kelapa kering.

Pergeseran Zaman: Ketika Kue Rangi Harus Bersaing dengan Dessert Modern

Jakarta tidak pernah berhenti berubah. Dari kota yang dulu dihuni oleh gerobak dan sepeda ontel, kini ia menjadi rumah bagi franchise kopi kekinian, dessert bar, dan pastry artisan. Di tengah semua itu, Kue Rangi nyaris tak terdengar lagi.

Beberapa tahun lalu, data dari komunitas kuliner lokal mencatat bahwa hanya sedikit pedagang Kue Rangi yang masih bertahan di Jakarta Pusat dan Selatan. Bahkan di kawasan seperti Kebayoran dan Menteng, jajanan ini sudah hampir tidak ada.

Generasi muda banyak yang bahkan belum pernah mendengar namanya. Ketika ditanya, sebagian mengira Kue Rangi adalah makanan asing. Ironis, bukan?

Namun masih ada secercah harapan. Beberapa kafe modern mulai mencoba menghidupkan kembali Kue Rangi dengan sentuhan baru — disajikan di piring keramik, diberi saus pandan, atau topping buah tropis. Di media sosial, foto “Kue Rangi Modern” kadang muncul dengan tagar seperti #kulinerjadul #resepbetawi.

Meski puris mungkin mengernyit melihat inovasi ini, justru adaptasi semacam itu penting agar kuliner tradisional tetap hidup. Karena tanpa regenerasi, Kue Rangi bisa benar-benar hilang, dan bersama itu, hilang pula satu bagian dari identitas kuliner Betawi.

Anehnya, di luar negeri, konsep serupa justru populer. Di Jepang, taiyaki—kue ikan isi kacang merah—masih dipertahankan dan bahkan diubah menjadi matcha dessert. Di Korea, hotteok (pancake isi gula cokelat) tetap eksis, bahkan diekspor. Pertanyaannya: kenapa Kue Rangi tidak bisa mendapat kesempatan yang sama?

Jejak Sejarah: Kue Rangi dalam Budaya Betawi

Menurut catatan sejarah kuliner, Kue Rangi sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Ia dulunya dijual bersama kudapan lain seperti kue ape, serabi, dan kue pancong. Namun yang membedakannya adalah tekstur dan saus gula merahnya yang khas.

Dalam budaya Betawi, makanan bukan sekadar konsumsi, tapi bagian dari cara hidup. Setiap kue punya momen sosialnya sendiri. Kue cucur untuk hajatan, kue talam untuk arisan, dan Kue Rangi biasanya muncul di acara kumpul sore hari—semacam teman ngopi atau teh manis.

Kue ini juga dianggap simbol kerukunan. Karena pembuatannya sering dilakukan bersama. Biasanya, ibu-ibu kampung menyiapkan adonan di dapur, sementara bapak-bapak menyiapkan bara arang. Anak-anak kecil menunggu dengan sabar di depan tungku, berharap dapat bagian pertama yang masih panas.

Ada satu anekdot menarik yang diceritakan oleh budayawan Betawi, Alwi Shahab (alm). Dalam sebuah wawancara lama, ia mengatakan:

“Dulu, kalau ada anak nangis sore-sore, orangtuanya suka bilang, ‘Udah, jangan nangis, nanti beli Kue Rangi.’ Begitu diam, karena anak-anak tahu rasanya nggak tergantikan.”

Ungkapan sederhana itu memperlihatkan bagaimana Kue Rangi bukan sekadar makanan, tapi juga kenangan kolektif.

Kini, komunitas budaya Betawi mulai berupaya menghidupkannya kembali. Di acara “Lebaran Betawi” misalnya, Kue Rangi sering dipamerkan sebagai simbol kuliner lokal. Beberapa sekolah di Jakarta bahkan mulai mengajarkan resep Kue Rangi dalam pelajaran prakarya untuk menanamkan rasa cinta terhadap warisan kuliner daerah.

Resep Tradisional: Menjaga Rasa Asli di Tengah Modernisasi

Bagi yang ingin mencoba membuatnya sendiri, resep Kue Rangi tradisional sebenarnya cukup sederhana, tapi kunci utamanya adalah bahan segar dan teknik api.

Bahan:

  • 200 gram tepung sagu aren

  • 150 gram kelapa parut agak kasar (jangan yang muda)

  • ½ sendok teh garam

  • 100 gram gula merah

  • 1 sendok makan gula pasir

  • 1 sendok makan tepung maizena

  • 200 ml air

Cara membuat:

  1. Campur tepung sagu, kelapa, dan garam, aduk rata.

  2. Panaskan cetakan kue pancong atau wajan khusus.

  3. Oles sedikit minyak, masukkan adonan dan tekan dengan sendok agar padat.

  4. Panggang hingga bagian bawahnya agak kecokelatan dan renyah.

  5. Rebus gula merah, gula pasir, dan air hingga mendidih. Tambahkan maizena yang telah dilarutkan untuk mengentalkan saus.

  6. Sajikan Kue Rangi panas dengan siraman saus gula merah di atasnya.

Hasilnya? Wangi kelapa yang terbakar, renyah di luar, lembut di dalam, dan manisnya gula merah yang lengket di lidah. Itulah rasa masa kecil yang jarang bisa dilupakan.

Beberapa versi modern bahkan menambahkan topping seperti cokelat cair atau keju parut. Namun bagi para penggemar klasik, versi asli tetap tak tertandingi—sederhana tapi menggugah nostalgia.

Menjaga Warisan: Kue Rangi dan Identitas Kuliner Jakarta

Kue Rangi adalah bagian dari identitas kuliner Betawi yang semestinya dijaga, bukan hanya karena rasanya, tapi karena nilai sejarah dan budayanya. Dalam setiap potongan Kue Rangi, tersimpan kisah perjuangan masyarakat sederhana, ketulusan dalam membuat makanan, dan hubungan sosial yang erat antarwarga.

Sayangnya, pelestarian kuliner tradisional sering terkendala oleh dua hal: minat generasi muda yang rendah dan minimnya dukungan komersial.

Namun, beberapa komunitas kuliner Jakarta mulai sadar akan hal ini. Misalnya, melalui festival makanan lokal atau gerakan “Kuliner Warisan Nusantara”, Kue Rangi kembali diangkat sebagai simbol Betawi yang patut dibanggakan.

Bayangkan jika setiap daerah di Indonesia mulai memperkenalkan kembali jajan khasnya ke kafe modern atau platform digital. Kue Rangi bisa menjadi versi lokal dari “dessert street food” yang punya daya tarik internasional—karena cita rasanya universal: manis, gurih, dan jujur.

Seorang chef muda Jakarta pernah berkata, “Kalau Prancis bisa bangga dengan crème brûlée, kenapa kita malu dengan Kue Rangi?”
Pertanyaan itu menggugah banyak orang. Karena sejatinya, menjaga Kue Rangi berarti menjaga akar budaya kita sendiri.

Penutup: Rasa yang Tak Pernah Mati

Kue Rangi mungkin tidak seterkenal dulu, tapi setiap kali aromanya tercium, selalu ada kenangan yang ikut hidup kembali. Mungkin dari masa kecil, dari tangan nenek yang sabar membuatnya, atau dari pedagang keliling yang tersenyum di bawah terik matahari.

Dalam dunia kuliner yang serba cepat dan modern ini, Kue Rangi mengajarkan satu hal penting: bahwa cita rasa sejati lahir dari kesederhanaan. Ia tidak butuh kemasan mewah, tidak butuh tren media sosial. Yang ia butuhkan hanya satu hal—orang-orang yang masih mau mengingatnya.

Maka, jika suatu hari kamu berjalan di Jakarta dan melihat pedagang Kue Rangi di pojokan jalan, berhentilah sejenak. Beli satu porsi. Nikmati setiap gigitan. Karena siapa tahu, mungkin itulah kali terakhir kamu mencicipi bagian kecil dari sejarah Betawi yang manisnya tak pernah benar-benar hilang.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Jus Mangga Susu: Minuman Segar dan Bergizi untuk Setiap Hari

Author