JAKARTA, odishanewsinsight.com – Di meja redaksi kuliner, ada satu suara yang selalu muncul saat membahas comfort food global: ramen. Bukan sekadar mie dalam kuah panas, melainkan narasi lengkap tentang teknik, waktu, dan ketekunan. Ada kalimat yang kerap diucapkan penyiar saat menutup segmen malam, bahwa semangkuk ramen yang baik bekerja seperti berita yang akurat — datang hangat, jernih maksudnya, seimbang antara fakta dan rasa.
Ramen memanggil orang dari berbagai latar. Mahasiswa yang mengejar tenggat, pekerja yang pulang larut, keluarga yang merayakan hal kecil, hingga pemburu rasa yang menyusuri kota. Denting sumpit dan helaan napas pertama yang disertai uap harum menjadi bagian dari pengalaman universal.
Namun di balik kesederhanaannya, ramen adalah hasil perhitungan presisi. Kuah yang direbus berjam-jam, mie dengan kadar alkali tertentu, serta minyak aroma yang ditakar hingga tetes terakhir — semuanya menyatu menjadi satu bahasa universal: kenyamanan.
Sejarah Singkat Ramen: Jejak Migrasi, Industri, dan Kreativitas

Ramen lahir dari simpul perjalanan panjang. Ia bermula dari pengaruh Tiongkok, dibawa ke Jepang, kemudian mengalami transformasi lokal hingga menjadi identitas tersendiri. Awalnya sederhana, hanya mie dan kuah, tetapi berkembang menjadi laboratorium rasa. Setiap wilayah menciptakan dialeknya sendiri: Tokyo dengan kuah shoyu yang bersih, Sapporo dengan miso tebal, Hakata dengan tonkotsu berlemak lembut.
Ketika industri makanan mulai masif, ramen memasuki era komersial. Versi instan memperluas jangkauan global, tetapi para koki independen menjaga idealisme: kaldu harus hidup, bukan bubuk. Perpaduan antara disiplin tradisi dan dorongan inovasi membuat ramen tetap relevan di era digital.
Tiga Pilar Rasa Ramen: Kuah, Mie, dan Tare
Ramen berdiri di atas tiga pilar utama — kuah, mie, dan tare.
-
Kuah adalah jiwa; direbus dari tulang, unggas, kombu, dan sayuran hingga menghasilkan kaldu dengan kedalaman rasa.
-
Mie adalah tubuh; elastisitasnya ditentukan oleh kandungan kansui yang memberi gigitan khas.
-
Tare adalah kepribadian; bumbu dasar yang memberi arah rasa, entah asin bersih dari shio, gurih dari shoyu, atau fermentasi kaya dari miso.
Racikan sempurna terjadi ketika ketiganya bersatu dalam harmoni. Beberapa chef bahkan menyebut bahwa menakar tare adalah bagian paling sulit — sedikit saja meleset, keseimbangan rasa bisa berubah total.
Bahan dan Cara Membuat Ramen Otentik
Tidak ada kisah ramen tanpa praktik. Berikut adalah panduan ramen versi otentik Jepang, yang bisa disesuaikan di dapur rumah tanpa kehilangan semangat aslinya.
Bahan Kuah Dasar (Kaldu)
-
1 kg tulang ayam atau tulang babi (bisa kombinasi)
-
1 ekor ayam utuh kecil (jika ingin kuah lebih berlemak lembut)
-
2 batang daun bawang
-
5 siung bawang putih (geprek)
-
1 ruas jahe (iris tipis)
-
1 lembar kombu (rumput laut kering)
-
20 gram ikan kering (opsional, untuk kedalaman rasa umami)
-
3 liter air
BahanTareShoyu (Bumbu Dasar)
-
100 ml kecap asin fermentasi
-
1 sdm mirin (bisa ganti dengan sedikit gula aren)
-
1 sdt minyak wijen
-
1 sdt bawang putih halus
-
1 sdt minyak ayam
Bahan Mie Ramen
-
500 gram tepung terigu protein tinggi
-
5 gram garam
-
5 gram soda kue (pengganti kansui)
-
200 ml air hangat
Topping Populer
-
Telur rebus setengah matang (ajitsuke tamago)
-
Irisan chashu ayam atau sapi
-
Daun bawang iris tipis
-
Nori (lembar rumput laut panggang)
-
Jagung manis rebus
-
Minyak cabai atau bawang goreng (sesuai selera)
Cara Membuat
-
Membuat Kuah Kaldu:
Rebus tulang dan ayam selama 10 menit, buang air pertama untuk menghilangkan kotoran. Tambahkan air baru, jahe, bawang putih, daun bawang, kombu, dan ikan kering. Rebus kecil 4–6 jam hingga kaldu keruh dan pekat. Saring, simpan hangat. -
Membuat Tare:
Campurkan semua bahan dalam panci kecil, panaskan sebentar tanpa mendidih. Dinginkan dan simpan sebagai bumbu dasar. -
Membuat Mie:
Campurkan tepung, garam, dan soda kue. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga kalis. Diamkan 30 menit, gilas tipis, lalu potong memanjang. Rebus mie 1–2 menit sebelum disajikan. -
Perakitan Ramen:
Masukkan 1–2 sdm tare ke dalam mangkuk, tuang kaldu panas di atasnya, aduk ringan. Tambahkan mie rebus, kemudian susun topping. Siram sedikit minyak aroma, lalu nikmati selagi hangat.
Prosesnya panjang, namun hasil akhirnya membawa pemahaman baru: ramen bukan sekadar makanan cepat, melainkan meditasi dalam bentuk kuliner.
Topping dan Tekstur: Lapisan Cerita dalam Satu Mangkuk
Di atas kuah dan mie, topping menambah narasi. Chashu yang lembut, telur ajitsuke dengan kuning lembek berkilau, dan nori yang meleleh di kuah panas — semuanya saling melengkapi. Setiap topping adalah subplot kecil yang menghidupkan mangkuk.
Ketika sendok pertama menyentuh bibir, rasa gurihnya sering membuat orang terdiam sejenak. Kuahnya seperti berita baik di hari panjang: hangat, jujur, dan menenangkan.
Ramen di Indonesia: Adaptasi, Preferensi, dan Peluang
Ramen beradaptasi dengan cepat di Indonesia. Kuah ayam menggantikan babi, sambal menjadi pendamping baru, dan topping bergeser ke smoked beef atau jamur. Gaya lokal muncul: ramen pedas, ramen keju, ramen sambal matah — semua membuktikan fleksibilitasnya.
Namun di balik itu, prinsip dasarnya tetap sama: kaldu yang hidup, keseimbangan rasa, dan kehangatan yang jujur. Industri kuliner bahkan menjadikan ramen sebagai studi kasus keberhasilan adaptasi lintas budaya.
Sains Rasa: Umami, Lemak, dan Suhu
Kekuatan ramen ada di umami. Kombinasi glutamat dari kombu, inosinat dari ayam, dan guanilat dari jamur kering menciptakan harmoni. Lemak menjadi pembawa aroma, menjaga mulut tetap lembut, sementara suhu menentukan keseimbangan. Ramen yang baik selalu disajikan pada titik panas yang tidak membakar lidah, namun cukup untuk menyalakan sensor rasa.
Etiket dan Tempo Menyantap
Seruputan pertama bukanlah sekadar makan, tapi bentuk apresiasi. Di banyak kedai Jepang, “slurp” dianggap pujian bagi koki. Mie harus disantap segera — terlalu lama, teksturnya hilang. Momen paling nikmat biasanya berlangsung singkat, di antara uap dan diam.
Penutup Ramen: Menghargai Proses, Merayakan Sederhana
Ramen mengajarkan kesabaran dan keseimbangan. Ia mengingatkan bahwa rasa terbaik lahir dari proses panjang, bukan improvisasi cepat. Setiap sendok kuahnya adalah catatan waktu, setiap mie adalah kalimat yang dikerjakan dengan hati.
Semangkuk ramen adalah berita baik yang bisa dimakan — hangat, jujur, dan relevan di setiap zaman.
Baca juga konten dengan artikel terkait tentang: Food
Baca juga artikel lainnya: Dendeng Balado: Cita Rasa Legendaris Minang
