Sun. Oct 26th, 2025
Semur Jengkol

Jakarta, odishanewsinsight.com – Di antara ragam kuliner Nusantara, ada satu hidangan yang selalu memicu perdebatan: semur jengkol. Sebagian orang langsung menolak hanya karena aromanya yang tajam, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai makanan istimewa yang tak tergantikan.

Jengkol, atau Archidendron pauciflorum, adalah biji tanaman tropis yang tumbuh subur di Asia Tenggara. Di Indonesia, jengkol sering diolah menjadi beragam masakan, tapi versi semur-lah yang paling populer. Biji jengkol direbus, dimasak lama dengan bumbu semur khas Betawi: bawang merah, bawang putih, pala, ketumbar, kecap manis, hingga rempah-rempah lain. Hasilnya? Daging jengkol jadi empuk, bumbu meresap, dan aroma menyengatnya bertransformasi menjadi harum khas yang bikin lidah bergoyang.

Saya pernah mendengar cerita dari seorang pedagang di Tanah Abang, Jakarta. Katanya, ada pelanggan yang rela antre tiap minggu hanya untuk membeli semur jengkol buat lauk nasi uduk. Si pedagang sampai hafal jam kedatangan si pelanggan, dan ketika ditanya alasannya, jawabannya sederhana: “Nggak ada makanan yang bikin gw inget rumah kayak semur jengkol.”

Di situlah letak keajaiban jengkol. Bukan sekadar soal rasa, tapi juga nostalgia, identitas, bahkan kadang kebanggaan lokal.

Sejarah Singkat dan Asal-Usul Semur Jengkol

Semur Jengkol

Semur sendiri adalah masakan hasil akulturasi budaya. Kata “semur” berasal dari bahasa Belanda smoor yang berarti masakan rebus dengan bumbu kecap dan rempah. Di masa kolonial, masyarakat Betawi memadukan konsep masakan Belanda itu dengan bahan lokal, salah satunya jengkol.

Seiring waktu, semur jengkol menjadi ikon kuliner Betawi. Dalam tradisi Betawi, semur jengkol kerap hadir dalam acara-acara penting seperti lebaran, pesta pernikahan, atau syukuran keluarga. Hidangan ini disajikan berdampingan dengan ketupat, opor ayam, dan sambal goreng ati.

Ada catatan menarik dari seorang peneliti kuliner Indonesia yang menyebut bahwa jengkol dulunya dianggap makanan “kelas bawah” karena bahan utamanya mudah didapat. Namun, seiring popularitasnya, kini jengkol bisa ditemui di restoran-restoran modern, bahkan hotel berbintang. Fenomena ini mirip dengan perjalanan rendang atau gudeg yang dulunya makanan rumahan, kini jadi ikon pariwisata kuliner.

Jengkol juga memiliki jejak lintas budaya. Di Thailand, dikenal dengan nama luk-nieng, biasanya ditumis dengan cabai. Sementara di Malaysia, jengkol lebih sering dimasak pedas dengan sambal. Tapi hanya di Indonesia, ia benar-benar mendapat “panggung” melalui semur.

Filosofi Rasa: Pedas, Manis, dan Pahit yang Menyatu

Mengapa semur jengkol begitu spesial? Jawabannya ada pada perpaduan rasanya yang unik.

  • Manis gurih dari kecap dan bawang.

  • Hangat aromatik dari pala, kayu manis, dan ketumbar.

  • Sedikit pahit alami dari jengkol yang justru menambah karakter.

  • Pedas menggoda dari cabai (jika ditambahkan).

Rasa yang kompleks ini membuat jengkol sering disebut “comfort food” oleh pecintanya. Meski aromanya menyengat, tapi bagi yang terbiasa, justru itulah daya tariknya.

Ada seorang teman yang bercerita pengalaman lucu waktu kos di Depok. Ia pertama kali mencium bau jengkol dari dapur tetangganya dan langsung menutup pintu kamar. Namun, setelah beberapa kali diajak makan semur jengkol bareng, kini ia malah ketagihan. Katanya, “Bau jengkol itu kayak musik dangdut. Awalnya ganggu, lama-lama bikin goyang.”

Nilai Gizi dan Mitos Seputar Jengkol

Selain kontroversi aromanya, jengkol juga sering dikaitkan dengan mitos kesehatan. Banyak orang bilang jengkol bisa menyebabkan gangguan ginjal. Memang benar, jengkol mengandung asam jengkolat yang jika dikonsumsi berlebihan bisa memicu kristal di saluran kencing. Namun, riset menunjukkan bahwa konsumsi wajar dan pengolahan yang tepat (seperti direbus berulang kali) dapat mengurangi risiko ini.

Sebaliknya, jengkol justru punya kandungan gizi menarik:

  • Tinggi protein nabati.

  • Mengandung zat besi, fosfor, dan kalsium.

  • Kaya serat yang baik untuk pencernaan.

Bahkan beberapa ahli gizi menyebut semur jengkol sebagai salah satu alternatif protein nabati murah meriah bagi masyarakat urban.

Sayangnya, aroma khas jengkol memang tidak bisa hilang sepenuhnya. Efek “bau” pada urin setelah mengonsumsinya disebabkan oleh metabolisme senyawa sulfur. Tapi bagi pecinta jengkol, itu harga kecil yang layak dibayar demi kenikmatan jengkol.

Semur Jengkol dalam Kehidupan Sosial dan Budaya

Di banyak daerah, semur jengkol bukan hanya makanan, melainkan bagian dari identitas budaya. Di Jakarta misalnya, jengkol sering dianggap sebagai simbol ke-Betawi-an.

Dalam acara pernikahan adat Betawi, jengkol sering disajikan untuk tamu. Bahkan ada pepatah lokal yang berbunyi, “Belum Betawi kalau belum makan jengkol.”

Menariknya, di kalangan anak muda urban, jengkol kini mulai mendapat “rehabilitasi image”. Jika dulu jengkol dianggap makanan kampung yang memalukan, kini banyak food vlogger dan influencer kuliner justru mengangkatnya sebagai kuliner autentik yang patut dicoba. Konten “coba makan semur jengkol pertama kali” bahkan sering viral di media sosial.

Seorang penulis kuliner di media nasional pernah menulis: “Semur jengkol adalah simbol keberanian: berani mencoba, berani melawan stigma, dan berani menikmati apa yang sebenarnya enak.”

Variasi Resep Semur Jengkol

Meski identik dengan Betawi, variasi semur jengkol cukup beragam di berbagai daerah.

  • Semur Jengkol Betawi. Kaya kecap manis, rempah pala, dan tekstur jengkol yang empuk.

  • Semur Jengkol Sunda. Biasanya lebih pedas karena tambahan cabai rawit.

  • Semur Jengkol Padang. Lebih kental dengan santan dan rempah kuat.

  • Semur Jengkol Modern. Beberapa chef kreatif menambahkan topping seperti keju atau smoked beef, agar lebih diterima generasi muda.

Ada cerita lucu dari seorang chef di Jakarta yang mencoba membuat jengkol ala fusion untuk menu hotel bintang lima. Awalnya para tamu ragu, tapi setelah mencicipi, banyak yang bilang rasanya unik dan justru jadi pengalaman kuliner tak terlupakan.

Tips Mengolah Jengkol agar Empuk dan Tidak Bau

Bagi yang ingin mencoba membuat jengkol sendiri di rumah, ada beberapa trik yang biasa digunakan para ibu rumah tangga:

  1. Rebus Berulang Kali. Rebus jengkol beberapa kali, buang air rebusannya, untuk mengurangi aroma tajam.

  2. Gunakan Daun Salam dan Kopi. Merebus dengan daun salam atau bubuk kopi dipercaya bisa membantu mengurangi bau.

  3. Geprek Sebelum Masak. Setelah direbus, jengkol biasanya digeprek agar lebih empuk dan bumbu semur meresap.

  4. Masak dengan Api Kecil. Proses memasak lama dengan api kecil membuat bumbu lebih meresap sempurna.

Kesimpulan: Semur Jengkol, Cinta atau Benci yang Menyatukan

Semur jengkol adalah contoh nyata bagaimana kuliner bisa memicu perdebatan sekaligus menyatukan orang. Aromanya memang menyengat, tapi di balik itu ada kekayaan rasa, sejarah panjang, dan identitas budaya yang tidak bisa diabaikan.

Bagi sebagian orang, semur jengkol adalah nostalgia masa kecil, bagi sebagian lain adalah pengalaman kuliner ekstrem. Tapi satu hal yang jelas: jengkol adalah bagian penting dari khazanah kuliner Nusantara yang patut kita lestarikan.

Mungkin benar apa yang dikatakan seorang penikmat setia semur jengkol di sebuah wawancara media: “Kalau hidup itu pilihan, jengkol adalah pilihan yang berani. Dan saya memilih menikmatinya.”

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Asinan Betawi: Warisan Kuliner Jakarta Tak Lekang oleh Waktu

Author