Jakarta, odishanewsinsight.com – Bayangkan sebuah malam musim dingin di Tiongkok ribuan tahun lalu. Angin dingin menusuk, dan para nelayan di tepian Sungai Yangtze menyalakan tungku kecil, lalu memasak potongan daging dengan kuah mendidih yang diberi bumbu sederhana. Dari sanalah, kisah hot pot lahir.
Hot pot, atau yang sering disebut huo guo di Tiongkok, pada awalnya bukan makanan mewah. Ia adalah solusi sederhana bagi masyarakat kelas pekerja yang butuh energi ekstra di tengah cuaca ekstrem. Kuah panas menjadi “penyelamat”, sekaligus medium untuk memasak bahan apa pun yang tersedia—daging, sayuran liar, hingga jeroan.
Seiring berjalannya waktu, hot pot berkembang menjadi ikon kuliner Tiongkok. Di abad ke-17, hot pot mulai populer di kalangan bangsawan Dinasti Qing. Kala itu, panci besar berisi kaldu diletakkan di tengah meja, dan para tamu istana memasukkan bahan pilihan mereka ke dalamnya. Sensasi makan bersama inilah yang kemudian menjadikan hot pot bukan sekadar makanan, melainkan sebuah tradisi sosial.
Kini, hot pot hadir dalam berbagai versi modern. Restoran hot pot kelas internasional menyajikan pilihan kuah beragam—dari pedas khas Sichuan, kaldu jamur yang lembut, hingga tom yum Thailand. Yang menarik, konsep “memasak di meja sendiri” tetap dipertahankan, menciptakan pengalaman interaktif yang jarang ditemukan dalam kuliner lain.
Ragam Kuah Hot Pot: Dari Pedas Membara hingga Lembut Menenangkan

Salah satu daya tarik utama hotpot adalah kuah—jantung dari pengalaman kuliner ini. Setiap daerah di Asia memiliki ciri khasnya.
-
Hot Pot Sichuan: Terkenal dengan cabai kering dan lada Sichuan yang menimbulkan sensasi mati rasa di lidah (mala). Bagi pecinta pedas, ini adalah surga.
-
Hot Pot Beijing: Lebih ringan, menggunakan kaldu daging sapi atau kambing, biasanya dinikmati dengan saus wijen sebagai pendamping.
-
Shabu-Shabu Jepang: Versi Jepang yang cenderung lebih “clean”. Kuahnya ringan, hanya dari kombu (rumput laut), lalu disantap dengan saus ponzu atau goma dare (saus wijen).
-
Tom Yum Thailand: Perpaduan segar dan pedas dengan aroma serai, daun jeruk, dan cabai. Cocok bagi mereka yang suka cita rasa asam pedas.
-
Hot Pot Korea (Jeongol): Menggunakan gochujang (pasta cabai merah khas Korea) untuk menciptakan rasa gurih pedas yang mendalam.
Tidak berlebihan jika kuah hotpot dianggap sebagai identitas. Seseorang bisa tahu dari mana asal sebuah hot pot hanya dengan mencicipi kuahnya. Seperti kopi yang punya karakter berbeda di tiap negara, begitu pula hotpot dengan kuahnya yang khas.
Filosofi Sosial di Balik Hot Pot: Lebih dari Sekadar Makan Bersama
Hot pot bukan sekadar kuliner; ia adalah ritual kebersamaan. Saat panci kuah panas diletakkan di tengah meja, semua orang—keluarga, sahabat, bahkan rekan kerja—berkumpul untuk memasak dan menyantap bersama.
Banyak yang percaya, hotpot membawa filosofi tentang kesetaraan. Tidak ada hidangan individu yang “eksklusif”. Semua bahan dicelupkan ke kuah yang sama, lalu dinikmati bersama. Momen itu menciptakan percakapan hangat, tawa, dan cerita yang mungkin tak muncul jika makan sendiri-sendiri.
Seorang mahasiswa asal Bandung pernah bercerita: “Waktu pertama kali coba hot pot bareng teman-teman, rasanya kayak lupa waktu. Kita ngobrol, ketawa, rebutan bakso ikan di panci, sampai nggak sadar kuahnya udah tinggal separuh. Itu bukan cuma soal makan, tapi soal bonding.”
Tak heran jika banyak keluarga modern di Asia, termasuk Indonesia, mulai menjadikan hotpot sebagai pilihan untuk makan malam akhir pekan. Dengan konsep do-it-yourself, setiap orang bebas memilih bahan favoritnya. Ada yang sibuk merebus daging wagyu tipis, ada pula yang lebih suka menikmati jamur enoki atau tahu. Semua bisa berbagi satu panci, tapi tetap punya pengalaman berbeda.
Tren Hot Pot di Indonesia: Dari Restoran Mewah hingga Warung Kekinian
Di Indonesia, tren hot pot mulai booming dalam satu dekade terakhir. Restoran besar asal Tiongkok dan Korea masuk ke pusat-pusat perbelanjaan, menawarkan pengalaman makan dengan konsep all-you-can-eat.
Nama seperti Haidilao atau Shabu Hachi sudah tidak asing di telinga pencinta kuliner. Di sana, pengunjung bisa menikmati ratusan pilihan bahan, dari daging premium hingga seafood segar, dengan harga paket tertentu. Bahkan ada layanan hiburan tambahan—seperti atraksi “mie tarik” atau sambutan hangat dari staf yang membuat pengalaman makan terasa istimewa.
Namun, tidak hanya restoran kelas atas yang mempopulerkan hot pot. Kini, banyak kafe kekinian hingga warung sederhana mulai mengadaptasi konsep ini. Ada yang menyajikan hotpot mini untuk satu orang dengan harga terjangkau, lengkap dengan pilihan kuah lokal seperti kuah soto atau kuah kari.
Faktor lain yang membuat hot pot populer di Indonesia adalah budaya nongkrong. Makan hotpot membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan makan biasa, sehingga cocok untuk acara kumpul bersama teman. Apalagi, konsep “memasak sendiri di meja” memberi rasa kepuasan tersendiri, seolah-olah setiap pengunjung menjadi koki dadakan.
Hot Pot dan Inovasi Masa Depan: Dari Robot hingga Plant-Based
Seiring berkembangnya teknologi dan gaya hidup sehat, hot pot juga ikut beradaptasi. Beberapa restoran di Tiongkok dan Jepang sudah mulai menggunakan robot pelayan untuk mengantarkan bahan makanan ke meja pelanggan. Ada pula yang menghadirkan panci hotpot dengan sistem otomatis yang bisa menjaga suhu stabil tanpa perlu sering diaduk.
Selain teknologi, tren plant-based food juga memengaruhi dunia hotpot. Banyak restoran kini menyediakan daging tiruan berbasis kedelai atau jamur bagi vegetarian. Kuah kaldu sayuran pun semakin bervariasi, mulai dari kaldu jagung manis, tomat segar, hingga kuah herbal untuk kesehatan.
Bahkan, beberapa startup kuliner di Indonesia mulai menjual paket hotpot instan. Satu kotak berisi kuah siap saji, bahan kering, hingga saus celup. Tinggal ditambah sayuran segar dari rumah, siapa pun bisa menikmati hotpot tanpa harus keluar rumah.
Kesimpulan: Hot Pot, Lebih dari Sekadar Makanan
Pada akhirnya, hot pot bukan hanya tentang kuah pedas atau irisan daging tipis yang meleleh di mulut. Ia adalah pengalaman kolektif, di mana makanan menjadi medium untuk mempererat hubungan.
Dari tepi sungai di Tiongkok kuno hingga meja makan modern di Indonesia, hotpot membuktikan bahwa makanan bisa melintasi budaya, waktu, dan jarak. Ia mengajarkan bahwa yang membuat makanan istimewa bukan hanya rasa, tapi juga cerita, momen, dan kebersamaan yang terjalin di sekitarnya.
Bagi banyak orang, hotpot adalah simbol kehangatan. Dan bagi generasi muda, ia adalah bagian dari gaya hidup modern—santai, interaktif, dan penuh rasa.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Corn Dog Mozzarella: Tips Membuat Keju Lumer Sempurna
