AKARTA, odishanewsinsight.com – Ketika membicarakan kuliner Indonesia, kita selalu kembali pada satu hal: rasa nostalgia. Ada makanan yang membuat kita teringat rumah, masa kecil, atau momen-momen sederhana yang ternyata punya tempat besar di hati. Salah satu yang paling sering disebut orang saat bicara kuliner yang bikin rindu adalah kue lumpur. Lembut, wangi santan, manisnya pas, dan selalu berhasil membuat siapa pun berhenti sejenak hanya untuk menikmatinya pelan-pelan.
Sebagai pembawa berita yang kerap meliput ragam kuliner tradisional, saya melihat bagaimana kue lumpur tidak pernah benar-benar “hilang”. Bahkan di tengah derasnya gelombang pastry modern, dessert ala Barat, dan minuman kekinian yang datang dan pergi, kue lumpur tetap bertahan seperti tamu setia yang tidak pernah absen di meja keluarga Indonesia.
Dalam artikel ini, saya mengajak Anda menyelami kisah panjang kue lumpur. Kita akan menelusuri asalnya, proses pembuatannya, nilai budayanya, dan bagaimana kue sederhana ini menjadi simbol kecil dari kehangatan Indonesia.
Jejak Asal Kue Lumpur dan Cerita yang Jarang Dibahas

Jika Anda bertanya kepada pedagang kue basah di pasar tradisional tentang asal-usul kue lumpur, kebanyakan akan menjawab hal yang sama: mereka juga tak sepenuhnya tahu. Bahkan beberapa mengucapkannya sambil tertawa kecil. “Pokoknya dari dulu sudah ada,” kata seorang pedagang di sebuah pasar di Surabaya ketika saya menanyakan hal itu beberapa waktu lalu.
Namun, penelusuran mendalam mengarah pada satu teori yang sering dibicarakan oleh peneliti kuliner. Beberapa ahli meyakini bahwa kue lumpur memiliki pengaruh dari kolonial Portugis. Dari bahan dasarnya yang menggunakan kentang atau ubi, mentega, telur, dan santan, terlihat pola resep yang mirip dengan hidangan dessert Eropa yang masuk ke Nusantara ratusan tahun lalu. Lama-kelamaan, masyarakat lokal menyesuaikannya, menambahkan sentuhan Nusantara seperti santan dan vanila, sampai terciptalah rasa yang kita kenal sekarang.
Dalam acara-acara tradisional di Jawa dan Madura, kue lumpur menjadi salah satu sajian wajib. Ada yang meyakini bahwa tekstur lembutnya melambangkan kerendahan hati dan kehangatan keluarga. Ini menarik, karena banyak kuliner tradisional Indonesia memang tidak sekadar makanan—ia adalah simbol.
Saya pernah bertemu seorang nenek di Madiun yang berkata bahwa dulu, kue lumpur selalu dibuat saat cucu-cucunya pulang kampung. Katanya, “Kalau mereka makan kue lumpur, saya tahu mereka masih ingat rumah.” Ada sesuatu yang manis, bukan hanya dari kue itu sendiri, tapi dari cerita yang dibangun di sekelilingnya.
Mengenal Karakter Rasa Kue Lumpur yang Selalu Bikin Kangen
Dalam dunia kuliner, rasa bicara lebih keras daripada bentuk atau tren. Itulah kekuatan kue lumpur. Teksturnya lembut, bahkan hampir seperti puding padat. Saat dikunyah, kue ini seperti langsung meleleh di lidah. Santannya memberikan aroma harum yang khas, sementara mentega menambah kesan “buttery” yang elegan.
Para penjual tradisional sering mengatakan bahwa kue yang enak itu tidak boleh terlalu manis. Manisnya harus sekadar mempertegas rasa, bukan mendominasi. Sebuah keseimbangan sederhana yang ternyata jauh lebih sulit dicapai dibanding kelihatannya.
Aromanya juga penting. Banyak pedagang menggunakan vanila bubuk lokal, meski beberapa yang modern mulai memakai pasta vanila. Ada pula yang menambahkan sedikit pandan untuk aroma yang lebih segar. Namun, inti dari kue lumpur tetap sama: wangi lembut yang terasa seperti aroma dapur rumah pada pagi hari.
Di beberapa daerah, topping kue lumpur sedikit berbeda. Ada yang menambahkan kismis, ada yang menaruh irisan kelapa muda, ada pula yang meletakkan potongan nangka di atasnya. Ini mencerminkan satu hal: kue adalah kue yang fleksibel, tetapi tidak kehilangan identitasnya.
Di era kuliner fusion seperti sekarang, kue lumpur bahkan mengalami modifikasi kecil. Saya pernah melihat versi modernnya di sebuah pameran kuliner: kue lumpur rasa matcha, cokelat, dan kopi. Mungkin puris akan mengernyitkan dahi, tetapi inovasi seperti ini justru menunjukkan bahwa kue lumpur masih dianggap relevan dan “worth to reinvent.”
Proses Pembuatan Kue Lumpur yang Membutuhkan Kesabaran dan Detail
Meski terlihat sederhana, membuat kue lumpur yang benar-benar enak bukan perkara sepele. Banyak pembuat kue rumahan yang mengaku butuh beberapa kali percobaan sebelum menemukan konsistensi yang pas. Kuncinya adalah kesabaran, ketelitian, dan tentu saja bahan yang berkualitas.
Proses dimulai dengan menghaluskan kentang kukus hingga benar-benar lembut. Ini penting karena sedikit saja ada gumpalan, tekstur kue bisa terasa kasar. Setelah itu bahan lain seperti telur, gula, santan, dan mentega dilelehkan dicampur dalam satu adonan yang harus diaduk konsisten. Beberapa pembuat kue mengatakan bahwa adonan yang sempurna harus “jatuh pelan” dari sendok saat diangkat.
Kunci berikutnya adalah panas. Cetakan kue lumpur biasanya terbuat dari besi dan harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum adonan dimasukkan. Jika terlalu panas, bagian bawah kue bisa gosong sementara bagian atas belum matang. Jika terlalu dingin, kue akan sulit mengembang alami. Di sinilah keahlian seorang pembuat kue lumpur diuji—mereka perlu memahami “rasa” dari cetakan besi mereka sendiri.
Ada satu anekdot menarik dari seorang pembuat kue di Sidoarjo. Ia pernah berkata, “Cetakan kue lumpur itu kayak teman. Kalau sudah lama dipakai, kita tahu cara dia bekerja.” Ada kedekatan antara pembuat dan peralatan yang hanya terbentuk setelah bertahun-tahun membuat kue yang sama.
Ketika matang, kue harus bertekstur lembut dan lembab. Tidak boleh terlalu kering. Bahkan, para penjual yang berpengalaman bisa menilai kualitasnya hanya dari tekanan kecil di permukaan kue.
Mata Generasi Muda — Apakah Masih Relevan?
Membahas kuliner tradisional hari ini sama saja dengan membahas masa depan. Pertanyaan besarnya selalu sama: apakah generasi muda masih peduli?
Kue lumpur ternyata masih memiliki tempat di hati Gen Z dan milenial, meskipun mungkin tidak sepopuler kue pastel atau brownies. Banyak UMKM kuliner yang mulai mengemas kue dengan pendekatan modern. Ada yang menjualnya dalam box mini, ada yang membuat versi premium dengan bahan organik, dan ada pula yang memasarkan lewat media sosial dengan gaya visual kekinian.
Di festival kuliner kota besar, kue sering menjadi salah satu menu nostalgia yang dicicipi pengunjung setelah menikmati makanan modern. Ada sensasi “Oh, aku kangen ini,” yang muncul dengan spontan. Kue lumpur memancing memori, dan memori adalah hal yang manusiawi.
Saya pernah berbincang dengan seorang pemilik katering kecil di Bandung yang mengatakan bahwa pemesanan kue lumpur justru meningkat untuk acara formal modern seperti seminar dan launching produk. Katanya, “Orang suka sesuatu yang lembut dan familiar. Kue lumpur itu aman tapi spesial.”
Ini menunjukkan satu hal penting: makanan tradisional tidak selalu harus berlomba dengan makanan modern. Kadang, cukup berdiri sebagai dirinya sendiri—dan kue lumpur melakukan itu dengan baik.
Simbol Hangatnya Kuliner Indonesia
Mungkin terdengar berlebihan, tetapi kue lumpur memang punya tempat khusus dalam identitas kuliner Indonesia. Tidak seperti beberapa makanan tradisional yang memiliki sejarah heroik atau keterkaitan dengan peristiwa besar, kue lebih sederhana. Ia adalah kue rumahan, kue pasar, kue penuh kenangan.
Kelembutannya mencerminkan karakter masyarakat Indonesia yang hangat. Sederhana tapi penuh makna. Tidak berlebihan tapi berkesan. Kue lumpur tidak pernah mengubah resepnya secara radikal, dan itu justru membuatnya dicintai lintas generasi.
Dalam banyak liputan kuliner saya, kue lumpur sering muncul sebagai bagian dari narasi besar tentang makanan Indonesia yang pelan-pelan mendapat apresiasi dunia. Beberapa chef Indonesia bahkan mulai memperkenalkan kue dalam konteks dessert fine dining—mereka memadukannya dengan rasa jeruk bali, saus gula aren, atau es krim kelapa. Ini bukan sekadar modernisasi, tetapi penghargaan.
Ketika melihat kue tersaji di meja tamu atau dibungkus rapi dalam kotak oleh-oleh, kita seperti diingatkan pada nilai paling dasar dari kuliner: menghubungkan manusia.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Puding Ubi: Kisah Manis dari Dapur Nusantara yang Semakin Naik Kelas dalam Dunia Kuliner Modern
