Jakarta, odishanewsinsight.com – Asap tipis mengepul dari atas wajan besar di sebuah dapur semi-terbuka. Di sana, seorang ibu bernama Lourdes tengah mengaduk-aduk potongan ayam goreng bekas yang sudah dibumbui ulang. “Ini akan habis dalam sejam,” katanya sambil tersenyum tipis. Ia tak sedang bercanda. Di balik asap dan bumbu, ada satu kenyataan pahit yang tak banyak diketahui orang luar: makanan yang dimasaknya adalah sisa dari tempat sampah restoran cepat saji.
Inilah yang dikenal dengan pagpag food. Pagpag bukan nama makanan khas atau tren kuliner baru. Kata “pagpag” dalam bahasa Tagalog berarti “mengibaskan debu”—sebuah istilah yang menggambarkan cara masyarakat miskin di Filipina mengais kembali makanan bekas, membersihkannya, lalu memasaknya ulang untuk dikonsumsi atau dijual.
Topik ini bukanlah bahan obrolan ringan. Ia mengandung sisi ekonomi, sosial, budaya, bahkan spiritualitas manusia dalam bertahan hidup. Dalam artikel ini, kita akan menyelami dunia pagpag food dari berbagai sisi: dari akar masalah, dinamika sosial yang melingkupinya, hingga refleksi tentang ketimpangan dan harapan.
Karena percaya atau tidak, Pagpag Food bukan cuma soal perut. Tapi tentang sistem yang tak pernah benar-benar berhasil membuat semua orang bisa makan layak.
Apa Itu Pagpag Food? Definisi yang Mengiris Nurani
Secara harfiah, pagpag adalah istilah untuk menyebut makanan bekas buangan—biasanya dari restoran cepat saji—yang dikumpulkan dari tempat sampah, dibersihkan (atau dikibaskan), dimasak ulang, dan kemudian dikonsumsi kembali oleh masyarakat kurang mampu, khususnya di wilayah kumuh kota besar seperti Manila.
Biasanya, makanan yang dipagpag adalah:
-
Ayam goreng dari gerai cepat saji yang sudah dibuang
-
Nasi yang tercecer atau sisa piring pelanggan
-
Burger atau daging olahan bekas
-
Sisa sayur dari buffet atau kantin karyawan
Prosesnya bisa bikin bulu kuduk berdiri. Makanan sisa ini dikumpulkan dari tempat pembuangan, dipilah (mana yang masih “layak”), kemudian dimasak ulang dengan banyak bumbu. Tujuannya tentu: menutupi rasa aslinya, memperpanjang usia makanan, dan menghilangkan (atau setidaknya mengurangi) risiko penyakit.
Pagpag sering dijual di pasar informal. Harganya murah, sekitar 20–30 peso (sekitar Rp5.000). Dalam satu hari, seorang pedagang bisa menjual belasan hingga puluhan bungkus Pagpag Food. Pembelinya? Bukan hanya pemulung. Kadang buruh kasar, tukang becak, bahkan ibu rumah tangga.
Pagpag adalah kuliner dalam arti ekstrem. Ia bukan makanan khas, bukan warisan budaya. Tapi bentuk paling mentah dari upaya manusia bertahan hidup di tengah kelaparan dan ketimpangan.
Mengapa Pagpag Bisa Ada? Soal Sistem, Kemiskinan, dan Sampah Berlebih
Pagpag bukan muncul begitu saja. Ia adalah jawaban brutal dari sebuah ekosistem yang gagal. Ketika kebutuhan pokok tidak tercukupi, manusia akan mencari jalan sendiri.
a. Kemiskinan Struktural
Filipina adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Asia Tenggara. Tapi seperti di banyak negara berkembang lain, pertumbuhan ini tidak merata. Di balik gedung tinggi dan mall modern, ada kawasan kumuh di pinggiran kota yang hidup dari sisa-sisa.
Menurut data statistik pemerintah Filipina, jutaan orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di kawasan seperti Tondo atau Payatas, akses ke makanan layak adalah kemewahan.
Bagi banyak keluarga, Pagpag Food bukan pilihan. Tapi satu-satunya opsi. Setiap hari adalah kalkulasi antara makan makanan bekas atau tidak makan sama sekali.
b. Sistem Sampah yang Tidak Terkelola
Restoran cepat saji membuang makanan dalam jumlah besar setiap hari. Prosedurnya ketat: jika makanan tak terjual dalam waktu tertentu, harus dibuang. Bukan didonasikan. Alasan utamanya adalah hukum dan standar keamanan pangan.
Ironisnya, makanan yang dibuang seringkali masih dalam kondisi utuh, hanya karena telah melewati “jam layak jual”. Di sinilah para pemulung memungut pagpag. Mereka tahu jam buang makanan di restoran tertentu, lalu datang malam-malam untuk “memanen” makanan bekas.
c. Budaya Bertahan Hidup
Di banyak negara, budaya konsumsi sangat dipengaruhi oleh kelangkaan dan konteks. Sama seperti budaya makan kepala ikan di Jepang (dulu simbol kemiskinan, kini mewah), pagpag adalah manifestasi dari budaya bertahan.
Masyarakat terbiasa memasak Pagpag Food dengan cara yang “aman” menurut mereka: digoreng, dimasak lama, ditambahkan banyak bumbu pedas dan asam. Harapannya, kuman mati dan rasa basi tertutupi.
Pagpag mungkin tidak layak secara standar WHO. Tapi ia dianggap cukup layak oleh mereka yang tak punya pilihan.
Risiko Kesehatan dan Moral: Ketika Perut Tak Bisa Menunggu Etika
Makan pagpag bukan tanpa risiko. Beberapa laporan media lokal dan internasional pernah menyoroti kasus infeksi saluran pencernaan, keracunan makanan, dan bahkan infeksi bakteri E. coli akibat konsumsi makanan sisa.
Tapi yang menarik: sebagian besar masyarakat yang mengonsumsi Pagpag Food mengaku belum pernah sakit karena makanan itu. Ada dua kemungkinan:
-
Faktor adaptasi biologis: Tubuh mereka mungkin sudah terbiasa dengan lingkungan mikroba.
-
Faktor psikologis: Keinginan untuk bertahan hidup membuat rasa takut akan risiko jadi minor.
Di sisi lain, isu moral juga muncul. Apakah restoran yang membuang makanan berlebihan bisa disalahkan? Ataukah sistem distribusi pangan kita yang salah?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak punya jawaban hitam-putih. Tapi satu hal jelas: selama masih ada orang yang harus makan dari tempat sampah, maka ada sesuatu yang sangat salah dengan sistem yang kita banggakan.
Pagpag Sebagai Cermin Ketimpangan: Refleksi untuk Kita Semua
Pagpag bukan cerita eksotis dari negara tetangga. Ia bisa—dan mungkin sudah—terjadi juga di tempat lain, termasuk Indonesia. Konsep dasarnya ada: kemiskinan, kelebihan sampah makanan, dan sistem yang tidak memadai.
a. Indonesia dan Potensi Pagpag
Indonesia membuang 23–48 juta ton makanan setiap tahun (menurut Bappenas). Di sisi lain, 27 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan atau sangat rentan terhadapnya. Artinya? Kita tidak kekurangan makanan. Kita kekurangan distribusi yang adil.
Di beberapa tempat, praktik “ngemis makanan dari tempat sampah restoran” memang sudah terjadi, meski belum diberi nama seikonik pagpag. Tapi fenomena dasarnya sama: ketika kelaparan bertemu sisa makanan, terjadi adaptasi sosial yang ekstrem.
b. Tanggung Jawab Sosial dan Solidaritas
Pagpag Food adalah alarm. Ia menyadarkan kita bahwa tanggung jawab sosial bukan hanya soal donasi saat bencana. Tapi soal menata sistem pangan, memperbaiki sistem distribusi, dan membangun solidaritas nyata—bukan sekadar empati digital.
Kita bisa:
-
Mendorong gerakan food rescue dari restoran dan hotel
-
Mengatur donasi makanan lewat aplikasi terverifikasi
-
Mendidik tentang food waste dan ketahanan pangan
-
Memastikan regulasi melindungi masyarakat miskin dari praktik makan berisiko
Apakah Ada Harapan di Tengah Pagpag Food?
Pagpag tidak boleh jadi normalitas. Tapi menolaknya tanpa memberi alternatif adalah bentuk kekejaman terselubung.
Beberapa organisasi di Filipina telah mulai bergerak:
-
Ada komunitas yang mengumpulkan makanan layak pakai dari supermarket untuk dibagikan ulang secara terorganisir.
-
Ada inisiatif yang memproduksi makanan bergizi dari sisa sayur yang “tak cantik” secara estetika tapi masih segar.
-
Pemerintah pun mulai mempertimbangkan kerjasama dengan platform teknologi untuk meminimalisasi food waste.
Di Indonesia, gerakan seperti FoodCycle, Bangsawan (Bank Sampah Makanan), hingga inisiatif lokal dari komunitas masjid dan gereja mulai menjembatani kesenjangan pangan.
Tapi itu belum cukup.
Kita butuh lebih dari sekadar gerakan moral. Kita butuh sistem. Butuh regulasi yang memungkinkan restoran mendonasikan makanan tanpa takut dituntut. Butuh infrastruktur distribusi yang cepat, efisien, dan terorganisir. Dan butuh pemahaman bahwa makanan bukan komoditas semata—tapi hak dasar manusia.
Penutup: Pagpag Food Adalah Cerita Tentang Kita Semua
Di balik potongan ayam yang dihangatkan ulang, ada cerita tentang kemiskinan yang membatu, sistem yang menua, dan manusia yang tak mau menyerah pada nasib. Pagpag Food bukan hanya makanan. Ia adalah narasi panjang tentang ketimpangan, tentang kreativitas, dan tentang keputusasaan yang dibungkus dengan bumbu seadanya.
Kita bisa menertawakannya, menjijikkannya, atau mengabaikannya. Tapi semakin kita menghindari kenyataan ini, semakin kita membiarkan sistem yang cacat terus berjalan.
Jadi lain kali kamu melihat sisa makanan di piringmu—jangan buang begitu saja. Karena di tempat lain, seseorang mungkin sedang membungkuk di dekat tong sampah, berharap menemukan potongan kecil dari makanan seperti itu.
Pagpag mengingatkan kita: bahwa lapar adalah hal paling manusiawi. Dan cara kita menanggapinya, adalah cermin dari kemanusiaan itu sendiri.
Baca Juga Artikel dari: Sayur Gangan Babai: Cita Rasa Tradisional yang Menggugah Selera
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food