JAKARTA, odishanewsinsight.com – Ada sesuatu yang selalu membuat saya tersenyum ketika mendengar kata puding ubi. Mungkin karena aromanya yang hangat selalu mengingatkan pada dapur masa kecil. Atau mungkin karena hidangan ini menjadi bukti bahwa makanan tradisional Indonesia tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya menunggu momen untuk bersinar kembali. Sebagai pembawa berita yang sering meliput dunia kuliner, saya percaya bahwa makanan sederhana seperti puding ubi justru punya kekuatan cerita yang lebih kuat dibanding hidangan-hidangan mewah yang fotonya memenuhi media sosial setiap hari.
Dalam beberapa tahun terakhir, puding ubi kembali muncul sebagai primadona baru. Ia bukan lagi sekadar makanan rumahan, melainkan kreasi kuliner yang tampil cantik di kafe-kafe modern. Apa yang dulu disajikan di atas piring enamel kini hadir dalam jar bening, kotak premium, bahkan plating artistik yang membuatnya terlihat elegan. Dan menariknya, daya tarik puding ubi bukan hanya soal tampilan, tetapi juga soal sejarah kecil yang ia bawa.
Saya jadi teringat pada satu momen ketika mengunjungi sebuah UMKM kuliner di pinggiran kota. Pemiliknya—seorang perempuan muda yang baru merintis usaha—bercerita bahwa ia memilih puding ubi sebagai menu utama karena ingin mengangkat kembali bahan lokal. “Ubi itu punya cerita, punya karakter,” katanya sambil tertawa kecil. “Tinggal kita saja yang kadang lupa menghargainya.”
Puding Ubi dan Jejak Rasa Nusantara yang Tak Pernah Pudar

Puding ubi sering dianggap sebagai makanan sederhana. Namun justru di balik kesederhanaan itulah ada nilai keautentikan yang kuat. Bahan dasarnya tidak rumit: ubi, santan, gula, sedikit tepung, dan kadang tambahan aroma seperti pandan atau vanila. Tapi yang membuatnya istimewa adalah rasa earthy dari ubi yang memberikan pengalaman makan yang sangat khas Nusantara.
Di beberapa daerah, puding ubi bahkan memiliki bentuk dan versi berbeda. Ada yang teksturnya padat seperti agar lembut, ada yang lebih creamy seperti dessert modern, ada pula yang dibuat dengan campuran ubi ungu sehingga warnanya mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya.
Saya pernah mencicipi puding ubi dari pedagang kaki lima di sebuah pasar pagi. Teksturnya tidak sempurna—sedikit menggumpal di bagian bawah, entah terlalu cepat diangkat atau terlalu rendah apinya. Tapi rasanya, justru jauh lebih enak daripada versi yang tampil rapi di restoran. Manisnya pas, wangi santannya terasa, dan warna ubinya begitu alami. Rasanya seperti pulang ke rumah setelah sekian lama merantau.
Itulah kekuatan puding . Ia bukan makanan yang ingin terlihat mewah. Ia hanya ingin jujur apa adanya. Dan justru karena kejujurannya, banyak orang kembali jatuh cinta.
Tren Puding Ubi: Dari Dapur Tradisional ke Kafe Modern
Siapa sangka puding ubi yang dulu dianggap hidangan “jadul” kini sering menghiasi feed kuliner anak muda? Perubahan ini bukan tanpa alasan. Dunia kuliner memang sedang berada di era eksplorasi bahan lokal. Banyak koki dan kreator konten makanan mencoba memodernisasi resep tradisional agar diterima generasi baru.
Puding ubi menjadi salah satu bintang dalam tren ini karena fleksibilitasnya. Ia bisa diolah menjadi berbagai variasi tanpa kehilangan karakter utamanya.
Beberapa foodpreneur bahkan bereksperimen dengan perisa modern seperti tiramisu, matcha, cokelat premium, dan kopi. Hasilnya cukup mengejutkan. Saya pernah mencoba puding ubi ungu dengan lapisan mousse matcha. Secara visual, kombinasi warnanya memanjakan mata. Secara rasa? Tidak terduga—ubi ungu yang lembut ternyata berpadu manis dengan aroma matcha yang earthy.
Kreativitas ini membuktikan bahwa puding ubi tidak kalah fleksibel dibanding dessert berbahan dairy atau cokelat. Bahkan, kesederhanaan rasa ubilah yang membuatnya mudah diangkat menjadi hidangan premium.
Saat meliput sebuah festival kuliner, saya bertemu dengan seorang chef muda yang menjelaskan bahwa puding bisa menjadi jembatan antara budaya makan generasi baru dan akar kuliner Indonesia. “Ini makanan yang bisa kamu bawa ke masa depan tanpa kehilangan masa lalu,” katanya. Ucapannya terbukti benar.
Proses Membuat yang Sering Dianggap Mudah, Padahal Tidak Sesederhana Itu
Sekilas, membuat puding ubi terlihat seperti pekerjaan yang sederhana. Rebus ubi, haluskan, campur dengan santan dan gula, tambahkan sedikit bahan pengikat, lalu masak sampai mengental. Namun setelah mengikuti satu sesi memasak bersama seorang perajin dessert lokal, saya sadar bahwa proses membuat puding ubi punya seni tersendiri.
Permasalahan pertama biasanya ada pada pemilihan ubi. Tidak semua ubi cocok dijadikan puding. Beberapa jenis ubi terlalu berserat sehingga menghasilkan tekstur yang kurang halus. Ada juga yang terlalu berair sehingga memengaruhi konsistensi akhir. Perajin puding biasanya memilih ubi dengan kadar pati tinggi agar menghasilkan tekstur yang creamy tanpa harus banyak tambahan tepung.
Hal kedua yang sering diremehkan adalah pengaturan api. Api terlalu besar akan membuat adonan cepat gosong, sementara api terlalu kecil membuat santan tidak mengeluarkan aroma wangi khasnya. Pengadukan juga harus konsisten. Jika berhenti sedetik saja, bagian bawah bisa menggumpal atau membentuk kerak yang tidak nyaman ketika dimakan.
Dan satu hal penting: kesabaran. Puding ubi bukan tipe makanan yang bisa “ditinggal sebentar”. Ia menuntut perhatian penuh, seperti seseorang yang sensitif tetapi penuh potensi. Ketika dibuat dengan benar, hasilnya sangat memuaskan.
Ada satu momen lucu yang saya alami ketika mencoba membuat puding ungu sendiri. Karena terlalu percaya diri, saya menambahkan santan terlalu banyak. Alhasil, puding tidak mengeras seperti seharusnya dan malah berubah menjadi semacam bubur manis yang tidak bisa dipotong. Rasanya sih lumayan, tapi jelas bukan puding. Dari situ saya belajar bahwa resep puding ubi punya keseimbangan rasa dan tekstur yang tidak boleh dianggap sepele.
Makna : Lebih dari Sekadar Hidangan Penutup
Di balik cita rasa yang lembut, puding ubi menyimpan makna yang cukup dalam. Ia adalah simbol kreativitas kuliner Indonesia. Makanan yang terbuat dari bahan sederhana tetapi bisa bertransformasi menjadi hidangan yang cantik, bergizi, dan membanggakan.
Puding ubi juga menggambarkan bagaimana orang Indonesia mengolah bahan lokal dengan penuh penghargaan. Dalam banyak budaya daerah, ubi bukan sekadar makanan. Ia adalah bagian dari sejarah, pengingat bahwa masyarakat Nusantara pernah bertumpu pada tanaman ini sebagai sumber energi. Kini, bahan itu kembali hadir dalam bentuk yang lebih modern namun tetap mempertahankan akar tradisinya.
Beberapa pengusaha kuliner bahkan menjadikan puding sebagai salah satu produk unggulan yang dipasarkan ke luar negeri. Mereka bercerita bahwa pelanggan mancanegara sangat menikmati cita rasa uniknya—manis, lembut, dan berbeda dari dessert berbahan susu yang mendominasi pasar internasional.
Selain itu, puding ubi juga membawa pesan tentang keberlanjutan. Menggunakan bahan lokal berarti mendukung petani lokal. Dan karena ubi termasuk bahan yang mudah ditanam, ramah lingkungan, dan rendah limbah, hidangan ini menjadi contoh nyata bahwa kuliner bisa bergerak ke arah yang lebih berkelanjutan.
Puding Ubi Adalah Cerita, Rasa, dan Masa Depan Kuliner Lokal
Ketika menulis artikel ini, saya menyadari satu hal: puding ubi bukan hanya makanan. Ia adalah potongan kecil dari perjalanan kuliner Indonesia yang terus berkembang. Dari dapur kecil nenek, ke pasar tradisional, hingga kafe modern yang mengutamakan estetika, puding ubi tumbuh tanpa kehilangan jati dirinya.
Keunikan bahan, kekayaan rasa, dan fleksibilitas olahan membuat puding ubi tetap relevan bagi generasi baru yang haus akan pengalaman kuliner yang autentik. Ia mampu menyatukan tradisi dan inovasi dalam satu suapan. Dan dalam dunia kuliner yang semakin cepat berubah, hanya sedikit makanan yang punya kualitas seperti itu.
Puding ubi mengingatkan kita bahwa kelezatan tidak selalu berasal dari sesuatu yang mahal atau rumit. Kadang, kelezatan itu justru tersembunyi dalam bahan sederhana yang selama ini kita anggap biasa. Dengan sedikit kreativitas dan sentuhan modern, puding ubi berhasil membuktikan bahwa kuliner tradisional tidak hanya layak dilestarikan, tetapi juga layak dibanggakan.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Food
Baca Juga Artikel Berikut: Kue Cubit: Kisah Manis di Balik Camilan Legendaris yang Selalu Bikin Rindu
