Wed. Nov 19th, 2025
Putu Ayu Wangi Pandan

Jakarta, odishanewsinsight.com – Ada banyak kue tradisional di Indonesia, tapi hanya sedikit yang punya “aura nostalgia” sekuat Putu Ayu Wangi Pandan. Begitu melihat bentuknya yang hijau lembut dengan taburan kelapa putih di atas, rasanya seperti langsung terseret kembali ke masa kecil—duduk di ruang tamu rumah nenek sambil menunggu baki berisi kue basah keluar dari dapur. Harum pandan dan kelapanya menyebar, bikin siapa pun yang ada di rumah tergoda untuk datang lebih dekat.

Putu Ayu Wangi Pandan bukan hanya sekadar jajanan pasar. Ia adalah simbol kehangatan, perayaan kecil dalam keseharian, dan bukti bahwa kesederhanaan bisa menghasilkan sesuatu yang sangat istimewa. Media kuliner Indonesia beberapa kali menulis bahwa kue-kue tradisional seperti Putu Ayu sedang kembali naik daun di era modern, karena masyarakat mulai mencari cita rasa autentik yang tidak tertelan oleh tren pastry kekinian.

Dalam perspektif seorang jurnalis kuliner yang sering berpindah dari café modern ke pasar tradisional, Putu Ayu Wangi Pandan punya tempat tersendiri. Ia tidak berusaha tampil mewah, tetapi justru itulah keindahannya. Kue ini memadukan aroma pandan yang kuat, tekstur lembut seperti sponge cake, dan gurihnya kelapa parut yang dikukus ringan.

Dan menariknya, kue ini juga memiliki perjalanan panjang dari dapur tradisional hingga menjadi favorit generasi muda, terutama karena tampilannya yang estetik dan cocok untuk konten kuliner di media sosial.

Asal-Usul Putu Ayu: Kue Basah yang Berevolusi dari Tradisi ke Tren Modern

Putu Ayu Wangi Pandan

Meski tidak ada catatan sejarah resmi yang pasti, banyak pakar kuliner dalam negeri meyakini bahwa Putu Ayu merupakan turunan dari jajanan keluarga besar “putu”—sekelompok kudapan berbahan dasar tepung, kelapa, dan gula yang sudah ada sejak masa kolonial. Jika Putu Bambu muncul sebagai salah satu varian paling tradisional, maka Putu Ayu hadir sebagai versi yang lebih modern dan lembut.

Berbeda dengan putu bambu yang dipadatkan dan dikukus dengan aroma gula merah, Putu Ayu tampil lebih elegan. Ia dibuat dengan adonan tepung terigu dan santan yang dikocok hingga mengembang, menghasilkan tekstur sponge yang empuk. Kelapa yang diletakkan di bagian atas cetakan menjadi ikon visual kue ini.

Beberapa jurnalis kuliner Indonesia menggambarkan perjalanan Putu Ayu sebagai “transformasi dari kue pedagang kaki lima menjadi bintang di meja hidangan acara keluarga modern.” Kalimat itu terasa sangat tepat, karena kue ini sudah menjadi bagian dari banyak momen: arisan, selamatan, menu buka puasa, hingga camilan sore.

Salah satu cerita yang sering saya dengar datang dari seorang pedagang kue basah di Jakarta Timur. Ia mengatakan bahwa 10–15 tahun lalu, Putu Ayu hanyalah satu dari banyak kue basah yang ia bawa di keranjang. Tapi sekarang, pelanggan sering mencari “Putu Ayu rasa pandan yang lembut dan wangi,” menunjukkan bahwa kue ini telah naik kelas dari sekadar jajanan pasar menjadi favorit lintas generasi.

Perjalanan evolusi ini juga menggambarkan bagaimana kuliner Indonesia mampu beradaptasi tanpa kehilangan akar tradisionalnya.

Mengapa Wangi Pandan Jadi Ciri Utama? Rahasia di Balik Aroma dan Warna Alami

Salah satu elemen paling spesifik dari Putu Ayu adalah aroma pandan yang kuat. Wangi ini bukan sekadar pelengkap, tapi identitas utama. Bahkan beberapa orang bilang, “Kalau tidak harum pandan, itu bukan Putu Ayu.”

Pandan dipilih bukan hanya karena aromanya, tetapi juga karena warna hijau alaminya yang lembut dan menenangkan. Di Indonesia, pandan sudah lama digunakan dalam banyak resep tradisional, termasuk klepon, dadar gulung, hingga onde-onde. Pandan memberikan nuansa wangi yang tidak menutupi rasa utama, tetapi justru memperkaya.

Dalam wawancara yang pernah dimuat di salah satu media kuliner nasional, seorang ahli makanan tradisional menjelaskan bahwa pandan mengandung senyawa alami bernama 2-acetyl-1-pyrroline. Senyawa ini juga ditemukan pada nasi wangi dan beberapa jenis roti khas Asia, yang menjelaskan kenapa aromanya terasa begitu familiar dan nyaman.

Bayangkan momen ketika kamu mengukus adonan Putu Ayu. Uap panas perlahan mengangkat aroma pandan, membuat seluruh dapur terasa seperti spa aromaterapi versi kuliner. Di banyak keluarga Indonesia, momen ini dianggap sebagai tanda bahwa kue sudah “hidup”—aromanya keluar, adonannya mengembang, dan kelapanya mulai melembut.

Ada juga kisah menggemaskan dari seorang ibu rumah tangga yang pernah saya temui. Ia berkata, “Kalau sudah mencium wangi pandan dari dapur, anak-anak langsung keluar kamar karena mereka tahu Putu Ayu sebentar lagi matang.” Lucu, tapi benar adanya.

Teknik Membuat Putu Ayu yang Lembut dan Mengembang Sempurna

Meski terlihat sederhana, membuat Putu Ayu Wangi Pandan yang benar-benar lembut butuh teknik yang tepat. Banyak pemula sering mengeluh bahwa kue mereka bantat atau tidak mengembang seperti yang dijual pedagang. Padahal, rahasianya terletak pada tiga hal: pengocokan, proporsi, dan pengukusan.

1. Pengocokan Telur dan Gula

Langkah awal menentukan hasil akhir. Telur dan gula harus dikocok hingga putih dan mengembang. Tekstur ini akan menjadi “pondasi” kue agar tetap ringan.

2. Proporsi Santan

Jangan terlalu kental dan jangan terlalu cair. Santan memberikan rasa gurih sekaligus menjaga kelembapan kue.

3. Larutan Pandan

Pilih pandan segar untuk menghasilkan warna dan aroma alami. Ekstrak pandan juga boleh, tapi hasilnya berbeda.

4. Kelapa Parut di Bagian Atas

Kelapa harus dicampur sedikit garam dan dikukus singkat agar gurih dan tidak cepat basi.

5. Pengukusan yang Stabil

Uap stabil dan panas merata adalah kunci. Tutup kukusan dibungkus kain untuk mencegah tetesan air membuat permukaan kue basah.

Dalam sebuah ulasan kuliner dari media nasional, Putu Ayu digambarkan sebagai “kue yang membutuhkan kesabaran, bukan kekuatan.” Kalimat itu pas sekali. Meski bahan-bahannya sederhana, prosesnya menuntut ketelitian.

Saya bahkan mengalami sendiri ketika mencoba membuatnya sebagai tugas liputan kuliner rumahan. Percobaan pertama gagal total—adonannya bantat. Percobaan kedua lumayan. Baru pada percobaan ketiga, kue akhirnya mengembang sempurna dan aromanya semerbak seperti yang diharapkan.

Putu Ayu di Era Modern: Dari Dapur Tradisional hingga Café Kekinian

Tidak bisa dipungkiri bahwa Putu Ayu kembali populer dalam beberapa tahun terakhir. Banyak café dan bakery modern mulai mengadaptasi kue ini dengan inovasi baru, seperti:

  • Putu Ayu rasa cokelat

  • Putu Ayu red velvet

  • Putu Ayu cheese cream

  • Putu Ayu mini untuk hampers

Tren ini didorong oleh generasi muda yang mencari makanan tradisional dengan sentuhan modern. Di media sosial, Putu Ayu sering tampil dalam video aesthetic yang memperlihatkan proses pengukusan, pemotongan pandan, atau detail kelapa parut yang tampak kontras dengan adonan hijau.

Beberapa chef pastry lokal juga mulai menjadikan Putu Ayu sebagai inspirasi dessert plated di restoran fine dining. Ada yang memodifikasinya menjadi bentuk mousse, ada yang membuat versi panggang, dan ada pula yang mengganti kelapa dengan foam santan.

Namun meski banyak inovasi muncul, versi klasik tetap jadi juara. Tidak ada yang bisa menandingi rasa gurih kelapa dan aroma pandan yang berpadu lembut di mulut. Resep klasik ini tidak tergantikan.

Kesimpulan: Putu Ayu Wangi Pandan Adalah Warisan Rasa yang Tidak Pernah Padam

Putu Ayu Wangi Pandan bukan sekadar kue basah. Ia adalah simbol nostalgia, aroma rumah, dan bukti bahwa kuliner tradisional Indonesia masih punya tempat istimewa di hati masyarakat modern. Meski dunia kuliner terus berkembang dengan tren pastry dan dessert internasional, Putu Ayu tetap bertahan sebagai salah satu kue paling dicintai.

Keunikan aromanya, tekstur lembutnya, dan proses pembuatannya yang memerlukan ketelitian membuat kue ini terasa “hidup.” Ia membawa cerita dari masa lalu ke masa kini, tanpa kehilangan identitas.

Jika kamu belum pernah membuatnya sendiri, mungkin ini saat yang tepat untuk mencoba. Dan siapa tahu, wangi pandan yang keluar dari dapur nanti bisa membawa kembali memori masa kecilmu—atau menciptakan memori baru bagi keluargamu.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food

Baca Juga Artikel Dari: Getuk Lindri Tradisional: Warisan Kuliner Jawa yang Lembut, Manis, dan Selalu Bikin Rindu

Author