Jakarta, odishanewsinsight.com – Di Makassar, aroma coto selalu menandai sesuatu yang istimewa. Di pagi hari, asap tipis dari warung coto mengepul di antara jalan sempit, seolah memanggil warga setempat untuk sarapan dengan kuah kacang yang kental dan daging yang lembut.
Coto Makassar atau Coto Kuah Kacang Gurih, bukanlah sekadar makanan. Ia adalah bagian dari identitas masyarakat Bugis-Makassar. Konon, coto pertama kali disajikan di kalangan bangsawan kerajaan Gowa sebagai hidangan kehormatan. Namun seiring waktu, hidangan ini turun ke rakyat jelata, menjadi simbol kehangatan dan kebersamaan.
Kuahnya yang berbasis kacang tanah sangrai menjadi pembeda utama dari soto-soto lain di Nusantara. Kalau soto Betawi memakai santan, dan soto Lamongan berbumbu kuning, maka coto hadir dengan warna kecokelatan yang pekat—hasil perpaduan bumbu rempah, kacang tanah, dan kaldu daging sapi yang direbus lama hingga meresap sempurna.
Tidak jarang, di warung kecil di Makassar, kamu akan menemukan seorang penjual tua yang masih memakai panci logam berumur puluhan tahun. Katanya, cita rasa coto tidak hanya dari bumbunya, tapi juga dari “jejak rasa” yang tertinggal di panci itu—warisan tak kasat mata yang menjaga keotentikan setiap rebusan.
Rahasia Kuah Kacang Gurih yang Menggoda Lidah

Coto bukan hanya soal daging, tapi tentang keseimbangan rasa. Rahasia gurihnya terletak pada kuah kacang—komponen yang menjadikan hidangan ini unik dan khas.
Kacang tanah disangrai hingga matang sempurna, lalu dihaluskan bersama bawang merah, bawang putih, ketumbar, jintan, serai, dan lengkuas. Setelah itu, campuran ini dimasukkan ke dalam kaldu daging yang telah dimasak selama berjam-jam. Hasilnya adalah kuah yang kental, berminyak, dan beraroma khas yang membuat siapa pun sulit menolak.
Daging sapi dipilih dengan cermat. Beberapa penjual menggunakan campuran daging, jeroan, dan lidah untuk menambah tekstur. Semuanya direbus hingga empuk dalam kaldu kaya rempah.
Aroma kacang yang berpadu dengan daging sapi menciptakan sensasi gurih yang berbeda: tidak terlalu berat seperti rendang, tapi juga tidak ringan seperti soto biasa. Coto terasa seperti pelukan hangat setelah hari yang panjang—menenangkan, mengenyangkan, dan membawa kenangan rumah.
Bahkan, di beberapa daerah seperti Parepare atau Gowa, coto disajikan dengan variasi rasa. Ada yang lebih manis, ada yang lebih pedas, tergantung racikan kacang dan rempah yang digunakan. Setiap warung punya “rahasia kecil” mereka sendiri.
Pelengkap Setia: Burasa, Ketupat, dan Sambal Tauco
Tidak lengkap rasanya menyantap Coto Kuah Kacang Gurih tanpa pelengkap khasnya: burasa atau ketupat.
Burasa adalah nasi yang dimasak bersama santan dan dibungkus daun pisang, bentuknya pipih dan padat. Teksturnya lembut dan gurih, sangat cocok menyerap kuah kacang coto yang kaya rasa.
Sementara ketupat menjadi alternatif di luar Sulawesi Selatan, terutama di daerah urban seperti Jakarta atau Surabaya. Beberapa warung bahkan menyajikan coto dengan lontong agar lebih mudah diterima lidah masyarakat Jawa.
Sambal juga memainkan peran penting. Biasanya berupa sambal tauco, campuran cabai, bawang, dan tauco fermentasi yang menambah rasa pedas dan asam segar. Sambal ini bukan sekadar pelengkap, tapi “penyeimbang” dari kuah kacang yang cenderung manis-gurih.
Dalam beberapa warung legendaris, pelanggan bahkan diberi kebebasan untuk menyesuaikan rasa di meja: menambah kecap, sambal, atau perasan jeruk nipis sesuai selera. Coto bukan makanan yang kaku — ia hidup, beradaptasi dengan siapa pun yang menikmatinya.
Coto Sebagai Identitas Budaya dan Ekonomi Lokal
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, coto bukan hanya kuliner, tapi juga identitas budaya dan simbol ekonomi rakyat.
Di berbagai daerah, usaha warung coto menjadi tulang punggung keluarga, diwariskan lintas generasi. Ada warung yang sudah beroperasi lebih dari 50 tahun, tetap ramai hingga kini.
Setiap porsi coto bukan sekadar makanan, tapi hasil dari kerja keras, resep turun-temurun, dan kebanggaan akan warisan leluhur. Bahkan, beberapa penjual masih mempertahankan cara masak tradisional: menggunakan tungku tanah liat dan kayu bakar untuk mempertahankan cita rasa “asli”.
Di Makassar, ritual makan coto sering kali menjadi momen sosial. Orang bertemu, berbincang, dan merayakan kehidupan di meja makan.
Bagi perantau, mencicipi coto seperti pulang ke kampung halaman — aroma kuah kacangnya membawa nostalgia yang tak tergantikan.
Tak heran jika coto kini menjadi simbol kebanggaan kuliner Sulawesi Selatan. Setiap festival kuliner nasional hampir selalu menempatkan coto sebagai perwakilan utama daerah Makassar, sejajar dengan rawon Jawa Timur dan gudeg Yogyakarta.
Coto di Era Modern: Dari Warung Tradisional ke Restoran Internasional
Perjalanan Coto Kuah Kacang Gurih kini telah melintasi batas daerah, bahkan negara. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bali, hingga Singapura, coto mulai masuk ke restoran modern dengan tampilan lebih elegan.
Namun, esensi rasanya tetap sama — kuah kacang yang kental, aroma rempah yang tajam, dan daging yang empuk.
Generasi muda pun mulai melakukan inovasi. Ada yang mengganti daging sapi dengan ayam untuk versi lebih ringan, atau menambah topping seperti telur rebus dan kerupuk kulit. Tapi satu hal yang tidak berubah: rasa gurih kacangnya yang khas.
Media kuliner Indonesia sering menobatkan coto sebagai salah satu dari 10 kuliner tradisional paling berpengaruh. Alasannya jelas — ia tidak hanya enak, tapi juga memiliki cerita panjang yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Seorang chef muda asal Makassar, Dewa Rizky, pernah berkata dalam wawancara kuliner,
“Coto itu bukan cuma makanan, tapi narasi budaya. Setiap sendoknya membawa cerita tentang rumah, keluarga, dan perjuangan.”
Dan itulah mengapa coto akan terus bertahan. Ia bukan sekadar menu, tapi warisan yang hidup di setiap generasi.
Kesimpulan: Warisan Rasa yang Menyatukan
Coto Kuah Kacang Gurih adalah bentuk nyata bagaimana makanan bisa melampaui fungsi dasarnya. Ia tidak sekadar mengenyangkan, tapi juga menyatukan — membawa orang-orang dari berbagai latar untuk duduk bersama menikmati semangkuk kehangatan.
Di balik kuah kacangnya yang lembut, tersimpan nilai gotong royong, tradisi, dan cinta pada cita rasa lokal.
Dalam dunia kuliner modern yang serba cepat, coto mengajarkan satu hal penting: bahwa rasa terbaik selalu lahir dari kesabaran, dedikasi, dan warisan yang dijaga dengan hati.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari: Mie Aceh Daging Cincang: Perpaduan Rempah, Tradisi, dan Keberanian Rasa dari Tanah Serambi Mekah
