Jakarta ,odishanewsinsight.com – Setiap kali bulan Imlek tiba, aroma manis dari gula merah dan daun pisang yang dikukus pelan selalu memenuhi udara. Di dapur-dapur rumah Tionghoa, uap panas mengepul dari kukusan besar yang menyembunyikan rahasia lezat: kue keranjang. Dalam bahasa Mandarin, kue ini disebut Nian Gao, yang secara harfiah berarti “kue tahun baru”. Namun bagi masyarakat Tionghoa, maknanya jauh lebih dalam—ia melambangkan kemakmuran yang meningkat dari tahun ke tahun.
Tak heran bila kue keranjang selalu menjadi hidangan wajib dalam setiap perayaan Imlek. Rasanya yang manis dianggap membawa keberuntungan, sementara teksturnya yang lengket dipercaya mempererat hubungan antar anggota keluarga. Sebuah filosofi sederhana yang terasa hangat di setiap potongannya.
Namun di balik manisnya kue ini, tersimpan sejarah panjang yang menarik. Menurut kisah turun-temurun, pada zaman Dinasti Zhou di Tiongkok, kue keranjang dibuat sebagai persembahan kepada Dewa Dapur—dewa yang dipercaya melaporkan perilaku manusia kepada Kaisar Langit setiap akhir tahun. Agar laporan itu baik, masyarakat memberikan kue manis ini supaya Dewa Dapur “tidak bisa bicara buruk” karena mulutnya lengket oleh gula.
Dari situlah tradisi ini menyebar, hingga akhirnya masuk ke berbagai negara Asia termasuk Indonesia. Kini, di setiap sudut kota—dari Glodok, Semarang, Medan hingga Pontianak—kue keranjang menjadi simbol kebersamaan yang menembus batas budaya.
Dari Tiongkok ke Nusantara — Jejak Perjalanan Kue Keranjang

Kue keranjang mungkin berasal dari Tiongkok, tapi di Indonesia, ia telah bertransformasi menjadi kuliner yang unik. Tak hanya disajikan saat Imlek, kue ini juga hadir dalam bentuk dan rasa yang lebih bervariasi.
Kisah masuknya kue keranjang ke Indonesia dimulai ratusan tahun lalu bersama para perantau Tionghoa yang datang ke pelabuhan-pelabuhan besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Mereka membawa serta resep tradisional keluarga, termasuk cara membuat kue keranjang. Di tangan mereka, gula merah dan tepung ketan yang sederhana berubah menjadi simbol spiritual yang dalam.
Di Indonesia, bahan-bahannya pun menyesuaikan. Jika di Tiongkok kue ini dibuat dari gula tebu dan tepung beras, maka di Nusantara digunakan tepung ketan lokal dan gula aren—memberikan cita rasa karamel yang lebih pekat dan aroma khas tropis. Proses pembuatannya tetap setia pada tradisi: dikukus berjam-jam hingga warnanya berubah menjadi cokelat tua mengilap.
Ada satu kisah menarik dari seorang pembuat kue keranjang di Semarang, yang diwarisi resep dari nenek buyutnya. “Dulu, waktu kecil saya sering disuruh jaga kukusan,” katanya sambil tertawa kecil. “Kue ini butuh kesabaran, karena kalau apinya terlalu besar, bisa gosong. Kalau terlalu kecil, kue jadi bantat.”
Kalimat itu menggambarkan filosofi hidup: keseimbangan antara panas dan sabar, antara kerja keras dan kasih.
Kini, kue keranjang tak hanya ditemukan di rumah-rumah Tionghoa, tapi juga di toko-toko kue modern, restoran fusion, bahkan dijadikan oleh-oleh khas kota tertentu. Ia telah melintasi waktu dan generasi, menjadi jembatan budaya antara Timur dan Barat, tradisional dan modern.
Proses Pembuatan — Seni dalam Kesabaran dan Kehangatan
Membuat kue keranjang bukan pekerjaan cepat. Ia menuntut ketelatenan, ketepatan, dan cinta. Seorang pembuat kue berpengalaman mengatakan, “Kue keranjang itu tidak bisa dibuat dengan tergesa-gesa. Ia harus dikukus dengan hati yang tenang.”
Berikut proses klasiknya:
-
Bahan Utama:
-
Tepung ketan (simbol kekompakan dan keteguhan).
-
Gula merah dan gula pasir (melambangkan rezeki dan kebahagiaan).
-
Air kelapa atau santan (penyatu rasa dan simbol kesucian).
-
-
Proses Pembuatan:
Semua bahan dicampur hingga kental seperti adonan karamel. Setelah itu, dituangkan ke dalam loyang bulat yang dilapisi daun pisang atau plastik tahan panas. Kue kemudian dikukus selama 10–12 jam. Ya, berjam-jam! Inilah bagian yang menuntut kesabaran luar biasa. -
Proses Penyimpanan:
Setelah matang, kue keranjang tidak langsung dimakan. Biasanya disimpan selama beberapa hari agar teksturnya lebih padat dan rasa manisnya menyatu sempurna.
Menariknya, kue ini bisa bertahan hingga berbulan-bulan, bahkan tanpa pengawet. Semakin lama disimpan, semakin legit dan kenyal rasanya. -
Penyajian:
Di masa kini, banyak orang menikmati kue keranjang dengan cara digoreng bersama tepung terigu atau dilapis dengan telur seperti pisang goreng. Ada juga yang mengombinasikannya dengan kelapa parut, wijen, hingga keju—perpaduan tradisi dan inovasi yang menciptakan sensasi baru di lidah.
Dalam setiap tahapnya, ada filosofi tersendiri: kerja keras, kesabaran, dan penghargaan terhadap waktu. Karena kue ini bukan sekadar makanan — ia adalah ritual kebahagiaan.
Filosofi dan Makna di Balik Kue Keranjang
Di balik bentuknya yang sederhana, kue keranjang menyimpan filosofi hidup yang dalam. Teksturnya yang lengket dianggap sebagai simbol keharmonisan, agar keluarga tetap bersatu dan saling melekat meski waktu berjalan.
Warna cokelat keemasan melambangkan kemakmuran dan keberuntungan. Sedangkan bentuknya yang bulat menggambarkan kesempurnaan dan kebersamaan tanpa ujung.
Dalam budaya Tionghoa, kue ini juga diyakini membawa rezeki naik setiap tahun. Kata “Nian Gao” memiliki bunyi yang mirip dengan frasa “tahun lebih tinggi”, yang berarti peningkatan atau kemajuan. Karena itu, banyak orang meletakkan kue ini di altar keluarga atau persembahan kepada leluhur, sebagai doa agar tahun depan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Di Indonesia, makna ini berkembang lebih luas. Kue keranjang kini bukan hanya milik warga Tionghoa, tapi juga disukai oleh masyarakat umum sebagai simbol keberkahan dan perayaan.
Setiap gigitan terasa seperti doa kecil — manis, lengket, dan hangat — mengingatkan kita pada rumah, keluarga, dan masa kecil yang penuh cerita.
Bagi sebagian orang, kue ini juga mengajarkan makna kesabaran dan ketekunan. Dari bahan sederhana, melalui proses panjang dan panas, lahirlah kue yang manis dan berharga. Sama seperti hidup: butuh waktu untuk menghasilkan sesuatu yang indah.
Kue Keranjang di Era Modern — Antara Tradisi dan Inovasi
Di era digital ini, kue keranjang tak lagi hanya ditemukan di pasar tradisional. Banyak generasi muda yang menghadirkan kue ini dalam bentuk baru tanpa menghilangkan makna aslinya.
Beberapa toko roti modern bahkan menghadirkan Kue Keranjang Cheesecake, Kue Keranjang Mochi Fusion, atau versi mini yang dikemas elegan untuk hampers Imlek.
Salah satu contoh sukses datang dari UMKM di Bandung bernama “ManisNian”, yang menggabungkan kue keranjang dengan lapisan brownies cokelat dan taburan kacang mete. “Kami ingin memperkenalkan kue tradisional ini kepada generasi muda,” kata pemiliknya. “Biar mereka tahu bahwa manisnya tradisi tidak kalah dari tren modern.”
Inovasi ini tak hanya menjaga eksistensi kue keranjang, tapi juga menghidupkan ekonomi lokal. Banyak pengusaha kecil menggandeng petani kelapa dan produsen gula aren lokal, menciptakan rantai ekonomi yang saling menguatkan.
Selain di dunia kuliner, kue keranjang juga hadir dalam budaya populer. Di media sosial, banyak video food content creator yang membuat versi mereka sendiri, dengan resep turun-temurun dari keluarga. Di situ terlihat jelas, bagaimana makanan bukan sekadar konsumsi, tapi bentuk cinta dan identitas.
Namun satu hal yang tetap tak berubah: maknanya sebagai simbol keberuntungan. Setiap tahun, orang tetap menyalakan kukusan, menunggu uap pertama yang membawa aroma nostalgia — aroma rumah, aroma masa kecil, aroma harapan.
Kue Keranjang dan Identitas Budaya Indonesia
Kue keranjang adalah contoh sempurna bagaimana budaya bisa berasimilasi tanpa kehilangan jati diri. Ia lahir dari akar tradisi Tionghoa, tapi tumbuh subur di tanah Nusantara dengan cita rasa lokal.
Ia menjadi bukti bahwa makanan mampu menyatukan perbedaan.
Di beberapa daerah, kue keranjang menjadi simbol persahabatan lintas etnis. Di Pontianak misalnya, masyarakat Dayak dan Melayu ikut merayakan Imlek dengan menikmati kue ini bersama. Sementara di Medan, kue keranjang sering dijadikan hadiah untuk tetangga non-Tionghoa sebagai tanda kebersamaan.
“Rasa manis itu tidak mengenal agama atau suku,” kata seorang ibu di Glodok yang sudah 40 tahun berjualan kue keranjang. “Siapa pun yang makan, pasti senyum.”
Kalimat itu menggambarkan esensi sejati kuliner: menyatukan manusia lewat rasa dan kehangatan.
Penutup: Filosofi Manis dalam Setiap Gigitan
Kue keranjang bukan sekadar penganan yang manis. Ia adalah simbol harapan, kerja keras, dan kebersamaan.
Dalam setiap lapisan lengketnya, tersimpan cerita tentang cinta keluarga, doa kepada leluhur, dan semangat untuk terus maju.
Dari dapur kecil di Tiongkok hingga pasar di Jakarta, dari kukusan tradisional hingga oven modern, kue keranjang membuktikan satu hal: bahwa tradisi bisa bertahan jika dirawat dengan cinta.
Dan setiap kali kita menggigit kue itu di awal tahun baru, kita seperti mencicipi harapan — bahwa masa depan akan lebih manis dari tahun sebelumnya.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Food
Baca Juga Artikel Dari:Digital Ecosystem: Understanding Interconnected Digital Platforms
