Saya nggak pernah nyangka bakal berakhir jadi vegan. Dulu, saya adalah pecinta berat daging ayam goreng, keju, dan susu cokelat. Tiap makan harus ada lauk hewani, kalau nggak rasanya ada yang kurang. Tapi satu momen kecil mengubah segalanya.
Waktu itu saya nonton dokumenter soal industri peternakan—tentang bagaimana sapi, ayam, dan babi dipelihara dalam kondisi yang sempit, penuh tekanan, dan sama sekali nggak manusiawi. Saya bukan orang yang gampang tersentuh, tapi malam itu saya susah tidur. Entah kenapa saya merasa bersalah.
Itulah titik awal saya mulai mempertanyakan apa yang saya makan. Lalu saya mulai coba-coba: seminggu tanpa daging, terus dua minggu tanpa telur, lalu sebulan full vegan. Dan dari situlah saya sadar, vegan food bukan cuma soal diet. Ini soal pilihan hidup.
Apa Itu Vegan Food?

Vegan food adalah makanan yang tidak mengandung unsur hewani sama sekali. Artinya: tidak ada daging, telur, susu, madu, atau produk turunannya. Banyak orang bingung dan langsung mikir, “Terus makannya apa dong? Rumput?”
Haha, saya pun dulu sempat mikir begitu.
Padahal kenyataannya, makanan vegan itu luar biasa beragam. Dari nasi uduk pakai tempe bacem, rendang jamur, sampai burger dari lentil dan quinoa. Bumbu Indonesia yang kaya justru bikin makanan vegan jadi nggak hambar sama sekali.
Dan jangan salah, sekarang udah banyak produk pengganti yang rasanya mirip aslinya:
-
Susu oat atau almond gantikan susu sapi
-
Tempe dan tahu gantikan daging
-
Keju vegan dari kacang mete
-
Daging plant-based seperti Beyond Meat dan Omnipork
Intinya, makan vegan bukan berarti harus mengorbankan rasa. Asal kita kreatif, semua bisa tetap enak dan memuaskan.
Alasan Saya Bertahan Jadi Vegan
Setelah beberapa bulan coba-coba, saya mulai merasakan perubahan nyata di tubuh dan pikiran saya. Dan inilah alasan saya bertahan sampai sekarang.
1. Kesehatan Fisik
Saya dulu sering merasa ngantuk, lambung sering bermasalah, dan kolesterol sempat tinggi. Tapi sejak makan vegan:
-
Energi saya meningkat
-
Pencernaan jadi lancar
-
Kulit lebih bersih dan cerah
-
Berat badan lebih stabil
Bukan sulap, bukan sihir. Tapi karena pola makan yang lebih bersih dan rendah lemak jenuh. Saya juga jadi makan lebih banyak serat dari buah, sayur, dan biji-bijian. Nggak heran kalau WHO dan banyak studi menyebutkan bahwa diet nabati bisa menurunkan risiko penyakit jantung, diabetes, bahkan beberapa jenis kanker.
2. Kepedulian Lingkungan
Ini salah satu alasan terkuat saya. Industri peternakan adalah kontributor emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, setelah energi. Produksi satu kilogram daging sapi bisa menghasilkan sekitar 27 kg CO2, belum lagi konsumsi air dan lahannya.
Sementara itu, makanan nabati seperti lentil atau tahu, jejak karbonnya jauh lebih kecil.
Saya jadi sadar, perubahan kecil dari piring saya bisa berdampak besar buat bumi. Kalau semakin banyak orang mengurangi konsumsi hewani, planet kita bisa lebih “bernapas”.
3. Etika dan Empati
Yang ini mungkin terdengar klise, tapi saya jadi lebih berempati setelah tahu bagaimana hewan diperlakukan di industri makanan. Saya bukan aktivis atau orang suci, tapi rasanya saya nggak bisa lagi makan sesuatu yang dulunya punya nyawa dan mungkin pernah merasa sakit.
Buat saya pribadi, hidup selaras tanpa menyakiti jadi prinsip baru yang membawa kedamaian.
Tantangan Vegan Awal yang Saya Hadapi (dan Gimana Saya Mengatasinya)
Nggak semuanya indah, tentu saja. Saya mengalami berbagai tantangan dan momen frustasi waktu pertama kali jadi vegan.
1. Bingung Mau Makan Apa
Waktu awal, saya cuma makan nasi + tempe + sayur rebus. Rasanya cepat bosan. Tapi akhirnya saya mulai cari inspirasi dari YouTube dan Instagram. Resep vegan ternyata banyak banget dan gampang diikuti.
Saya mulai bikin:
-
Nasi goreng vegan (pakai kecap asin, jamur, dan kacang mede)
-
Sate tahu bumbu kacang
-
Pasta tomat homemade
-
Salad tropikal dengan dressing kacang
Sekarang saya malah jadi suka masak!
2. Sulit di Tempat Umum
Kadang kalau makan di restoran bareng teman, saya cuma bisa pesen kentang goreng. Tapi lama-lama saya belajar tanya ke pelayan soal bahan makanan, atau saya cari restoran dengan label “vegan-friendly.”
Beberapa tips dari saya:
-
Cari resto India, Thailand, atau Mediterania. Mereka banyak menu nabati.
-
Gunakan aplikasi seperti HappyCow untuk cari spot vegan di kota kamu.
-
Bawa bekal sendiri kalau pergi jauh.
3. Dicibir dan Ditanya-Tanya
Jujur ya, yang paling berat itu komentar orang. Mulai dari, “Kamu nggak takut kurus kering?” sampai “Kasian dong tumbuhan dipetik juga.”
Awalnya saya defensif, tapi sekarang saya jawab dengan santai dan ngajak ngobrol. Kalau kita bisa jelaskan tanpa menggurui, biasanya orang jadi tertarik, bahkan ikut nyoba.
Nutrisi Apa yang Harus Diperhatikan Saat Vegan?
Banyak orang takut jadi vegan karena takut kekurangan gizi. Dan ya, itu bisa terjadi kalau kita nggak pintar atur pola makan.
Berikut beberapa nutrisi penting yang harus diperhatikan:
1. Protein
Jangan khawatir, protein nggak cuma ada di daging. Kita bisa dapatkan dari:
-
Tempe, tahu
-
Kacang merah, lentil, buncis
-
Quinoa, oats
-
Susu nabati berprotein tinggi
2. Vitamin B12
Ini satu-satunya vitamin yang tidak tersedia secara alami dalam makanan nabati. Solusinya:
-
Konsumsi makanan fortifikasi (susu, sereal vegan)
-
Minum suplemen B12 mingguan
3. Omega-3
Biasanya didapat dari ikan, tapi bisa diganti dengan:
-
Biji chia, biji rami, kenari
-
Suplemen minyak alga
4. Zat Besi dan Kalsium
Ada di sayuran hijau, kacang-kacangan, dan biji wijen. Konsumsi bersamaan dengan vitamin C agar penyerapan maksimal.
Saya pribadi pernah cek darah 6 bulan setelah jadi vegan. Hasilnya? Semua normal. Tapi memang saya rutin minum suplemen B12 dan makan beragam jenis makanan.
Veganisme di Indonesia: Makin Dikenal, Tapi Masih Perlu Didorong
Beberapa tahun lalu, veganisme mungkin masih dianggap “gaya hidup aneh”. Tapi sekarang, komunitas vegan di Indonesia makin tumbuh.
Ada festival vegan, brand makanan lokal yang makin banyak, hingga café vegan di berbagai kota besar.
Beberapa favorit saya:
-
Burgreens – makanan vegan ala barat yang kreatif
-
Loving Hut – restoran vegan dengan cabang internasional
-
Green Rebel – produsen daging nabati lokal
-
Vegetus – toko bahan makanan vegan lengkap
Tapi saya tahu, akses masih terbatas di luar kota besar. Makanya penting banget untuk edukasi masyarakat bahwa vegan itu bisa murah dan nggak ribet. Makanan rumahan seperti sayur lodeh, urap, pecel, dan tumis kangkung itu sebenarnya udah vegan lho!
Apakah Semua Orang Harus Jadi Vegan?
Jawabannya: nggak juga.
Saya percaya bahwa setiap orang punya konteks lifestyle berbeda. Tapi saya juga percaya bahwa setiap pengurangan konsumsi produk hewani, sekecil apapun, tetap berdampak besar.
Mau mulai dari meatless Monday? Boleh.
Mau makan vegan hanya di rumah? Nggak apa-apa.
Yang penting: mulai dari kesadaran dan niat baik.
Saya pun awalnya bukan vegan full. Saya coba-coba dulu, belajar sedikit-sedikit. Dan ternyata, itu lebih sustainable daripada langsung ekstrem.
Inspirasi Menu Vegan Sehari-Hari
Buat kamu yang bingung, ini contoh menu vegan sehari-hari ala saya:
Sarapan:
-
Smoothie pisang, oat, kurma, dan susu almond
-
Roti gandum dengan selai kacang
Makan siang:
-
Nasi merah
-
Tempe orek
-
Sayur bening bayam
-
Sambal terasi vegan (pakai tomat dan garam laut)
Camilan sore:
-
Pisang goreng tanpa telur
-
Teh herbal
Makan malam:
-
Pasta tomat dengan jamur
-
Salad sayur dengan dressing alpukat
Dessert:
-
Es krim vegan dari santan dan buah naga
Penutup: Bukan Sempurna, Tapi Lebih Sadar
Saya bukan orang paling sehat, paling hijau, atau paling etis. Tapi jadi vegan bikin saya lebih sadar. Tentang tubuh saya, tentang bumi, dan tentang makhluk lain.
Mungkin saya nggak bisa menyelamatkan dunia sendirian. Tapi kalau saya bisa mengurangi jejak kaki saya, menghargai makanan yang saya konsumsi, dan ngajak satu dua orang berpikir, itu sudah cukup buat saya.
Dan siapa tahu, kamu juga mau coba. Bukan buat jadi sempurna. Tapi buat jadi sedikit lebih baik, setiap hari.
Baca juga artikel berikut: Konsumsi Lokal Mandiri: Dukung UMKM dari Rumah
