Jakarta, odishanewsinsight.com – Di tengah gemerlapnya kuliner urban Jakarta yang makin dipenuhi tren kekinian seperti Korean BBQ dan minuman boba, ada satu makanan khas Betawi yang diam-diam menyimpan kekayaan rasa sekaligus cerita: rujak juhi. Makanan ini memang bukan tipe yang langsung viral di TikTok, tapi justru karena keunikan dan sejarahnya, ia pantas banget mendapat sorotan.
Rujak juhi adalah paduan kompleks dari cita rasa manis, gurih, dan sedikit asam yang berasal dari bumbu kacang dan cuka yang khas. Bahan utamanya adalah juhi, yaitu cumi-cumi kering yang diasap lalu disuwir halus. Disajikan bersama lontong, kentang, dan kerupuk mie, rujak juhi ini bisa dibilang salad versi Betawi yang otentik banget.
Artikel ini akan mengajak kamu mengenal lebih jauh juhi. Mulai dari sejarahnya yang nyaris terlupakan, komposisi dan cita rasa yang unik, sampai tantangan pelestarian makanan ini di tengah modernisasi kuliner. Yuk, kita mulai perjalanan rasa ini.
Asal-Usul Rujak Juhi: Warisan Kuliner yang Terancam Lenyap

Rujak juhi bukan sekadar nama unik. Makanan ini adalah saksi sejarah panjang akulturasi budaya di Jakarta. Kata “juhi” sendiri berasal dari bahasa Hokkien untuk menyebut cumi-cumi kering. Menariknya, proses pengolahan juhi menggunakan teknik asap kering ala Tionghoa, tapi kemudian diadaptasi oleh masyarakat Betawi dan diberi sentuhan bumbu kacang dan cuka khas lokal.
Konon, rujak juhi mulai populer di kalangan warga Tionghoa peranakan yang tinggal di kawasan Glodok dan sekitarnya. Dari sana, makanan ini menyebar ke wilayah Betawi lain dan akhirnya diadopsi sebagai bagian dari khazanah kuliner Betawi.
Namun sayangnya, saat ini rujak juhi makin sulit ditemukan. Di Jakarta saja, penjual rujak bisa dihitung dengan jari. Salah satu penjual legendaris adalah Bu Sri, yang sudah berjualan lebih dari 35 tahun di kawasan Cikini. Katanya, “Anak sekarang lebih suka makanan modern. Padahal rujak itu kaya gizi dan nggak kalah enak.”
Komposisi Rujak Juhi: Paduan Sederhana tapi Penuh Karakter
Setiap piring rujak juhi itu seperti lukisan rasa. Sekilas terlihat sederhana, tapi setiap elemen punya peran penting. Bahan utamanya tentu saja juhi, cumi-cumi kering yang sudah diasapi. Proses pengolahannya panjang: mulai dari perendaman agar lunak, lalu dibakar ringan untuk mengangkat aromanya, dan disuwir halus.
Juhi disajikan di atas lontong atau kadang mi kuning, lalu dilengkapi kentang rebus, timun, daun selada, dan tak lupa kerupuk mie kuning yang garing. Tapi bintang sebenarnya adalah saus kacangnya yang pekat dan sedikit manis dengan tendangan cuka yang menyegarkan.
Saus ini biasanya dibuat dari campuran kacang tanah sangrai, bawang putih, gula merah, garam, air cuka, dan sedikit perasan jeruk limau. Beberapa penjual menambahkan sedikit ebi (udang kering) untuk menambah kedalaman rasa.
Menurut Pak Didi, chef rumahan yang sering mengulik kuliner Nusantara, “Bumbu kacang rujak ini unik. Nggak sama kayak gado-gado atau ketoprak. Rasanya lebih pekat dan ada aroma laut dari juhi yang kuat banget.”
Rujak Juhi di Mata Generasi Milenial: Asing tapi Bikin Penasaran
Mungkin banyak dari Gen Z atau milenial yang belum pernah dengar soal rujak juhi. Wajar sih, karena kuliner ini memang nggak mudah ditemukan kecuali di tempat-tempat tertentu seperti festival budaya atau daerah tertentu di Jakarta.
Namun, beberapa content creator kuliner mulai mengangkat kembali rujak juhi ke permukaan. Salah satunya adalah Rara, food vlogger asal Jakarta yang punya segmen “makanan Betawi yang hampir punah.” Salah satu episode-nya tentang rujak viral karena berhasil menarik rasa penasaran netizen.
Menurut Rara, “Rujak juhi itu kayak hidden gem. Pas pertama lihat memang tampak asing, tapi setelah nyicip, langsung paham kenapa ini dulunya makanan favorit orang Betawi.”
Tantangan terbesar sekarang adalah bagaimana mengenalkan kuliner ini ke generasi muda tanpa kehilangan keasliannya. Mungkin bisa dengan cara dikemas lebih modern, tanpa mengubah rasa dasarnya—seperti disajikan di bowl kekinian atau dijual lewat aplikasi food delivery dengan branding yang kuat.
Nutrisi dan Nilai Gizi: Jangan Kira Rujak Juhi Cuma Enak Doang
Di balik rasanya yang kompleks, rujak juhi juga punya nilai gizi yang nggak main-main. Juhi (cumi-cumi kering) merupakan sumber protein laut yang rendah lemak. Kandungan mineral seperti seng dan fosfor di dalamnya juga baik untuk sistem imun dan metabolisme.
Ditambah dengan kacang tanah yang kaya lemak sehat dan lontong sebagai sumber karbohidrat kompleks, rujak bisa dibilang sebagai makanan seimbang. Belum lagi serat dari timun dan selada yang menyegarkan.
Tapi tentu saja, karena mengandung kerupuk mie dan saus kacang yang cukup berat, rujak juhi tetap harus dinikmati dalam porsi wajar. Bukan berarti harus paranoid, tapi tetap bijak.
Seorang ahli gizi dari salah satu universitas swasta di Jakarta mengatakan, “Makanan tradisional seperti rujak itu punya potensi untuk jadi alternatif sehat jika disajikan dengan porsi dan komposisi yang tepat.”
Menjaga Warisan Rasa: Haruskah Rujak Juhi Ditinggal Zaman?
Rasanya sayang banget kalau rujak juhi cuma tinggal cerita. Ini bukan soal makanan enak semata, tapi soal identitas budaya, ingatan kolektif, dan rasa hormat pada tradisi kuliner.
Banyak komunitas pecinta kuliner Betawi kini mulai aktif mengenalkan kembali makanan-makanan seperti rujak juhi lewat berbagai kegiatan—dari workshop masak, kelas daring, sampai kolaborasi dengan food blogger. Bahkan ada upaya mendokumentasikan resep otentik dari para penjual tua yang masih bertahan.
Kamu sendiri bisa jadi bagian dari pelestarian ini. Caranya simpel: cari dan beli dari penjual lokal yang masih setia menyajikan rujak juhi. Kalau nggak ketemu? Coba bikin sendiri. Resepnya banyak di internet, dan siapa tahu kamu bisa jadi pelopor tren baru di antara teman-temanmu.
Karena pada akhirnya, kuliner bukan cuma soal rasa, tapi juga cerita. Dan rujak juhi adalah cerita yang pantas untuk terus diceritakan.
Baca Juga Artikel dari: Rujak Thai: Eksplorasi Segar dari Negeri Gajah Putih
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Food
