Tue. May 13th, 2025
Slow living

Aku dulu orang yang hidupnya penuh agenda jauh dari kata slow living. Bangun pagi langsung buka notifikasi. Sarapan? Sering kelewat. Waktu berangkat kerja, sudah dibayangi tumpukan deadline. Makan siang cepat-cepat sambil buka email. Pulang malam masih mikirin to-do list besok. Akhir pekan pun sering habis untuk mengejar hal yang “harus diselesaikan”.

Hingga suatu hari, tubuhku bilang cukup. Serius, aku kena burnout. Bukan cuma capek fisik, tapi pikiran dan emosi pun kosong. Rasanya kayak kehilangan arah padahal sibuk terus. Di titik itulah aku mulai mempertanyakan: kenapa aku merasa tertinggal padahal aku terus berlari?

Lalu aku kenal konsep slow living. Bukan berarti hidup lambat atau malas-malasan. Tapi lebih ke hidup dengan ritme yang kita pilih sendiri, bukan ditentukan orang lain. Aku pelan-pelan belajar berhenti mengejar segalanya. Dan justru dari situ, aku mulai merasa lebih hidup.

Apa Itu Slow Living dan Kenapa Aku Terpanggil?

Slow living

Slow living itu bukan sekadar gaya hidup kekinian buat konten aesthetic. Ini tentang memilih untuk sadar dalam menjalani setiap detik hidup. Melambat di sini bukan berarti menolak kemajuan atau mundur, tapi mengembalikan kendali hidup ke tangan kita.

Dalam praktiknya, slow living artinya:

  • Mengurangi distraksi digital

  • Mengutamakan waktu berkualitas

  • Memilih aktivitas dengan makna

  • Menjalani hidup sesuai ritme alami

Awalnya aku kira ini cuma tren sosial media. Tapi setelah baca-baca dari sumber yang lebih mendalam seperti The Slow Living Guide, ternyata ini adalah gerakan global yang lahir dari reaksi terhadap gaya hidup serba cepat, konsumtif, dan over-stimulated.

Dan buatku, ini bukan sekadar gaya. Tapi bentuk penyembuhan.

Perjalanan Awal: Susah Lepas dari Ritme Lama

Waktu mulai pelan-pelan menerapkan slow living, tantangannya bukan dari luar, tapi dari dalam diri sendiri. Otakku sudah terbiasa aktif 24/7. Setiap kali duduk diam, ada rasa bersalah. “Eh, lo lagi nggak ngapa-ngapain nih. Produktif dong!”

Tapi aku paksakan. Awalnya cuma 5 menit pagi hari tanpa buka HP. Lalu aku tambahkan ritual kecil: seduh teh sambil duduk di teras. Dengarkan suara burung, merasakan sinar matahari pagi. Aneh? Mungkin. Tapi efeknya luar biasa.

Setiap kali aku berhasil menjalani hari tanpa terburu-buru, aku merasa lebih jernih. Aku jadi bisa membedakan mana yang penting dan mana yang cuma urgent karena tekanan eksternal.

Slow living ngajarin aku satu hal: hidup itu bukan tentang seberapa cepat kamu berlari, tapi apakah kamu sadar kemana kamu melangkah.

Mindfulness dan Slow Living: Dua Sahabat Dekat

Nggak bisa ngomongin slow living tanpa menyentuh soal mindfulness. Dua hal ini saling melengkapi.

Mindfulness bantu kita hadir penuh di setiap momen. Sedangkan slow living menciptakan ruang agar kita bisa menjalani momen itu dengan tenang. Aku mulai belajar meditasi ringan. Nggak pakai lilin aromaterapi atau musik zen. Cuma duduk diam dan tarik napas dalam-dalam.

Kadang cuma dua menit. Kadang malah aku ketiduran. Tapi dari latihan kecil itu, aku sadar: selama ini aku jarang hadir penuh. Saat makan, sambil scroll Instagram. Saat ngobrol, sambil mikirin kerjaan. Bahkan saat liburan, sibuk foto buat feed.

Padahal, hidup yang dijalani sepenuhnya jauh lebih bermakna daripada hidup yang terlihat sempurna.

Rutinitas Baru yang Bikin Hidup Lebih Ringan

Salah satu perubahan yang paling terasa sejak memulai slow living adalah rutinitas harian. Dulu, agendaku padat dari pagi sampai malam. Sekarang, aku sadar bahwa menyisakan ruang kosong dalam hari itu penting banget.

Inilah rutinitas baruku yang lebih lambat tapi lebih bernyawa:

  1. Bangun pagi tanpa alarm keras – Pakai jam matahari atau suara lembut

  2. Minum air putih sambil menikmati udara pagi – tanpa HP

  3. Journaling 5 menit – Apa yang aku rasakan hari itu?

  4. Kerja dalam blok waktu fokus (pomodoro) – Habis itu istirahat jalan kaki

  5. Masak sendiri makan siang – walau cuma telur ceplok dan tumis kangkung

  6. Sore santai tanpa layar – main sama hewan peliharaan atau baca buku

  7. Malam tanpa HP 30 menit sebelum tidur

Banyak orang bilang itu boros waktu. Tapi justru dari aktivitas kecil itulah aku merasa hidupku punya rasa lagi.

Memilih yang Esensial: Barang, Aktivitas, dan Hubungan

Slow living nggak berhenti di waktu dan aktivitas. Aku juga mulai memilah barang dan relasi. Barang yang bikin sumpek aku singkirkan. Dari 4 lemari baju, sekarang cukup dua rak. Dapur yang tadinya penuh alat, sekarang cuma yang benar-benar dipakai.

Aku juga berhenti bilang “ya” ke semua ajakan. Nggak semua FOMO harus diikutin. Aku pilih hubungan yang tulus dan nggak transaksional. Obrolan yang dalam lebih memuaskan dari basa-basi 5 grup WhatsApp.

Dengan menyederhanakan, aku jadi punya ruang untuk memperhatikan hal-hal kecil. Aroma kopi. Tawa teman. Pelukan yang hangat. Hal-hal yang dulu terlewat karena terlalu sibuk mengejar.

Tantangan Terbesar: Dunia Tetap Ngebut

Satu hal yang harus diakui: slow living itu bukan hidup di gua. Dunia tetap ngebut. Deadline tetap datang. Jalanan tetap macet. Sosmed tetap heboh. Tantangannya adalah bagaimana tetap tenang di tengah semua itu.

Aku belajar untuk tidak anti dengan kecepatan. Tapi aku pilih kapan aku mau cepat, dan kapan aku mau melambat. Karena kadang, kecepatan juga penting. Tapi bukan berarti harus terus-menerus ngebut tanpa arah.

Di sinilah aku merasa slow living itu bukan escape, tapi semacam kompas batin.

Slow Living dan Lingkungan: Hidup Lebih Selaras

Aspek yang makin aku sadari adalah bagaimana slow living bisa bantu planet ini juga. Dengan hidup lebih sadar, aku jadi:

  • Konsumsi lebih sedikit barang

  • Masak sendiri, kurangi sampah makanan

  • Kurangi penggunaan plastik

  • Nggak ikut lifestyle belanja yang bikin boros dan buang-buang energi

Aku mulai bawa tas kain ke pasar, isi air minum dari rumah, dan beli barang preloved. Bukan karena pengen gaya eco-warrior, tapi karena ternyata hidup sederhana itu enak, dan efeknya juga baik ke lingkungan.

Dan yang paling penting: aku jadi nggak terjebak dalam budaya “beli buat merasa cukup”. Karena rasa cukup itu ternyata lahir dari dalam, bukan dari katalog belanja.

Gaya Hidup Ini Cocok Buat Siapa?

Banyak yang nanya, “Apakah slow living cuma buat orang yang kerja remote atau punya privilese waktu?”

Jawabanku: tidak. Slow living bisa diterapkan siapa saja, sesuai konteks masing-masing. Bahkan kamu yang kerja 9-to-5 pun bisa mempraktikkan ini lewat:

  • Makan siang tanpa HP

  • Jalan kaki ke warung terdekat

  • Bangun 10 menit lebih awal untuk journaling

  • Menolak ajakan yang tidak memberi nilai

  • Menyusun to-do list yang realistis

Kuncinya bukan waktu luang, tapi cara kita mengisi waktu yang ada.

Anak Muda dan Slow Living: Kontra Arus Tapi Relevan

Generasi muda sekarang sering dicap malas kalau nggak ambisius. Tapi menurutku, justru sekaranglah waktu yang tepat untuk belajar hidup lebih sadar. Dunia udah terlalu bising. Tekanan untuk sukses di usia muda makin tinggi. Tapi buat apa kalau ujungnya kehilangan diri sendiri?

Aku lihat makin banyak anak muda yang mulai tertarik dengan slow living. Mereka mulai tanam sayur di rumah. Bikin kopi sendiri. Journaling. Bikin konten bukan demi viral, tapi demi berbagi makna.

Dan itu bikin aku optimis. Karena mereka mulai sadar bahwa makna lebih penting dari eksistensi semu.

Tips Memulai Slow Living dari Nol

Kalau kamu pengen coba, ini beberapa langkah sederhana:

  1. Matikan notifikasi yang nggak penting

  2. Buat waktu tanpa layar 1 jam sehari

  3. Mulai journaling atau nulis gratitude list

  4. Pelan-pelan bereskan ruangan yang bikin stres

  5. Luangkan waktu untuk hobi sederhana

  6. Belajar bilang ‘nggak’ dengan tenang

  7. Coba nikmati makan tanpa multitasking

Nggak harus semuanya sekaligus. Satu perubahan kecil sehari lebih baik daripada niat besar yang nggak pernah jalan.

Penutup: Hidup Melambat Bukan Berarti Tertinggal

Slow living ngajarin aku banyak hal. Bukan cuma soal manajemen waktu, tapi tentang manajemen hidup. Tentang tahu kapan harus melambat, dan kapan harus memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas.

Dan yang paling penting, aku belajar bahwa hidup itu bukan kompetisi. Bukan tentang siapa yang duluan punya rumah, mobil, atau pencapaian. Tapi tentang siapa yang paling damai dengan dirinya sendiri.

Jadi kalau kamu juga merasa lelah, terburu-buru, atau kehilangan makna—mungkin ini saatnya melambat sebentar. Karena kadang, dengan melambat kita justru sampai lebih jauh.

Jaga juga kesehatan kulit dengan: Clay Mask Mingguan: Detoks Kulit Dari Luar Secara Alami

Author