Tue. Apr 22nd, 2025
Zero Waste

Gue nggak akan sok suci di sini. Dulu, gue juga tipe yang kalau beli kopi boba, sedotan plastik dibuang sembarangan. Makan mie instan tiap malam, bungkusnya? Udah pasti langsung ke tong sampah. Pokoknya konsumtif banget sama sekali nggak Zero Waste.

Sampai suatu malam, gue iseng buka tempat sampah di rumah. Ya ampun, penuh banget! Seminggu aja, itu plastik-plastik bisa satu karung. Parahnya lagi, sebagian besar dari itu adalah kemasan sekali pakai.

Dan yang lebih bikin nyesek? Itu semua bakal berakhir di TPA, atau malah terseret ke laut. Kebayang nggak sih, berapa lama plastik sedotan atau sachet mie bisa terurai? Jawabannya: ratusan tahun.

Di titik itu, gue mulai mikir: “Emangnya gue perlu semua ini? Atau cuma kebiasaan aja?”

Nah, dari sinilah perjalanan gue mengenal zero waste lifestyle dimulai. Nggak instan. Banyak gagalnya. Tapi juga banyak pelajaran dan manfaatnya.

Apa Itu Zero Waste? Bukan Cuma Soal Sampah

Apa Itu Zero Waste? Bukan Cuma Soal Sampah

Kalau lo pikir zero waste itu artinya nggak buang sampah sama sekali, ya… agak salah. Nggak realistis juga sih. Zero waste itu lebih ke gaya hidup sadar, di mana kita mencoba meminimalkan limbah sebanyak mungkin, terutama yang nggak bisa terurai atau didaur ulang.

Gue suka banget filosofi 5R yang jadi pegangan zero waster sejati:

  1. Refuse: tolak barang yang nggak perlu (contoh: brosur, sedotan, kantong plastik)

  2. Reduce: kurangi konsumsi barang baru

  3. Reuse: gunakan ulang barang yang bisa dipakai lagi

  4. Recycle: daur ulang sebagai opsi terakhir

  5. Rot: komposkan sampah organik

Simple, tapi dalem. Dan percaya nggak, filosofi ini bener-bener ngerubah cara pandang gue ke benda-benda di sekitar.

Permulaan yang Gagal Total (Tapi Justru Mengajarkan)

Gue inget banget waktu pertama kali mencoba zero waste. Gue bawa totebag kemana-mana, pakai tumbler kekinian, terus belanja di pasar pakai wadah sendiri. Rasanya keren sih… sampai gue lupa satu hal penting: nggak semua orang mendukung atau ngerti.

Pernah suatu hari gue ke warteg sambil bawa tempat makan stainless, niat banget nggak mau pakai bungkus plastik. Eh, mbaknya malah bilang, “Waduh, ini ribet ya Mbak… kalau kayak gini semua pelanggan, kita nggak selesai-selesai.” Gue langsung bengong.

Atau waktu ke minimarket dan nolak plastik, kasirnya malah panik, bingung mau naro belanjaan gue di mana.

Tapi dari situlah gue sadar: perubahan butuh adaptasi, bukan paksaan. Gue mulai pelan-pelan. Mulai dari hal yang gampang kayak:

  • Bawa botol sendiri ke mana-mana

  • Belanja di bulk store (toko curah) walau jarang

  • Komposin sisa sayur dan kulit buah

Dan ini penting: gagal itu wajar. Jangan berhenti cuma karena merasa nggak sempurna. Ingat, tujuan zero waste bukan “zero”, tapi “less”.

Sampah Terbesar Ada di Dapur—Serius!

Kalau lo buka tempat sampah di rumah, coba cek deh. Berapa persen isinya dari dapur? Punya gue? Lebih dari 70%!

Dan di situlah gue mulai ngerombak kebiasaan. Gue ganti plastik sayur dengan jaring sayur kain, mulai bawa wadah sendiri ke tukang ayam, dan yang paling mengubah: bikin komposter kecil di belakang rumah.

Awalnya geli sih. Ngurusin sisa nasi basi, kulit pisang, ampas kopi. Tapi begitu jadi kompos? Wah, puas banget. Tanaman di rumah jadi subur, dan volume sampah ke tempat umum berkurang drastis.

Bahkan, sisa makanan yang tadinya selalu gue buang, sekarang bisa gue jadikan:

  • Pupuk cair dari rendaman kulit buah

  • Enzim serbaguna untuk bersih-bersih

  • Makanan kompos cacing

Itu semua adalah bagian dari proses circular economy kecil di rumah gue.

Belanja Tanpa Sampah: Mission Impossible?

Gue pernah mikir, “Mana bisa sih belanja tanpa sampah?” Tapi ternyata, bisa! Meski nggak 100%, at least berkurang banyak banget.

Gue coba beberapa trik ini:

  • Belanja di pasar tradisional, bukan supermarket. Lebih gampang bawa wadah sendiri.

  • Gunakan jar kaca atau botol bekas untuk belanja rempah, minyak, kecap.

  • Cari bulk store lokal seperti Zero Waste Indonesia (buat yang tinggal di kota besar).

Kalau nggak bisa full zero waste, setidaknya bisa less waste. Gue tetap beli barang kemasan, tapi lebih selektif:

  • Pilih yang pakai kemasan kertas atau botol kaca

  • Hindari kemasan multilayer (kayak snack)

  • Beli ukuran besar supaya nggak banyak sampah kecil-kecil

Baju, Fashion, dan Gaya Hidup: Boros Tapi Bisa Diubah

Satu hal yang baru gue sadari setelah belajar zero waste adalah betapa borosnya industri fashion.

Industri tekstil itu penyumbang limbah air dan karbon yang luar biasa besar. Bahkan banyak limbah pakaian berakhir di negara-negara berkembang dalam bentuk “donasi” yang numpuk kayak gunung.

Dulu gue gampang banget beli baju, karena “lagi diskon” atau “buat konten OOTD”. Tapi sekarang, gue mulai mikir:

  • Apakah gue benar-benar butuh ini?

  • Bisa dipakai lebih dari 30 kali?

  • Bisa dikombinasikan dengan baju lain?

Gue juga mulai main ke tempat thrift shop, dan serius, banyak banget hidden gem. Murah, unik, dan lebih ramah lingkungan.

Bahkan beberapa teman gue udah mulai bikin swap market bareng. Tukeran baju, tas, bahkan alat dapur. Seru banget!

Skincare, Personal Care, dan Sabun Batangan

Awalnya gue pikir produk zero waste itu mahal semua. Tapi setelah coba-coba, justru malah lebih hemat.

Gue ganti:

  • Shampoo cair jadi shampoo bar

  • Pasta gigi tube jadi tooth tablet

  • Sabun cair jadi sabun batangan

  • Pembalut sekali pakai jadi menstrual cup

Ada masa transisi sih, apalagi waktu coba shampoo bar pertama—bikin rambut kayak sapu ijuk! Tapi setelah nemu yang cocok, rambut gue malah lebih sehat, bebas SLS.

Dan ini fun fact: sejak pakai sabun batang dan shampoo bar, gue nggak buang botol plastik selama setahun lebih. Gokil nggak tuh?

Saat Zero Waste Bertemu Dunia Digital

Lo sadar nggak sih, ternyata sampah digital juga termasuk bentuk “limbah”? Mungkin nggak kelihatan, tapi:

  • Setiap email spam = jejak karbon

  • Cloud storage = energi besar di data center

  • Video call = listrik, server, koneksi

Makanya gue mulai bersih-bersih juga di dunia digital:

  • Hapus email nggak penting

  • Unsubscribe dari newsletter yang nggak gue baca

  • Rutin backup dan hapus file di cloud

  • Gunakan dark mode dan minimal notifikasi

Emang nggak signifikan kelihatannya. Tapi kalau dilakukan jutaan orang? Bisa jadi besar dampaknya.

Mental Load dan Tekanan Jadi “Sempurna”

Jujur, ada masa gue capek banget. Ngerasa harus zero waste, nggak boleh beli ini itu, dan disalahin karena pakai sedotan plastik sekali.

Tapi kemudian gue sadar, zero waste bukan perlombaan, tapi perjalanan. Yang penting bukan sempurna, tapi konsisten dan sadar.

Gue mulai santai, lebih fleksibel. Kalau nggak bisa 100%, ya at least 50%. Kalau lagi traveling dan nggak bisa bawa wadah, ya nggak apa-apa. Asal terus belajar dan perbaiki.

Zero Waste Bersama Komunitas: Biar Nggak Ngerasa Sendirian

Satu hal yang bikin semangat gue balik adalah bergabung dengan komunitas. Entah itu lewat:

  • Grup Facebook zero waste

  • Kelas online bikin kompos

  • Acara swap party

Kita bisa saling sharing, belajar, bahkan dapat ide baru. Contohnya, gue baru tahu dari temen komunitas kalau ternyata kulit jeruk bisa jadi pembersih lantai alami. Whoa, hemat banget kan?

Makan sehat, sisanya bisa jadi kompos kaya di artikel ini. Yuk buat: Salad Bowl Homemade: Sehat dari Dapur Sendiri

Author